Jakarta (ANTARA) - Pembentukan karakter anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain lingkungan pergaulannya, orangtua memiliki peranan yang besar terhadap penanaman nilai yang dianut oleh anaknya. Jangan sampai seorang anak ditanamkan nilai yang terdistorsi, sehingga perbuatan buruk yang dia lakukan dianggap sebagai suatu kebaikan.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Maharani Ardi Putri, menjelaskan, pembentukan perilaku anak didasarkan oleh banyak faktor. Pola orangtua dalam mendidik dan menanamkan nilai pada anak-anaknya juga penting, tetapi perlu diingat bahwa bagaimanapun anak-anak punya proses kehidupannya sendiri.

Terkait kasus bullying atau perundungan yang sudah beberapa kali meramaikan berbagai media, Putri menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena pelaku bullying tidak ditanamkan pemahaman tentang konsep toleransi terhadap pihak yang berbeda atau berseberangan. Pelaku perundungan cenderung melakukan hal yang agresif, merugikan orang lain, bahkan berani menentang hukum karena ia memiliki nilai yang salah untuk dirinya ikuti.

Baca juga: Pengamat: Setop sebarkan identitas anak pelaku perundungan di Cilacap

"Ketika seorang anak memasuki usia remaja hingga dewasa, mereka akan mencari sendiri jalan hidupnya. Pengalaman si anak yang didapatkan ketika bertemu orang-orang yang berbeda pandangan atau perspektif, akan ikut menentukan orientasi hidup dari anak itu sendiri. Seorang anak akan mengikuti pandangan yang dirasa sesuai dengan apa yang ia yakini," kata dia, di Jakarta, Rabu (4/10/2023).

Kepala Biro Humas dan Ventura Universitas Pancasila ini menambahkan bahwa pada usia remaja, anak juga sudah menentukan apakah dia lebih percaya pada lingkungan sosialnya yang baru, ataukah pada keluarganya sendiri.

"Pada akhirnya, semua orang akan mengembangkan nilainya masing-masing, walaupun kebanyakan anak akan mengadopsi sebagian besar nilai yang sama dengan milik orang tua mereka. Terkadang pula, ketika anak-anak menerima aliran atau perspektif yang berseberangan dengan apa yang ditanamkan oleh orang tua, bisa jadi nanti dalam prosesnya mereka justru kembali lagi pada original nilai asli keluarganya," katanya.

Baca juga: Budayawan: Wayang kulit sarana pendidikan karakter anak bangsa

Ia menggarisbawahi, kebanyakan guru atau tenaga pendidik di Indonesia seringkali terburu-buru untuk melihat anak didiknya punya perilaku yang agamis. Keinginan ini menyebabkan lingkungan pendidikan anak di Indonesia akhirnya lebih banyak dikemas oleh aspek ritual semata, seperti cara berpakaian, sikap yang terlihat santun, tetapi pemahaman agamanya sangat dangkal.

"Bahkan masih ada saja guru yang memaksakan persepsinya terhadap agama yang dia yakini. Beberapa sekolah juga masih ada yang hanya menitikberatkan pada perspektif agama saja. Sebagai contoh, kadang-kadang anak di usia remaja itu ada kalanya bicara tentang pacaran, tetapi seringkali ditanggapi dengan cepat bahwa pacaran itu dosa, tanpa diberikan pemahaman dari sudut pandang yang lebih mudah untuk dicerna para remaja," paparnya.

Menurut dia, persoalan pahala dan dosa adalah hal yang abstrak sehingga perlu diimbangi dengan pendekatan akademis dan logis agar mudah untuk mengajak dan membentuk karakter anak-anak kita menjadi lebih baik lagi.

Baca juga: Sanggar Anak Kita perjuangkan hak pendidikan anak di TPST Bantargebang

Ia mengatakan, ketika penjelasan yang orang tua atau guru berikan sulit diterima oleh anak, mereka jadi malas untuk mengikuti ajakan baik yang datang padanya. Ajakan orangtua atau guru kepada anak untuk beribadah dengan lebih giat tentu tidak salah, tetapi perlu diingat bahwa anak harus merasa dilibatkan dan tidak hanya seperti diperintah saja.

"Contohnya, ada anggapan bahwa bila anak rajin salat, maka ia akan berperilaku baik. Adanya anggapan seperti ini berarti ada cara berpikir yang tidak komprehensif dan sering dipaksakan pada yang anak belum paham korelasi antara ibadah dan akhlak yang baik. Anak-anak kita jadi tidak terbiasa berpikir kritis karena mereka lebih diharapkan untuk menerima saja apa yang diberikan padanya. Ironisnya, ini adalah praktik pendidikan agama di Indonesia selama bertahun-tahun," tambah Putri.

Putri yang juga aktif sebagai psikolog anak dan keluarga ini pun mengajak pada orang tua untuk mau mempertimbangkan secara bijak dalam memilih lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. Orangtua perlu bersikap kritis dan berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang lembaga pendidikan yang mengajarkan agama terhadap anak-anak mereka.

Baca juga: Cegah perundungan, KPAI dorong implementasi UU PLP

"Misalnya, walaupun orang tua mau menitipkan anaknya di pesantren, tetap harus dipelajari dulu kredibilitas lembaganya seperti apa? Kurikulumnya bagaimana? Hal ini tentunya berlaku untuk semua latar belakang agama," katanya.

Ia menerangkan, anak juga perlu dibekali dengan wawasan dari bahan bacaan yang luas dan punya pergaulan dari lingkungan sosial yang sehat. Ini dapat menjadi support system bagi anak agar dapat melihat dunia tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Dengan begitu, anak dapat melihat benang merah dari semua pelajaran yang dia dapatkan, tidak hanya tekstual namun dia juga bisa memahami lapisan kontekstualnya.

"Kita sebagai orangtua juga perlu belajar untuk mengaitkan semua pengalaman yang dimiliki untuk menjadi pemahaman yang komprehensif untuk anak-anak kita dan mendampingi mereka untuk mencerna segala fenomena yang terjadi," tandas Putri.
 

Pewarta: Hendri Sukma Indrawan
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2023