Singapura (ANTARA) - Dolar AS mencapai level tertinggi dalam 10 bulan terhadap mata uang utama lainnya di perdagangan Asia pada Selasa sore, didorong oleh imbal hasil obligasi AS yang mencapai puncak tertinggi dalam 16 tahun, sementara yen semakin masuk ke zona bahaya intervensi.

Kombinasi data ekonomi yang tangguh, retorika Federal Reserve yang hawkish, dan defisit anggaran yang dibiayai dengan pinjaman membuat imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik lebih dari 45 basis poin pada September menjadi 4,5 persen untuk pertama kalinya sejak tahun 2007.

Pasar memperkirakan risiko kenaikan suku bunga Fed yang hampir sebesar 40 persen pada tahun ini, dibandingkan dengan peluang yang lebih kecil untuk kenaikan suku bunga lagi di Eropa, dan perbedaan tersebut telah membantu menopang dolar yang banyak orang perkirakan akan segera turun ketika The Fed memberi isyarat untuk mengakhiri kenaikan suku bunga.

Euro mempertahankan penurunan 0,5 persen pada Senin (25/9/2023) dan berada pada level terendah enam bulan di 1,0584 dolar. Nilai tukar ini diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar 3,0 persen pada kuartal ini, yang merupakan persentase kerugian kuartalan terburuk dalam setahun.

Sterling juga diperkirakan akan menghentikan kenaikan tiga kuartalannya, dengan penurunan sebesar 3,8 persen selama tiga bulan hingga September. Mata uang ini jatuh ke level terendah enam bulan di 1,2195 dolar semalam dan diperdagangkan hanya sedikit di atas level tersebut di sesi Asia.

Indeks dolar AS menyentuh level tertinggi sejak November di 106,1 pada Senin (25/9/2023) dan berada di 106,03 pada Selasa sore.

"Dari sini pasangan ini mengincar level di sekitar 107,20," kata analis di bank Westpac Australia. "Hanya sedikit mata uang yang akan menolak tema ketahanan makro dolar yang bullish dan euro serta yuan China terlihat lebih rentan dibandingkan kebanyakan mata uang lainnya."

Pekan lalu juga menunjukkan lebih banyak tanda bahwa bank-bank sentral selain The Fed sudah mencapai akhir siklus kenaikan suku bunganya.

Franc Swiss telah jatuh melewati rata-rata pergerakan 200 hari dan mencapai titik terendah sejak Juni setelah bank sentral secara mengejutkan mempertahankan suku bunga jangka pendeknya.

Yen perlahan tapi pasti merosot menuju angka 150 per dolar karena para pengambil kebijakan terjebak dalam pengaturan yang sangat longgar.

Tingkat psikologis ini dipandang sebagai garis merah bagi Kementerian Keuangan, yang telah meningkatkan peringatan mengenai kemungkinan intervensi dalam beberapa pekan terakhir. Para pedagang menantikan pertemuan para pemimpin politik dan pejabat Bank Sentral Jepang (BoJ) pada Selasa.

Yen mencapai 148,97 terhadap dolar pada Senin (25/9/2023) dan terakhir diperdagangkan pada 148,88.

Meningkatnya harga komoditas telah memberikan dukungan terhadap mata uang antipodean, meskipun sebagian besar mata uang tersebut cenderung bergerak datar selama sekitar sebulan terakhir. Aussie terakhir stabil di 0,6417 dolar AS dan kiwi di 0,5962 dolar AS.

Yuan China bertahan di 7,3099, namun hal ini terjadi karena kurs tengah rentang perdagangannya ditetapkan sekitar 1.400 basis poin lebih kuat dari perkiraan, menjadikannya sangat dekat dengan titik lemah rentang perdagangan yang diizinkan.

Data kepercayaan konsumen dan penjualan rumah AS akan dirilis pada Selasa, dengan sedikit pelemahan terlihat di kedua sisi meskipun ada keraguan bahwa hal tersebut dapat melemahkan dolar.

“Sekalipun perekonomian AS sedang menuju perlambatan, dolar dapat mendapat dukungan dari permintaan safe haven mengingat kekhawatiran luas atas lemahnya pertumbuhan global,” kata ahli strategi valuta asing senior di Rabobank, Jane Foley.

“Kami tetap berpandangan bahwa dolar tidak mungkin melemah secara signifikan sampai penurunan suku bunga The Fed benar-benar terjadi,” katanya.

"Kami saat ini melakukan perdagangan cukup dekat dengan target euro/dolar 1,06 dolar yang telah lama kami pegang. Kami melihat risiko penurunan terhadap hal ini."


Baca juga: Yen jatuh ke terendah 11 bulan terhadap dolar, berisiko intervensi
Baca juga: Dolar AS menguat karena kebijakan Fed tetap “hawkish“

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2023