Ketika rasionalisme tidak hadir di ruang batin pemilu kita, maka ia akan digantikan oleh ruang emosional yang bersumbu dan bersumber dari sentimen identitas.
Jakarta (ANTARA) - Pemilihan presiden RI di era reformasi mengarah pada tradisi pilpres di Amerika Serikat. Indikasinya, kritik, adu program, dan gagasan berkelindan dengan latar belakang ideologi serta sentimen identitas (agama, etnik, ras, dan asal atau antargolongan) para calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, justru sentimen identitas itulah hal dominan yang terinternalisasi dalam memori publik kita.

Tragisnya, sentimen identitas itu pula yang menjadi “materi” utama diskursus atau wacana di media sosial dan sumber ketegangan sosial di akar rumput yang bersumbu pendek.

Untuk menutup munculnya ketegangan sosial di medsos--setidaknya meminimalisasi agar pilpres kita tidak gaduh--tidak bisa dan tidak cukup memadai disikapi dengan imbauan untuk menghindari apalagi tidak menggunakan politik identitas. Sejumlah isu dan kritik yang menjadi kerikil dalam sepatu bagi masing-masing capres dan cawapres umumnya berawal dan berakhir pada sentimen identitas, persis seperti reffrain lagu "Kegagalan Cinta": Kau yang mulai, kau yang mengakhiri.

Akan tetapi sejumlah hal itu pula yang menjadi sebab pilpres kita penuh warna, dinamis, dan saling adu strategi merebut hati rakyat, layaknya pemuda mengumbar rayuan untuk merengkuh cinta sejati pujaan hatinya.

Isu dan kritik terkait keislaman, hak asasi manusia (HAM), dan warna ideologi secara bersamaan mengiringi ruang gerak Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.

Sebab, ketiganya, yakni identitas keislaman; pemahaman terhadap HAM; serta latar belakang ideologi selalu membangkitkan rasa penasaran publik. Pilpres secara khusus dan pemilu kita secara umum belum dipahami publik secara rasional.

Ketika rasionalisme tidak hadir di ruang batin pemilu kita, maka ia akan digantikan oleh ruang emosional yang bersumbu dan bersumber dari sentimen identitas.

Isu tentang politik identitas, misalnya, tudingan Islam garis keras atau juga sebutan lain yang semakna, tiba-tiba muncul sekejap setelah pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin) dideklarasikan. Tudingan ini nyaris menemukan pembenaran dan mendapatkan momentum hebat saat kehadiran duet ini pada pernikahan anak dari Rizieq Shihab.

Tak ubahnya dengan isu draconian pada Prabowo. Prabowo yang terkonstruksi sebagai militer tulen dengan karakter kuat, berpotensi menghadirkan konsep hukum yang tidak konteks antara kesalahan dengan hukuman, persis seperti Yunani pada era Dracon (621 SM). Draconian Law pada sosok Prabowo potensial terjadi. Potensi ini secara faktual mendapat pembenaran ketika publik dikejutkan oleh hoaks tentang penamparan Prabowo terhadap Wakil Menteri Pertanian.

Sementara, pelabelan berideologi kiri, tiba-tiba melekat pada Ganjar Pranowo. Hal ini seiring dengan pernyataan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, bahwa partai Banteng yang mengusung bekas Gubernur Jawa Tengah sebagai capres adalah partai kiri, partai yang progresif.

Pernyataan Hasto ini seakan menjawab dan positioning atas tiga poros capres-cawapres yang ada. Tiga poros tersebut, dengan merujuk latar belakang capres-cawapres--bukan berdasar sejumlah partai pengusungnya-- adalah Anies-Muhaimin sebagai representasi kekuatan Islam, Prabowo Subianto, kandidat dari militer, serta Ganjaar Pranowo, yang mewakili kaum nasionalis (kiri).


Kritik Anies, Hasto, dan Muhaimin

Anies dan Hasto kompak mengkritik sejumlah proyek pemerintahan Jokowi. Hasto, serta belakangan Muhaimin memandang miring proyek food estate. Hasto menyebut proyek tersebut sebagai kejahatan lingkungan. Paralel dengan Muhaimin, yang menyebutnya sebagai proyek gagal.

Adapun kritik Anies Baswedan tidak secara langsung tertuju pada food estate, tetapi lebih menyebar. Anies menyebut sejumlah proyek strategis nasional (PSN) sebagai titipan kanan kiri (tanpa merinci proyek apa saja). Kritik ini disampaikan di hadapan peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Masyumi pada 30 September 2023.

Sejumlah kritik ini, dan juga kritik-kritik yang lain, jika diletakkan dalam konteks kontestasi Pilpres 2024, bisa dibaca dari sejumlah sudut berikut.

Pertama, kritik itu merupakan cara untuk menunjukkan bare face, wajah asli, wajah telanjang seperti apa dan bagaimana asbabul wurud (matang-tidaknya perencanaan, ada-tidaknya tiitpan) dan qashdu syar’i (output dan outcome-nya), program-program pemerintahan Jokowi.

Hal itu tergambar pada kritik Anies yang kian menajam terkait Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. IKN menurut Anies jika didasarkan pada perencanaan yang baik dan berdampak bagi masyarakat Indonesia, pasti jalan terus (CNBC Indonesia, 14 Juli 2023) dan sebaliknya.

Kritik sebagai bare face atas Jokowi yang dilakukan Anies, makin nyaring resonansinya  setelah mendapat pasangan (Muhaimin  Iskandar) pada Pilpres 2024. Seakan mendapatkan energi baru, setelah didukung dan diusung PKB, PKS, dan Nasdem, Anies kian vokal.

Terbaru, Anies menyebut bahwa pemerintahan Jokowi berpihak pada investor serta minim pelibatan masyarakat. Anies juga melakukan kritik keras atas penyingkiran lawan politik melalui institusi negara.

Anies ketika mengkritik sejumlah PSN tidak menyebut secara rinci sebagai titipan kanan kiri. Demikian halnya dengan kelompok oposisi, kelompok yang berisi kelas menengah kota.

Kelompok ini secara gagasan in-line dengan tawaran kampanye koalisi perubahan. Kelompok ini juga secara gencar menuding proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sebagai “proyek rugi”.

Meski Anies, Muhaimin, dan kelompok kelas menegah tidak menyebut PSN, food estate, dan kereta cepat sebagai titipan kanan kiri,  publik dan pemain medsos telanjur membangun konstruksi makna atau meaning bahwa proyek-proyek tersebut adalah “tiitpan kanan kiri”.

Kedua, dengan memperlihatkan bare face pemerintahan sekarang, Anies dan Muhaimin, seakan mengajak publik untuk memahami bahwa sejumlah kritik tersebut merupakan pondasi dan rancang bangun sekaligus jangkar perubahan.

Ketiga, bare face atas Jokowi sudah pasti semakin menggelegar manakala pasangan Amin berpidato dalam rapat umum di hadapan  pendukung fanatiknya. Secara psikologi massa, pidato yang berisi kritik pada pemerintahan di rapat-rapat umum, makin menggelegar.

Menurut Gustave Le Born, kondisi ini disebabkan dan dikonstruksi oleh law of mental unity, hukum kesatuan jiwa dan social facilitation, penguatan aktifitas sebab tersugesti oleh oleh aktivitas individu lainnya dalam kurumunan massa.

Keempat, sebagai tema dan narasi kampanye, respons terbaik dari gelombang kritik dari pasangan Amin atas pemerintahan sekarang, bukanlah logika normatif seperti yang disampaikan Jokowi dan Ganjar: Tunjukkan datanya.

Pernyataan-pernyataan bernuansa down-grade: pilih Amin bidah, jangan pilih wajah ganteng bermulut manis tetapi berpolitik identitas model Yaqut Cholil Qoumas adalah respons yang apple to apple dengan kritik-kritik tersebut. Kenapa? Sebab, sejatinya kritik sebagai tema dan narasi kampanye tidak membutuhkan respons yang bersifat akademik skolastik.

Kemampuan pemerintahan Jokowi dan pasangan lain (Prabowo dan Ganjar), memproduksi dan mereproduksi wacana, re-kritik, hingga mengkreasi wacana lebih dibutuhkan publik maupun pendukungnya, daripada ikut orkestra dan irama gendang pasangan Amin.




*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Centre Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) Jakarta dan dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Ponorogo



**Tulisan tersebut merupakan opini penulis dan tidak mewakili sikap redaksi Kantor Berita ANTARA













 

Copyright © ANTARA 2023