Surabaya (ANTARA) - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah di depan mata. Tepatnya pada 14 Februari 2024, warga akan melaksanakan pemungutan suara untuk memilih calon wakilnya di eksekutif maupun legislatif.

Sejumlah aturan telah dibuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk menghasilkan Pemilu yang jujur adil (jurdil) dan demokratis. Termasuk menjaga profesionalitas Aparatur Sipil Negara (ASN) agar tetap netral.

Mengapa ASN harus netral? Karena menjaga netralitas adalah tanggung jawab ASN sebagai pelayan publik. Selain itu, juga menjaga marwah ASN  tidak terpengaruh pada kepentingan perorangan atau kelompok tertentu. Sebagai pengayom masyarakat, ASN tidak boleh terpengaruh sirkulasi kekuasaan politik.

ASN perlu menjaga netralitasnya dari kepentingan politik praktis, karena ketidaknetralan ASN bisa menyebabkan dampak yang luas baik bagi internal pemerintah maupun masyarakat.

Ketidaknetralan ASN bisa menyebabkan sulit dipisahkannya kapan bertindak sebagai aparatur negara dan kapan bertindak sebagai masyarakat yang memiliki hak suara dalam Pilkada.

Ketidaknetralan ASN bisa menyebabkan program pemerintah berubah menjadi instrumen reward and punishment kepada masyarakat, menimbulkan diskriminasi dalam pelayanan, timbulnya simbiosis mutualisme antara Pegawai Negeri Sipil (PNS)  dengan partai, sehingga pemerintahan tidak terkendali, hingga dampak yang krusial yaitu timbulnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Hal mengenai netralitas ASN telah tercantum dalam Undang Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, dan PP No 17 Tahun 2020 tentang Perubahan PP N0 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, ASN cenderung dimanfaatkan untuk menjadi basis dukungan politik. Politisasi jenis ini, cenderung disertai dengan tekanan dan intimidasi serta ancaman yang sering membuat seorang ASN tidak berani menghindar.

Mereka terpaksa berpihak, sebab mengambil posisi netral dapat dianggap sebagai pembangkangan yang akibatnya bisa sangat fatal bagi posisi mereka dalam struktur birokrasi. Ada juga ASN bermain politik praktis dengan menginisiasi dan menggalang dukungan politik.

Jadi, ada tiga alasan mengapa ASN harus menjaga netralitas dalam Pemilu. Pertama, karena tanggung jawab sebagai pelayan publik, sehingga ASN harus menjaga marwah. ASN tidak terpengaruh pada kepentingan perorangan atau kelompok tertentu. Sebagai pengayom masyarakat, ASN tidak terpengaruh sirkulasi kekuasaan politik.

Kedua, merupakan objek pengawasan. Isu netralitas ASN menjadi salah satu obyek pengawasan, tidak hanya oleh Bawaslu, tetapi juga oleh Komisi ASN, dan masyarakat pada umumnya.

Ketiga, karena kewenangan dan kekuasaan. ASN dengan Kewenangan dan Kekuasaan yang dimilikinya sangat rentan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi, serta berpihak pada salah satu pasangan calon.

Untuk itu, ASN harus menjaga integritas dan profesionalismenya dengan menjunjung tinggi netralitas selama berlangsungnya Pemilu 2024 dengan tidak berpolitik praktis yang mengarah pada keberpihakan, berafiliasi dengan partai politik, serta membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan Calon Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPR, serta DPRD.


Pelanggaran

Berdasarkan hasil mitigasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, ada empat konsentrasi pencegahan pelanggaran pemilu yang meliputi hoaks atau berita bohong, politik uang, politisasi SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), dan ketidaknetralan ASN, TNI, serta Polri.

Hoaks bisa menjadi potensi yang tinggi di pelaksanaan Pemilu 2024 karena pemilih pemuda di tahun 2024 dapat menembus 60 persen. Artinya jika itu tidak dikelola dengan baik maka akan menjadi ancaman bagi demokrasi.

Selanjutnya politik uang yang trennya tidak pernah turun dan politisasi identitas yang kerap memakai SARA menjadi alat kegaduhan. Terakhir adalah netralitas ASN dan TNI/Polri yang perlu dikawal agar setiap aparatur negara dapat bersikap netral dalam pemilu.

Salah satu permasalahan dalam penegakan pelanggaran netralitas ASN adalah belum maksimalnya eksekusi dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam hal ini bupati, wali kota, atau gubernur terhadap rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas pelanggaran netralitas ASN.

Khusus untuk netralitas ASN, dalam Pasal 93 huruf f UU 7/2017 tentang Pemilu menyebutkan, Bawaslu bertugas mengawasi netralitas ASN dan anggota TNI/Polri. Oleh karena itu, Bawaslu berhak melakukan pengkajian atas adanya dugaan pelanggaran UU Pemilu atau UU Pemilihan, salah satunya dengan cara mengundang para pihak untuk diklarifikasi.

Kemudian, Bawaslu merekomendasikan hasil pengkajian atau penanganannya kepada Komisi ASN (KASN), dan meneruskan kepada penyidik kepolisian apabila terdapat dugaan tindak pidana pemilu atau pemilihan.

Anggota Bawaslu RI, Puadi, menilai pelanggaran netralitas ASN masih saja terjadi, bahkan dalam tingkat yang cukup "mengkhawatirkan". Walaupun berbagai aturan secara jelas telah melarang keterlibatan ASN dalam politik praktis. Bahkan berulang kali diadakan diskusi, diseminasi, maupun sosialisasi mengenai netralitas ASN, tetap saja pelanggaran terus terjadi

Mentalitas birokrasi yang masih jauh dari semangat reformasi birokrasi yang mestinya mewujudkan ASN yang loyal pada pelayanan publik dan kepentingan negara, ketimbang atasan atau aktor politik lokal.

Oleh karena itu, Bawaslu perlu membangun konektivitas sinergi pengawasan netralitas ASN dengan seluruh elemen pemerintahan. Diperlukan komitmen bersama antara PPK, KASN dan maupun Bawaslu agar pengawasan netralitas ASN dalam kontestasi politik bisa ditegakkan.

Selain itu, KASN juga perlu mengkaji dan menindaklanjuti temuan pelanggaran yang dilakukan dari hasil pengawasan Bawaslu maupun dari laporan dari masyarakat. Begitu sebaliknya, KASN juga sudah responsif dengan mengeluarkan rekomendasi sanksi pelanggaran netralitas.


Pengawasan

Pengawasan ASN di daerah juga perlu ditekankan agar pemilu bisa terlaksana dengan baik. Seperti yang dilakukan di Kota Surabaya, Jawa Timur.

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, dalam berbagai kesempatan terus mengingatkan para ASN di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya agar terus menjaga netralitas dalam Pemilu 2024.
Foto Arsip - Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi saat memberikan arahan kepada para ASN di Balai Kota Surabaya. (ANTARA/HO-Diskominfo Surabaya)


Dalam pemilu ini, ASN setempat diminta tidak berkiblat atau menggantungkan kepentingan baik kepada wali kota, DPRD, ataupun partai. Semua harus hadir dan memiliki kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat.

Jika terbukti ada ASN tidak netral, maka akan mendapat sanksi. Sebagai contoh, Pemkot Surabaya memberikan sanksi kepada salah satu ASN yang dinilai telah melakukan pelanggaran netralitas pada Pilkada di luar wilayah Surabaya. Sanksi itu diberikan kepada M. Afghani Wardhana yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) sesuai dengan rekomendasi dari KASN.

Kehormatan ASN itu terlihat dari kenetralannya dalam setiap tahapan pemilu. Menjaga netralitas ASN itu sama juga menjaga kehormatan korps-nya sendiri.

Apalagi, di era penggunaan media sosial (medsos) saat ini memang semua orang memiliki hak asasi yang bersangkutan untuk memiliki preferensi kesukaan terhadap figur. Namun, hal itu tidak boleh diaktualisasikan dalam bentuk lisan dan perbuatan untuk ASN ini.

Untuk itu, Bawaslu Surabaya mempersiapkan langkah sosialisasi untuk mencegah munculnya potensi pelanggaran netralitas ASN. Sosialisasi tersebut menindaklanjuti Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.

Bawaslu berharap Pemkot Surabaya bisa intens menyampaikan instruksi atau ketentuan-ketentuan yang ditujukan kepada ASN yang tertuang di dalam SKB tersebut untuk selanjutnya menjadikan pedoman pada tahun politik ini.

Dengan adanya sinergi kolaborasi bersama pemerintah, KASN, Kemendagri, KemenpanRB, BKN serta pemda yang berkaitan, diharapkan pemilu bisa berjalan dengan jurdil dan luber. Hal itu demi menjaga kualitas pemilu yang integritas dari sisi proses dan hasil.

Dalam hal ini, ASN tetap memiliki hak untuk memilih, tetapi haknya dibatasi. ASN harus menjaga dan menyalurkan hak politiknya, tapi tidak boleh mengumbar "aurat politik" di sembarang tempat. 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023