Jakarta (ANTARA) - Nama Pasar Tanah Abang sebagai pusat grosir busana terbesar se-Asia Tenggara sudah dikenal oleh masyarakat luas. Beraneka produk fesyen seperti pakaian, celana, tas, sepatu dan aksesori hingga tekstil dijajakan di pasar yang telah ada sejak tahun 1735 tersebut.

Pembelinya pun beragam mulai dari eceran untuk pemakaian sehari-hari hingga pembeli grosir untuk dijual kembali di pasar-pasar berbagai provinsi di Indonesia. Pasar yang identik dengan suasana kepadatan lantaran banyaknya masyarakat yang berbelanja itu perlahan mulai kehilangan pesonanya.

Memang, perekonomian tengah dalam masa pemulihan pasca-pembatasan mobilitas akibat pandemi COVID-19. Namun, pemulihan tersebut sepertinya mendapat tantangan akibat platform media sosial dan e-commerce atau yang biasa disebut social commerce mulai menyebarkan pesonanya.

Sebut saja TikTok. Platform asal China itu awalnya merupakan layanan hosting video berdurasi pendek. Perlahan fungsinya sebagai sosial media mulai bergeser fungsi sebagai e-commerce.

Pada awalnya tidak ada yang salah dengan TikTok Shop karena hanya beroperasi layaknya e-commerce lain seperti Shopee dan Tokopedia. Namun, sorotan mulai diterima TikTok Shop lantaran menjual produk dengan harga yang sangat murah hingga mengancam kesejahteraan pedagang produk lokal.

Redupnya penjualan produk buatan dalam negeri disampaikan Anton, pedagang baju gamis di Lantai LG, Blok A, Tanah Abang. Ia berharap agar TikTok Shop dihapus karena efeknya benar benar menghantam dirinya dan pedagang lain di Tanah Abang.

Pria berusia 36 tahun itu mengungkapkan bahwa omzet hariannya merosot drastis dari Rp20 juta menjadi Rp2 juta per hari jika dibandingkan masa jayanya pada tahun 2019 dengan merebaknya fenomena TikTok Shop. Bahkan, ia mengaku omzet selama masa pandemi COVID-19 masih lebih tinggi dibandingkan Semester 2 tahun 2023 ini.

Bukannya anti-penjualan online, toko yang sudah berjualan di Tanah Abang sejak tahun 2007 itu menyerah melawan penjual online di TikTok Shop yang membanting harga rendah.

Ia mencontohkan baju gamis yang kini diobral dengan harga Rp100 ribu pun tidak lagi berhasil memikat hati calon pembeli karena baju dengan model serupa dijual di TikTok Shop dengan harga Rp39 ribu. Di satu sisi, ia tidak bisa menjual bajunya dengan harga serupa karena untuk menutupi modal usaha saja tidak cukup.

"Kualitas sama barang sama, tapi harga jauh beda, itu yang kita bingung, kenapa dia bisa menjatuhkan harga. Ini kita jual Rp100 ribu, di online bisa Rp39 ribu. Kalau kita beli bahan produksi sendiri, kita pikir-pikir sendiri tidak bisa tidak masuk harganya. Kenapa di online itu bisa," tuturnya.

Jika nantinya TikTok Shop tidak bisa ditutup, ia meminta agar pemerintah mencari jalan tengah agar pedagang Tanah Abang bisa kembali berjaya.

Suramnya kondisi Tanah Abang turut disampaikan oleh Anggi, pedagang pakaian wanita yang menduga harga murah di toko online akibat dibanjiri oleh produk impor asal China.

Dugaan barang impor tersebut terlontar karena jika mengandalkan produk dalam negeri, maka harga jual barang tidak akan bisa di bawah Rp50 ribu seperti yang banyak ditawarkan di platform online.

Ia meminta agar pemerintah segera menutup TikTok Shop yang disebutnya menjadi biang keladi penurunan omzet hingga 90 persen. Dari 8 cabang toko yang ada, tak jarang hanya laku sepotong saja dalam sehari.

Menurut Anggi, pesona Tanah Abang adalah proses jual beli tatap muka dengan harga grosir. Calon pembeli bisa memegang langsung produk yang akan dibeli, tidak seperti barang di pasar online yang kualitas barangnya tidak dapat dijamin.

“Dia itu menjatuhkan harga. Kita itu kan produksi sendiri, modalnya sendiri. Di TikTok itu tidak ngerti juga gimana cara perdagangannya kok bisa dibanting harga semurah itu. Pedagang disini merasa, gimana ini kita udah banting harga sampai di obral-obral ini tuh masih tida laris,” tuturnya.

Menjajal peruntungan di TikTok Shop

Pedagang di Tanah Abang turut menjajal peruntungan dengan berjualan di TikTok Shop. Bermula pada penurunan omset setelah Lebaran Idul Fitri pada Mei 2023 lalu, Jesica, pegawai baju gamis wanita di Tanah Abang bertugas untuk mulai berjualan secara online melalui TikTok Shop dan Shopee.

Usaha memperluas target pasar telah dicobanya dengan melakukan live streaming shopping setiap hari dengan durasi total 4 jam. Namun, usaha tersebut belum membuahkan hasil. Syukur-syukur bisa terjual 4 potong dalam sehari. Jika tidak, ia hanya mengandalkan penjualan offline yang masih lebih laku dibandingkan penjualan online.

Salah satu pedagang berjualan melalui platform social commerce TikTok di Blok A, pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (19/9/2023). ANTARA/Kuntum Riswan.
Jesica menilai, kurangnya engagement rate yang sangat berpengaruh untuk menarik perhatian calon pembeli menjadi alasan TikTok Shop miliknya tidak laku di pasar online. Bagaimana akan mendapat interaksi yang besar jika dari jumlah pengikut di TikTok saja tokonya masih kalah jauh dengan para publik figur dan influencer yang turut berjualan di platform online.

Belum lagi dari harga yang kalah saing lantaran pihaknya harus menghitung biaya sewa toko dan menjaga daya saing harga agar pedagang dari provinsi-provinsi lain yang kerap mengambil barang dari tokonya masih bisa menjual dengan harga kompetitif.

Tak hanya itu, ia juga harus menjaga kualitas barang di tengah gempuran pedagang lain yang kerap mencontoh desain bajunya namun dijual dengan harga lebih murah karena menggunakan bahan berkualitas  lebih rendah.

Ia bersama rekan-rekan sesama pedagang di Tanah Abang pun berharap pemerintah bisa membuat kebijakan yang bisa menjadikan penjual offline kembali berdaya.

 

Upaya pemerintah

Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki saat mendapati pasar Tanah Abang semakin sepi, menekankan pentingnya perlindungan terhadap ekonomi domestik termasuk bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Salah satunya melalui keberpihakan regulasi di bidang transformasi digital termasuk kebijakan investasi, kebijakan perdagangan dan kebijakan persaingan usaha.

Menurutnya, digitalisasi mendatangkan dampak yang besar, termasuk untuk mendukung inovasi dan kreatifitas pelaku UMKM. Namun, jika tidak ditopang dengan regulasi yang baik, maka digitalisasi akan menjadi ancaman bagi pelaku ekonomi domestik.

Buktinya, pedagang di pasar Tanah Abang yang mengalami penurunan omzet rata-rata lebih dari 50 persen. Meskipun mereka juga sudah melakukan transformasi dalam berjualan dengan memasarkan produknya secara online tetapi tetap saja sulit bagi sebagian besar mereka untuk bisa meningkatkan kembali omzet usahanya karena kalah saing dengan harga produk di platform online yang terlalu murah.

Perdagangan elektronik yang semakin bertumbuh tiap tahunnya, harus dipastikan turut memberikan manfaat bagi masyarakat terutama pelaku UMKM.

Pasar belanja online Indonesia harus memberikan kesejahteraan bagi para pelaku usaha lokal, bukan produsen dari negara lain. Belum lagi, program pemerintah untuk mendorong pertumbuhan UMKM di Indonesia akan terganggu bila barang-barang dari luar masuk begitu mudahnya.

Sebagai solusi, Menteri Teten telah berkoordinasi dengan Menteri Perdagangan untuk lebih memperketat aturan perdagangan online melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Tak hanya itu, pihaknya akan melihat kembali pengaturan untuk platform digital baik yang di tingkat domestik atau yang berasal dari luar negeri. Apakah nantinya impor barang untuk kebutuhan sehari-hari harus dilengkapi dengan persyaratan khusus seperti surat izin hingga sertifikat Standar Nasional Indonesia.

Selain itu, juga melihat kembali mengenai arus masuk barang dan sembari memastikan legalitas barang-barang yang masuk ke Indonesia. Bahkan, menilai kembali apakah tarif biaya masuk terlalu rendah atau terdapat kelemahan dalam penerapan aturan impor yang menyebabkan terpukulnya produk buatan dalam negeri.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023