Indonesia hanya 1,3 persen permukaan tanah, tetapi Indonesia masuk negara dengan keanekaragaman hayati yang besar
Jakarta (ANTARA) - Ahli zoologi dan biologi konservasi dari Universitas Indonesia (UI) Jatna Suptiatna mengatakan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang menjadi aset berharga untuk ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, maupun energi.
 
"Indonesia hanya 1,3 persen permukaan tanah, tetapi Indonesia masuk negara dengan keanekaragaman hayati yang besar," katanya dalam seminar transisi energi dengan konservasi daratan yang dipantau di Jakarta, Selasa.
 
Jatna menuturkan keanekaragaman hayati yang besar itu telah diakui oleh dunia melalui hasil rapat Bank Dunia pada era 90-an.
 
Terdapat 10 negara dengan keanekaragaman hayati yang besar, Indonesia punya kekayaan biodiversitas yang hampir sama dengan Brasil.
 
Indonesia unggul dalam biodiversitas di wilayah laut, sedangkan Brasil unggul dalam hal keanekaragaman hayati di wilayah teristrial.
 
Kekayaan biodiversitas yang dimiliki oleh Indonesia berupa 12 persen spesies mamalia, 10 persen spesies bunga, 15 persen spesies serangga, 17 persen spesies burung, 16 persen spesies reptil dan amfibi, 25 persen spesies ikan, dan 77 persen dari total terumbu karang dunia.
 
"Dengan kekayaan itu, Indonesia masih rendah sekali mengenai valuasi (keanekaragaman hayati)," kata Jatna.
 
Dia memaparkan bahwa keanekaragaman hayati punya nilai valuasi hingga triliunan dolar lantaran masyarakat dunia punya ketergantungan terhadap biodiversitas, di antaranya sektor farmasi dari biota punya valuasi 643 miliar dolar AS, bioteknologi dari berbagai mikroba memiliki valuasi sebesar 70 miliar dolar AS, dan benih tanaman yang dihasilkan dari hutan punya nilai valuasi mencapai 30 miliar dolar AS.

Menurutnya, meski Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang besar, namun belum ada biodiversitas yang memiliki nilai valuasi tinggi.
 
"Pisang punya value tinggi dan biodiversitas di Indonesia paling tinggi, tetapi kita tidak pernah ekspor pisang. Kita impor pisang dari Australia dan Filipina," kata Jatna.

Lebih lanjut dia menceritakan beberapa abad lalu, orang-orang barat pernah datang ke wilayah Indonesia karena terpikat dengan keanekaragaman hayati yang melimpah. Bahkan, kala itu satu kilogram rempah dihargai lima ons emas.
 
Seiring berjalannya waktu, biodiversitas tidak ada harga dan mengalami fluktuasi yang besar karena tidak pernah masukkan sains ke dalam keanekaragaman hayati tersebut.
 
Jatna berpesan agar riset-riset mengenai keanekaragaman hayati semakin ditingkatkan untuk mendongkrak nilai valuasi biodiversitas yang dimiliki oleh Indonesia.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2023