Jakarta (ANTARA) - Sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 153/Tahun 1967, setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Di masa pemerintahan Orde Baru hingga penetapan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila di tahun 2016, peringatan Hari Kesaktian Pancasila tidak banyak dipertanyakan. Setelah Hari Kelahiran Pancasila diperingati kembali setiap 1 Juni, barulah kerap muncul pertanyaan tentang bagaimana memosisikan Hari Kesaktian Pancasila.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus mengetahui latar belakang historis mengapa pada waktu itu pemerintahan Orde Baru menetapkan Hari Kesaktian Pancasila dan setelah itu melihat asas manfaatnya bagi bangsa dan negara.

Merujuk sejarahnya, Hari Kesaktian Pancasila ditetapkan sebagai satu kesimpulan dan keputusan untuk memberi tanda dan momentum keberhasilan menumpas pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal sebagai pemberontakan G-30-S/PKI. Pada peristiwa pemberontakan tersebut, enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat terbunuh di malam 30 September 1965.

Berbeda dengan Orde Baru yang menyebut G-30-S/PKI, Presiden Sukarno atau Bung Karno menyebut pemberontakan PKI sebagai Gestok atau Gerakan 1 Oktober karena terjadi dini hari 1 Oktober 1965. Melalui pidato pertanggungjawabannya yang berjudul “Nawaksara” dan disampaikan di hadapan Sidang MPRS, Bung Karno menjelaskan mengenai Gestok dan hubungan antarlembaga negara. Namun pidato pertanggungjawaban itu ditolak oleh MPRS dan Bung Karno diminta untuk memberikan penjelasan tambahan.

Bung Karno kemudian menyampaikan penjelasannya lewat pidato pelengkap Nawaksara tanggal 10 Januari 1967. Ia menjelaskan bahwa Gestok terjadi disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, karena pimpinan PKI yang keblinger. Kedua, diakibatkan oleh tindakan subversif Neokolim, yakni adanya pihak asing yang diduga sudah masuk ke Indonesia seperti CIA. Ketiga, adanya oknum yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya, Bung Karno menyampaikan bahwa Gestok merupakan upaya penyerbuan yang sempurna bagi dirinya.

Pernyataan Bung Karno kemudian terbukti dengan diturunkannya Bung Karno sebagai Presiden RI pada 12 Maret 1967. Bung Karno diturunkan dengan tuduhan mendukung G-30-S/PKI. Tuduhan yang hingga sekarang tidak pernah terbukti. Dengan turunnya Bung Karno, Soeharto lalu mengambil alih kekuasaan dan membubarkan PKI serta menangkap 15 menteri Sukarno dengan tuduhan terlibat G-30-S/PKI.

Dalam perkembangannya, fakta-fakta sejarah memperlihatkan bahwa dari dokumen CIA setebal sekitar 30 ribu halaman yang dirilis pada 17 Oktober 2017 di George Washington University, diakui adanya keterlibatan AS dalam G-30-S/PKI dan bahkan nama Soeharto disebut-sebut di dalamnya.

Terlepas dari tuduhan keterlibatan Bung Karno dalam mendukung G-30-S/PKI, yang pasti dokumen kenegaraan menunjukkan bahwa melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966, Pemerintah menetapkan PKI sebagai Partai Terlarang. Larangan tersebut baukan tanpa alasan yang kuat. Sejarah menunjukkan bahwa sebelum peristiwa G-30-S/PKI, PKI telah melakukan pemberontakan terhadap NKRI dan berkeinginan mengganti Pancasila dengan ideologi Komunis.

Padahal Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa dan ideologi negara merupakan nilai-nilai yang harus dipedomani bangsa Indonesia dalam proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa dan memiliki nilai dasar yang diakui secara universal dan tidak akan berubah oleh perjalanan waktu.

Oleh karena itu, dengan diperkuatnya Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966 melalui Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 mengenai Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, maka Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966 mengenai larangan terhadap PKI tetap berlaku dan menjadi ketetapan yang permanen.

Jadi, berdasarkan TAP MPR tersebut, peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang dimaksudkan untuk mengingatkan akan bahaya PKI dan nilai-nilai komunisme yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia, masih sangat relevan untuk diperingati setiap 1 Oktober. Selain bahaya komunisme, peringatan Hari Kesaktian Pancasila juga bisa untuk mengingatkan masyarakat Indonesia akan adanya ancaman banyak pihak untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain.

Oleh karena itu, setiap kali memperingati Hari Kesaktian Pancasila maka kita harus memosisikannya sebagai bagian dari upaya membangun persatuan dan kesatuan serta merangkul seluruh anak bangsa. Dari sisi manfaat, kita harus memanfaatkannya sebagai upaya mewarisi api semangat persatuan dari para pendiri bangsa, bukan abunya. Kalau abunya yang diwariskan maka konflik berkepanjangan akan terus terjadi.

Kita mesti menyadari bahwa sejalan perkembangan global yang diikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, lanskap kontestasi ideologi dan tantangan yang mesti dihadapi juga ikut berubah. Tantangan eksistensi ideologi Pancasila semakin deras di tengah zaman yang serba terbuka, teknologi tinggi, dan gempuran ideologi tandingan baik berasal dari dalam dan luar negeri. Tantangan yang dihadapi bukan hanya datang dari mereka yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, tetapi juga datang dari tindak radikalisme, disintegrasi, intoleransi, ketidakadilan ekonomi dan keadilan sosial, narkoba dan sebagainya.

Menyikapi tantangan yang mengemuka, tentu saja bukan sekadar memperingati Hari Kesaktian Pancasila tetapi juga merespons dengan kebijakan yang selaras agar Pancasila tetap sakti dan tidak tergantikan. Karena mengganti Pancasila sama saja mengubah NKRI.

Untuk itu, dikeluarkannya Keppres RI Nomor 24 tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila merupakan salah satu langkah awal untuk terus meneguhkan kesaktian Pancasila.

Melalui Keppres Nomor 7/2016 kelahiran Pancasila ditegaskan asal-usulnya dan harus diketahui oleh seluruh bangsa Indonesia sehingga kelestarian dan kelanggengan Pancasila senantiasa diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sedangkan melalui Perpres 7/2018 ditetapkan institusi yang memiliki kewenangan menyusun masukan kebijakan kepada Presiden RI dan melakukan pembinaan ideologi Pancasila.

*) Aris Heru Utomo
Direktur Pengkajian Materi Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila

Copyright © ANTARA 2023