Ada panen baik dan kita sukses. Ada juga masa penuh cobaan seperti ini. Kami belajar.
Balikpapan (ANTARA) - Tak percuma memang Kelurahan Margasari di Balikpapan Barat disebut orang Kampung Atas Air. Di kampung di atas laut di pesisir itu, warga bercocok tanam pun di atas air.

”Hidroponik itu kan begitu. Bibit sawi ditaruh di atas air, lalu kita tunggulah beberapa lama hingga ia tumbuh. Nanti 20 hari kemudian, sudah bisa dipanen,” senyum Sarwana, koordinator Program RawaBening.

Sesuai sebutannya ”Kampung Atas Air”, wilayah permukiman ini dibangun warga di atas pantai dan menjorok ke laut. Rumah-rumah didirikan di atas tiang-tiang kayu ulin dalam desain rumah panggung. Jalan dan gang juga demikian.

”Karena kami tidak punya lahan untuk bercocok tanam,” kata Abdal Nanang, Ketua RT 30. Apalagi ribuan orang tinggal di sini, menjadikan Kampung Atas Air pemukiman yang padat. Dulunya bahkan semua pojok dan ruang dimanfaatkan untuk tempat tinggal.

Sampai kemudian terjadi beberapa kali kebakaran. Agar tak terulang, Pemkot membantu menata lingkungan. Gang-gang dilebarkan, dibuatkan ruang terbuka hijau dengan tanaman pohon-pohon bakau.

Namun, mengapa orang-orang yang tidak punya lahan dan jelas-jelas bukan petani ini ingin bercocok tanam?

Jawabannya ternyata bisa dirunut hingga sebelum wabah COVID-19. Pada 2018 dan kemudian 2019, urban farming atau pertanian kota tengah meledak di Kota Minyak ini dengan berbagai alasan.

Satu alasan yang populer adalah, "Karena perintah komandan". Ketika itu Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ingin para prajurit juga ikut berperan dalam wacana food estate, penyedia makanan.

Maka di asrama TNI ramailah prajurit membuat kebun hidroponik dari pipa paralon dan menanam padi di dalam bekas ember cat. Karena terlihat bagus, dan memang bermanfaat, program itu segera menular ke kampung-kampung.

”Enak juga makan sayuran tanaman sendiri. Banyak hemat,” kata Bledug, panggilan prajurit Kodam VI Mulawarman yang bertugas di RS dr Hardjanto.

Karena itu, warga Kampung Atas Air pun turut memilih hidroponik sebagai satu kegiatan kaum ibu di kampung. Program ini pun didukung penuh tetangga mereka, yaitu PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Unit Balikpapan.

”Tetangga dekat banget. Sebelahan pagar,” cetus Abdal Nanang, pedagang buah di Pasar Pandansari, pasar yang juga tetangga dekat Kampung Atas Air.

Hidroponik cocok dikerjakan di Kampung Atas Air karena tidak memerlukan lahan luas. Berapa pun lahan yang ada, program tetap bisa dikerjakan.

Jadi, di mana ada keinginan, di situ ada lahan. Seorang warga yang punya beberapa properti mengikhlaskan lahan bekas rumahnya untuk dimanfaatkan kegiatan seluruh warga. Maka di situ dibangun nursery atau rumah persemaian, tempat di mana semua pipa paralon berdiameter 10 cm yang jadi wadah media tanam disusun rapi dan rapat.

Lalu air hujan dipilih sebagai media tanam, terutama sebab gratis dan bisa langsung dipakai. Pada musim hujan, air tersedia melimpah. Pun warga sudah biasa menampung air hujan. Air hujan bisa untuk menyiram toilet, untuk menyiram tanaman, untuk cuci kaki, banyak juga yang pakai untuk cuci sepeda motor. Dan kemudian, untuk media tanam hidroponik.

”Memang air hujan praktis. Tidak seperti air PDAM yang harus diendapkan dulu karena sudah mengandung banyak bahan kimia yang digunakan untuk menjernihkan dan menjadikannya bersih,” jelas Sarwana yang menaruh meja-meja hidroponiknya di lahan kosong bekas rumah ibunya yang terbakar beberapa tahun lalu.

"Ibu juga belum ada niat lagi membangun di lahan kosong ini, jadi saya pinjam dulu lahannya," sebut Sarwana. Orang tua yang sudah nyaman tinggal bersama anaknya dan royal kepada cucu-cucunya, mungkin sudah lupa niat untuk bangun rumah lagi.

Maka mulailah warga menanam. Para ibu dan istri seperti Sarwana menjadi penggerak utama karena merekalah yang punya waktu dan naluri mengurusi tanaman setiap hari. Para ibu dan istri tekun merawat mulai dari menanam sampai memanen.

Para ibu dan istri rajin mengecek aliran air, teliti memeriksa setiap tanaman, apakah aman dari serangan ulat daun, apakah nutrisi yang diberikan cukup, apakah perlu naungan tambahan karena matahari terlalu garang.

Untuk mencegah serangan ulat, tanaman disemprot herbisida yang dibuat sendiri. Ramuan berbagai rempah dan tanaman cukup membuat ulat daun tak berdaya.

Karena itu, Oktober 2022, saat itu menghijaulah oleh daun sawi ruang nursery Program RawaBening. Ada juga bayam dan selada. Semua subur, rimbun, dan hijau.

”Tidak kalah pamor kalau dipajang di rak swalayan jaringan internasional,” cetus Abdal Nanang. ”Tinggal dikemas plastik bening jadi seperti buket bunga, diberi pita plastik, dikasih barcode, dijual dengan dihitung beratnya,” ujarnya lagi.

Hasilnya, ”Panen pertama sawi dan selada saja sudah luar biasa,” tutur Ely Chandra Perangin Angin.

Panen pertama untuk para penanam dan warga saja. Untuk menghargai jerih payah dan menikmati hasil kerja. Ada juga sedikit dibagi-bagi untuk perkenalan.

Adapun pada panen kedua sudah dipesan untuk dibeli. Panen berikutnya, selalu habis laku tak bersisa, bahkan sudah habis sebelum sempat masuk pasar swalayan.

Kemudian ada lagi yang kreatif membuat cemilan dari sayur bayam. Ada rempeyek dengan bayam, stik sayur, yang semula diniatkan untuk makanan tambahan bergizi untuk mencegah kekerdilan pada anak.

Sekarang juga sudah jadi unit usaha tersendiri dan memberi pekerjaan dan penghasilan tambahan untuk keluarga.

Kreativitas itu juga muncul karena hasil panen melimpah bikin harga jatuh. Dengan jadi produk olahan, bahan baku itu terselamatkan.


Penghargaan

Setelah berjalan beberapa lama, kehijauan sayuran di nursery RawaBening itu menarik mata dewan juri Communitas Awards, ajang penghargaan internasional yang diberikan kepada sektor bisnis, organisasi, dan individu yang berkontribusi kepada lingkungan secara berkelanjutan.

Perhelatan ini diikuti oleh berbagai perusahaan berskala internasional. Nomine penghargaan ini dievaluasi berdasarkan tingkat dan efektivitas program, selain juga kontribusi kepada masyarakat melalui program tanggungjawab sosial yang telah dikembangkan.

Penghargaan itu diselenggarakan oleh Associations of Marketing and Communication Professionals (AMCP), atau Persatuan Pemasar dan Kehumasan Profesional, organisasi yang  berkantor pusat di Texas, Amerika Serikat.

Kepada juri, Ely Chandra secara singkat memaparkan apa yang mereka kerjakan di Kampung Atas Air. Melalui program RawaBening, ia bersama masyarakat memaksimalkan ruang sempit untuk penghijauan, dikombinasikan dengan pemanfaatan air hujan atau yang disebut dengan pemanenan air hujan atau rain water     harvesting (RWH).

Air hujan ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk budi daya sayuran secara hidroponik sehingga memberi penghematan penggunaan air.

Selain menghasilkan sayur hidroponik, program RawaBening juga menghasilkan produk-produk dari olahan sayur. Masyarakat memproduksi makanan ringan seperti stik sayur, rempeyek bayam, dan keripik tortila.

Saat pengumuman pada Juli 2023, RawaBening mendapat penghargaan untuk kategori Community Service and Social Responsibility (Melayani Masyarakat dan Tanggung Jawab Sosial).

Program itu dianggap sukses memberi kontribusi kepada masyarakat. Program juga dinilai efektif karena kegiatannya sederhana, namun bisa menggerakkan masyarakat, dan kemudian memberi hasil yang bermanfaat serta memiliki nilai ekonomi. Bahkan kemudian membuat program sampingan atau program turunan, yang juga sangat bermanfaat dan bernilai ekonomi.


Kreatif cari solusi

Pada Oktober 2023 atau setahun setelah warga merintis, ujian datang kala musim kemarau tiba. Kota Balikpapan turut terkena dampak El Nino, yang membuat semua hujan menuju Samudera Pasifik. Sebab lama tak ada hujan, dua tandon kapasitas masing-masing 1.500 liter air RawaBening pun kosong.

Untuk menyiasatinya, warga sementara pakai air PDAM. Lalu beli pompa untuk mendorong air masuk ke atas.

Air PDAM, seperti disebutkan di atas, tak bisa langsung dipakai jadi media tanam. Ia harus diendapkan dulu dan didiamkan beberapa lama.

”Itu satu. Kedua, karena Matahari sangat terik, sayuran juga menjerit,” ujar Sarwana. Matahari membuat hormon pertumbuhan tanaman terhambat meskipun sudah di bawah atap nursery. Ini membuat sayuran perlu waktu lebih lama dari 20 hari untuk mencapai ukuran jualnya.

Meskipun demikian, masyarakat tidak putus asa, mereka terus saja menanam dan menghadapi tantangannya.

”Ada panen baik dan kita sukses. Ada juga masa penuh cobaan seperti ini. Kami belajar,” kata Sarwana lagi.

“Kami selalu percaya, di tengah segala keterbatasan yang dimiliki, di situlah terdapat peluang berinovasi untuk pemecahan masalahnya. Masyarakat yang tidak pernah putus asa, akan memacu kreativitasnya dalam mencari solusi. Kami membantu memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan tersebut dan mewujudkannya dalam sebuah program berkelanjutan," ujar Chandra.






 

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023