Semarang (ANTARA) - Mereka yang akan menjadi peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 setidaknya memahami konstitusi agar kelak jika terpilih sebagai Presiden RI periode 2024—2029 tahu betul menggunakan hak-hak prerogatif.

Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 memang tidak ada istilah prerogatif. Namun, apa yang dimaksud dengan lema itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring adalah hak istimewa yang dipunyai oleh kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan.

Di antara hak-hak prerogatif presiden yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945, yakni grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

Khusus soal grasi, perkara dengan terpidana Baiq Nuril Maknun (40), asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, tampaknya patut mendapat perhatian peserta Pilpres 2024.

Pada putusan kasasi, Baiq divonis 6 bulan penjara dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan karena terbukti melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Atas vonis tersebut pada bulan November 2018 sempat menjadi polemik, bahkan terjadi aksi di sejumlah daerah.
Peserta aksi menunjukkan poster dan kotak donasi pada aksi Tolak Eksekusi Baiq Nuril Maknun di Taman Kambang Iwak Palembang, Minggu (18/11/2018). Aksi tersebut merupakan keprihatinan atas putusan kasasi Nuril Maknun korban pelecehan seksual yang diseret ke penjara dan diwajibkan membayar denda pada kasus rekaman suara konten asusila sebagai pelanggaran UU ITE. ANTARA FOTO/Feny Selly/aww.

Sebelumnya, putusan Pengadilan Negeri (PN) Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr, 26 Juli 2017, Baiq Nuril dinyatakan bebas dari dakwaan. Dalam hal ini majelis hakim yang diketuai Albertus Usada bersama dua hakim anggota (Ranto Indra Karta dan Ferdinand M. Leander) memperhatikan ketentuan pidana Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU No. 11/2008 tentang ITE, dan Pasal 191 ayat (1) UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta peraturan perundangan-undangan lain.

Majelis hakim menyatakan terdakwa Baiq Nuril Maknun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan penuntut umum. Hakim lalu membebaskan terdakwa, kemudian memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan kota, memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.

Atas putusan yang membebaskan terdakwa itu, jaksa penuntut umum I.A.P. Camundi Dewi dari Kejaksaan Negeri Mataram mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 1 Agustus 2017.

Delapan hari kemudian, tepatnya pada tanggal 9 Agustus 2017, termohon (terdakwa) Baiq Nuril menerima pemberitahuan permohonan kasasi. Mahkamah Agung menerima memori kasasi dari pemohon (JPU) pada tanggal 11 Agustus 2017, kemudian pada tanggal 18 September 2017 menerima kontramemori kasasi dari termohon.

Dalam putusan kasasi tersebut, majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi sekaligus membatalkan putusan PN Mataram. Majelis menyatakan bahwa terdakwa Baiq Nuril Maknun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".

Kala itu publik sempat membicarakan putusan majelis hakim di tingkat kasasi itu. Pasalnya, ada dugaan Baiq Nuril (mantan pegawai honorer SMA Negeri 7 Kota Mataram) adalah korban kasus pelecehan seksual. Namun, yang bersangkutan malah dihukum karena melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Di tengah polemik, di sela-sela kunjungan ke Pasar Sidoharjo, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Senin, 19 November 2018, Presiden RI Joko Widodo mengatakan bahwa Baiq Nuril dapat mengajukan grasi kepada dirinya sebagai kepala pemerintahan bila merasa belum mendapat keadilan dari putusan MA.

Presiden sangat mendukung Baiq Nuril mencari keadilan. Akan tetapi, seandainya belum mendapatkan keadilan bisa mengajukan grasi kepada Presiden. (Sumber: ANTARA)

Dalam hal ini, Presiden memang memiliki hak untuk memberikan grasi, baik berupa peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang putusannya sudah inkrah (berkekuatan hukum tetap).

Hak itu sudah diatur di dalam Pasal 14 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Namun, dalam pemberian grasi ini tentunya memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22/2002 tentang Grasi disebutkan bahwa untuk mendapatkan pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan grasi kepada Presiden.

Grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia (HAM) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Grasi yang diberikan kepada terpidana sebagaimana harus mencerminkan keadilan, perlindungan HAM, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun. Sementara itu, putusan terhadap Baiq kurang dari 1 tahun.

Hak prerogatif lain yang perlu diketahui pasangan calon presiden/wakil presiden seperti amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.

Ditegaskan dalam konstitusi bahwa Presiden dalam menggunakan hak prerogatif berupa grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (UUD NRI Tahun 1945 Pasal 14 ayat 1).

Makna rehabilitasi versi KBBI Daring adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula).

Sementara itu, lema amnesti (versi KBBI) adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.

Abolisi merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara sebelum pengadilan menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut.

Kedua hak istimewa kepala negara itu (amnesti dan abolisi) pemberiannya dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Oleh karena itu, tidak hanya peserta Pilpres 2024 yang perlu tahu hak prerogatif presiden, tetapi juga mereka yang memperebutkan 580 anggota DPR RI di 84 daerah pemilihan (dapil) pada pemilu mendatang juga harus tahu mekanismenya.

Setidaknya mereka yang berlaga pada Pemilu Anggota DPR 2024 mengetahui substansi peraturan perundang-undangan mengenai amnesti dan abolisi. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.

Tampaknya perlu ada keberanian pembentuk undang-undang untuk menyatukan hak-hak prerogatif presiden, yang termaktub dalam konstitusi, dalam sebuah undang-undang. Produk hukum ini diharapkan lahir pada masa pemerintahan periode 2024—2029 yang merupakan produk Pemilu 2024.

 

Copyright © ANTARA 2023