Jakarta (ANTARA) - Siapa sangka pertikaian berdarah-darah antara dua negara tetangga di kawasan Eropa timur beberapa tahun terakhir ini ternyata membuat kalangan pengambil kebijakan di berbagai negara menjadi pusing akan kinerja sektor energi mereka.

Contohnya, Uni Eropa kini sedang pusing karena konflik Rusia-Ukraina ternyata membuat negara-negara di kawasan tersebut merasa perlu untuk mendiversifikasi sumber energi mereka.

Sebelum konflik tersebut merebak sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, berbagai negara di Eropa sangat tergantung dengan pasokan gas yang berasal dari Rusia.

Pada 2021 atau setahun sebelum dimulainya invasi, data Komisi Uni Eropa menunjukkan negara-negara di kawasan tersebut mengambil lebih dari 40 persen total konsumsi gas, 27 persen impor minyak, dan 46 persen impor batu bara dari Rusia.

Namun, berbagai bentuk sanksi yang ditujukan untuk melemahkan perekonomian Rusia juga ternyata membuat berbagai negara di Benua Biru tersebut kini berupaya mencari sumber pasokan baru untuk memenuhi kebutuhan pasokan energi mereka.

Ketergantungan yang sangat besar dari pasokan sumber energi dari Rusia, sebuah negara yang dipersepsikan sebagai pihak antagonis oleh Barat, bahkan juga bisa mengakibatkan timbulnya friksi di antara sesama negara itu sendiri.

Misalnya, kantor berita Reuters memberitakan seorang pejabat Uni Eropa yang gemas melihat Austria masih menggunakan gas dari Rusia hingga kini, mengkritik langkah lamban Austria dalam menghentikan penggunaan gas Rusia.

Pejabat asal Jerman tersebut, yang bernama Martin Selmayr, pada 6 September lalu bahkan sampai menyebut bahwa Austria sama saja dengan mengirim "uang darah" setiap hari ke Rusia.

Hal tersebut karena Selymar mengingatkan bahwa pembayaran gas Austria kepada Rusia pada ujungnya akan membantu mendanai invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina.

Sontak saja, pemerintah Austria melalui kementerian luar negeri telah memanggil pejabat Uni Eropa tersebut. Komisi Eropa juga telah mengeluarkan pernyataan yang menyesalkan perkataan Selmayr yang dinilai tidak bijak tersebut.

Selmayr juga telah dipanggil oleh Komisi Eropa untuk melapor ke kantor pusat di Brussels terkait dengan insiden tersebut.

Kelambanan Austria untuk beralih dari gas Rusia antara lain disebabkan berbagai faktor, termasuk karena geografis Austria yang dikelilingi daratan.

Sedangkan negara-negara lain seperti Jerman dinilai lebih mudah meningkatkan kapasitas mereka dalam mengimpor gas alam cair dari berbagai wilayah selain Rusia, karena negara-negara tersebut memiliki pelabuhan.

Dari Rusia ke China

Selain itu, dalam dokumen yang diperoleh kantor berita Reuters pada September ini, diketahui adanya kajian yang menyatakan bahwa setelah ketergantungan terhadap pasokan energi Rusia pada masa sebelum perang di Ukraina, Uni Eropa pada masa depan bisa mengalami ketergantungan untuk baterai litium-ion dan sel bahan bakar dari China pada 2030 mendatang.

Apalagi, Eropa juga menyadari bahwa berbagai sumber energi terbarukan yang sedang dikembangkan, kondisinya masih dapat dikatakan tidak menentu, misalnya kinerja sumber energi terbarukan yang berasal dari tenaga surya atau tenaga angin.

Menurut kajian yang disiapkan oleh kepresidenan Uni Eropa yang sedang dipegang oleh Spanyol ini, target untuk mencapai nol emisi karbon dioksida pada 2050 memerlukan banyak permintaan terhadap baterai litium-ion, sel bahan bakar, dan elektroliser yakni  suatu mesin atau alat yang memisahkan kandungan elektrolit. 

Pasalnya, diketahui bahwa dengan lebih dari 50 persen pangsa pasar global, Uni Eropa sangat bergantung pada China untuk sel bahan bakar dan baterai lithium-ion yang penting untuk sejumlah solusi mewujudkan nol emisi seperti kendaraan listrik.

Tidak hanya negara-negara di Eropa saja yang terkena getahnya, tetapi negara di benua Asia seperti Jepang juga menghadapi dampak terhadap kondisi stabilitas pasokan energi di negara Asia Timur tersebut.

Hal tersebut utamanya setelah Amerika Serikat memberlakukan sanksi baru terkait proyek LNG 2 Arktik Rusia, yang dioperasikan oleh Novatek Rusia, sementara perusahaan Jepang Mitsui & Co dan Organisasi Keamanan Logam dan Energi Jepang (JOGMEC) yang merupakan BUMN negara tersebut diketahui memegang 10 persen saham gabungan proyek itu.

Namun, meski Jepang diketahui mengimpor hampir seluruh minyak dan gas alamnya, tetapi pemerintah Negeri Sakura tersebut telah menegaskan akan sejalan dengan negara-negara G7 lainnya dalam upaya mengurangi ketergantungan pada energi Rusia, meski Jepang juga mengakui harus menyeimbangkan dengan keamanan energi mereka.

Berdasarkan kajian Forum Ekonomi Dunia (WEF), solusi untuk mencapai energi nol karbon terdiri atas sejumlah pendekatan, yaitu mulai dari elektrifikasi hingga efisiensi energi digital.

Menurut kajian tersebut, berbagai solusi tersebut dapat mengurangi permintaan energi sekaligus menggantikan bahan bakar fosil yang diimpor dengan energi nol karbon. Elektrifikasi atau listrik, tentu saja adalah bentuk energi yang paling efisien hingga kini guna menggantikan energi fosil.

Sedangkan efisiensi energi adalah cara untuk mengurangi permintaan bahan bakar fosil, serta kecerdasan digital merupakan mekanisme yang dapat membuat sejumlah besar pemborosan energi yang tidak terlihat menjadi terlihat, seperti melalui data yang diperoleh dari kecerdasan buatan atau AI.

Indonesia sadar

Untuk Indonesia sendiri, berbagai pihak pemangku kepentingan telah menyadari akan pentingnya membangun energi baru terbarukan yang tidak lagi tergantung kepada energi fosil.

Contohnya, Ketua DPR RI Puan Maharani usai menghadiri puncak Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, Energi Baru Terbarukan (LIKE) 2023, menyatakan bahwa dalam memajukan ekosistem EBT untuk memerangi krisis iklim, DPR juga sudah berperan serta dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk memenuhi kebutuhan tambahan listrik di gedung wakil rakyat.

Panel surya pada PLTS itu terpasang di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, tepatnya di taman energi DPR yang berada di depan Gedung Nusantara.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga telah memastikan bahwa pencapaian target emisi karbon nol akan dilakukan Indonesia tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Sejumlah langkah yang telah dilakukan Indonesia untuk menurunkan emisi karbon tersebut antara lain adalah mengurangi 39 persen sampah yang dibuang ke laut, mendirikan titik pengolahan sampah yang ditargetkan pada 2027 dapat memproses 30 ribu ton sampah per hari, menanam ulang mangrove di lahan seluas 600 ribu hektare, dan transisi energi.

Selain itu, meski sumber listrik Indonesia masih didominasi oleh PLTU batu bara, tetapi Menteri ESDM Arifin Tasfin juga telah mengabarkan bahwa PLTU berbasis batu bara terakhir akan pensiun pada 2058.

Tentu saja berbagai pandangan optimistis tersebut juga didasari dengan posisi Indonesia yang kaya akan sumber energi terbarukan yang perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mewujudkan kemandirian energi.

Apalagi, sejumlah konflik seperti perang di Ukraina juga mengajarkan betapa besarnya kemungkinan bahwa suatu perselisihan antarnegara dapat berdampak kepada kondisi pasokan energi suatu negara yang sebenarnya tidak menjadi pelaku utama dalam konflik tersebut.

Copyright © ANTARA 2023