Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menyatakan bahwa regenerasi seniman batik, khususnya batik tulis perlu dibangun melalui pendidikan.

“Poinnya itu ada pada regenerasi. Itu isu yang diangkat karena seniman batik ini jumlahnya semakin menyusut, jadi memang perlu ada peningkatan dan pelatihan dari para penerus. Kita lakukan melalui pendidikan,” kata Hilmar saat ditemui di Jakarta pada momen Hari Batik Nasional, Senin.

Ia menyampaikan, saat ini pemakaian batik cenderung dilakukan sebatas karena formalitas dan kewajiban saja, tidak tumbuh dari kesadaran diri sendiri untuk mengenakannya, sehingga generasi muda tidak sepenuhnya tahu filosofi dan nilai apa yang ada di balik batik.

“Saya kira sejarah seperti (batik) ini, soal filosofi, desain, maksudnya apa, dan kebudayaan secara umum yang informasinya kurang sehingga masih ada anjuran untuk menggunakan batik, padahal seharusnya kan tumbuh dari dalam, dari kita sendiri,” ujar dia.

Baca juga: Batik karya narapidana Jatim dikenal dunia

Baca juga: Angkasa Pura I gandeng perajin lokal semarakkan Hari Batik Nasional


Meski begitu, menurutnya sesuatu yang dibiasakan bisa menghasilkan norma dan hal-hal yang baik apabila dilakukan secara konsisten, misalnya imbauan mengenakan batik setiap hari Jumat.

“Setelah ditetapkan sebagai warisan dunia tahun 2009, dan sempat ada masanya tiap hari Jumat orang dianjurkan untuk menggunakan batik. Kalau melihat dari antusiasmenya, sih bagus, karena dulu ada kesan kalau batik itu masa lalu, milik para orang tua, dan seterusnya, tetapi sekarang setiap hari Jumat kita sering sekali ya melihat anak-anak muda mengenakan batik, berbagai macam versi,” ucapnya.

Ia mencontohkan salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, yang membiasakan penggunaan batik sebagai pengganti jas dan bisa dirasakan hingga kini manfaatnya.

“Batik ini kan sekarang banyak yang modelnya kemeja, mungkin 100 tahun lalu enggak ada orang pakai batik. Ini Bang Ali Sadikin, dia dulu Gubernur DKI, kira-kira 45 tahun yang lalu menginisiasi menggunakan batik sebagai pengganti jas, nah sekarang jadi norma, kebiasaan, semua orang bisa menggunakan,” paparnya.

Untuk itu, menurutnya, penting untuk mempertahankan edukasi tentang batik yang selama ini telah dilakukan di sekolah-sekolah baik itu melalui mata pelajaran, ekstrakurikuler, maupun sentra-sentra batik yang menyediakan pembelajaran untuk anak-anak.

“Tadi kita sempat lihat, ya, membatik itu ternyata tidak mudah sama sekali, diperlukan konsentrasi, ketekunan, kesabaran, jadi salah satu cara, saya kira banyak sentra-sentra batik membuka kelas-kelas membatik untuk anak-anak dan itu cara yang saya kira cukup efektif,” tuturnya.

Dengan dibukanya Museum Batik Indonesia pada hari ini, menurutnya, juga bisa menjadi momentum untuk membangun forum yang lebih besar sebagai wadah untuk menularkan narasi-narasi tentang batik kepada generasi muda.

“Kalau nilai dan filosofi, cukup banyak publikasi dan salah satu forum yang penting adalah museum batik ini, praktis punya informasi yang cukup komprehensif mengenai sejarah, kebudayaan, filosofi, nilai, dan koleksi yang cukup lengkap untuk menggambarkan peradaban batik Indonesia,” kata dia.

Sekolah, menurutnya, juga menjadi tempat yang tepat agar seni batik ini tetap bertahan dari generasi ke generasi.

“Kalau dari kita, melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sekolah-sekolah vokasi, menghubungkan dengan sentra-sentra batik ini, dan ada sekolah khusus untuk batik di Pekalongan, yang dapat penghargaan karena punya pusat pendidikan untuk batik,” demikian Hilmar Farid.*

Baca juga: Menkominfo: Istana Berbatik ajang promosi warisan budaya Indonesia

Baca juga: Bupati Rudy Gunawan berikan penghargaan kepada 56 pembatik khas Garut


Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2023