Jakarta (ANTARA) - Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan pembiayaan berkelanjutan akan menjadi standar umum yang diterima masyarakat 10-15 tahun ke depan.

“Jadi istilah itu tidak akan dikenal lagi bukan karena orang tidak peduli, tapi karena ini akan menjadi standar di industri keuangan. Kalau tidak berkelanjutan, orang tidak mau membeli instrumen keuangan kita,” kata Deni dalam webinar "SDGs Talk" di Jakarta, Jumat.

Merespons perkembangan terkait pembiayaan berkelanjutan, pemerintah mencoba mengembangkan instrumen keuangan yang sesuai dengan konsep pembiayaan berkelanjutan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

“Sejak 2018 Indonesia sudah menerbitkan green sukuk yang menjadikan kita negara pertama di dunia yang mengembangkannya. Hasil penjualannya untuk proyek ramah lingkungan,” kata Deni.

Pada 2021, SDGs Bond juga mulai diterbitkan dalam mata uang Euro, tetapi karena peminat dalam negeri tinggi, pemerintah menawarkan SDGs Bond ke pasar domestik melalui lelang yang terkumpul hingga Rp3,2 triliun pada 2022.

Blue bonds juga diterbitkan oleh pemerintah untuk mengatasi dampak perubahan iklim terutama di sektor kelautan pada Mei 2023.

“Kita menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan Blue Bonds yang sesuai dengan standar internasional. Kita terbitkan dalam mata uang yen, dalam bentuk Samurai Bonds,” kata Deni menambahkan.

Sejak 2016, Kementerian Keuangan juga sudah menerapkan pengelompokan anggaran atau budget tagging sesuai dengan kebutuhan.

“Setiap belanja dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita tandai atau beri tag atau tagging, mana yang sesuai dengan program hijau, pendidikan, kesehatan, dana mana yang untuk program mencapai SDGs lain,” kata Deni.

Baca juga: Wamenkeu sebut empat area bisnis yang dapat perkuat sektor keuangan RI

Baca juga: Sri Mulyani ungkap total alokasi anggaran pemilu 2024 sebesar Rp70,6 T

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Imam Budilaksono
Copyright © ANTARA 2023