Jakarta (ANTARA) - Seandainya Turki Utsmani tak menceburkan diri dalam Perang Dunia I untuk berpihak kepada Jerman dan Austria-Hungaria, mungkin nasib Palestina akan lain. Perang Dunia I berkecamuk dari 1914 sampai 1918.

Tak ada yang tahu pasti apa yang mendasari Turki Utsmani melibatkan diri dalam Perang Dunia I, tetapi saat itu Turki Utsmani tengah melemah sampai dijuluki "The Sick man of Europe", terutama setelah kalah dalam Perang Balkan 1912-1913 sehingga kehilangan semua wilayahnya di Eropa.

Ada yang berpandangan keputusan Turki itu didasari oleh upaya mempertahankan kelangsungan hidup imperium yang pernah memiliki wilayah yang membentang dari Eropa sampai Asia barat itu.

Utsmani yang melemah juga mendorong dua kekuatan kolonial, Inggris dan Prancis, berencana membagi-bagi wilayah Utsmani.

Hal itu memaksa Turki Utsmani menceburkan diri dalam Perang Dunia Pertama karena netral hanya membuat mereka tak berdaya dikerat-kerat Inggris, Prancis dan Rusia. Dengan berpihak, Turki memiliki sekutu yang bisa memulihkan pengaruh globalnya.

Malang bagi Turki Utsmani, mereka berada di pihak yang kalah, sehingga harus menyerahkan wilayahnya kepada Inggris, Prancis dan Rusia. Upaya bagi-bagi wilayah Turki Utsmani itu sudah dirancang sebelum PD I berakhir.

Inggris dan Prancis, membuat perjanjian yang mengiris wilayah Turki Utsmani di Timur Tengah sebagai protektorat mereka. Perjanjian itu dinamai "Sykes-Picot Agreement", dari nama dua diplomat Inggris dan Prancis; Mark Sykes dan Francois Georges-Picot.

Begitu PD I selesai, Inggris dan Prancis mewujudkan Perjanjian Sykes-Picot dengan membagi wilayah Turki di Suriah, Lebanon, Palestina, Irak dan TransJordan ke dalam protektorat mereka. Salah satu yang didapat Inggris adalah Palestina.

Sementara itu, jauh sebelum PD I berkecamuk, sentimen anti Yahudi merebak di Eropa sampai mendorong gerakan Zionisme pada 1897 yang bertujuan mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah yang didiami warga Arab Palestina. Saat itu Palestina masih wilayah Turki Utsmani.

Setahun sebelum PD I berakhir, pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour menyurati tokoh Yahudi terkemuka di Inggris, Lionel Walter Rothschild. Keluarga Rothschild kerap dikait-kaitkan dengan berbagai teori konspirasi global, sampai kini.

Surat Balfour yang memuat 67 kata itu berisi janji Inggris memfasilitasi warga Yahudi mendirikan negara di Palestina yang saat itu 90 persen penduduknya justru orang Arab Palestina. Surat itu kemudian disebut Deklarasi Balfour.

Setelah Inggris resmi mendapatkan mandat di Palestina pada 1923, warga Yahudi di Eropa berbondong-bondong pindah ke sana. Eksodus semakin besar pada PD II ketika Jerman Nazi melakukan pembersihan etnis Yahudi di Eropa.

Warga Arab sendiri menentang eksodus itu. Mereka bangkit mengadakan perlawanan pada 1936-1939. Di bawah perlindungan Inggris, milisi Yahudi melancarkan teror terhadap Arab Palestina sampai merenggut 5.000 warga Palestina.

Pada 1947, jumlah penduduk Yahudi melonjak menjadi 30 persen dari total penduduk Palestina, tapi mereka hanya mendiami 6 persen wilayah.


Perang Enam Hari 1967

Tahun 1947 itu juga PBB yang baru berdiri, mengeluarkan resolusi Rencana Pembagian Palestina yang merekomendasikan berdirinya dua negara dan memandatkan Yerusalem dalam status pengawasan internasional.

Palestina menolak rencana itu karena 56 persen wilayah Palestina mesti diserahkan kepada warga Yahudi, padahal waktu itu, warga Arab Palestina menguasai 94 persen tanah Palestina dan penduduknya 67 persen dari total populasi tanah Palestina.

Saat situasi kian memanas, Inggris mengakhiri mandatnya di Palestina pada 14 Mei 1948, yang pada hari itu juga warga Yahudi memproklamasikan berdirinya Israel.

Sehari setelah itu, pecah Perang Arab-Israel yang berakhir pada Januari 1949 setelah Israel mengikat gencatan senjata dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah.

Di tengah perang itu, pada Desember 1948, PBB mengeluarkan Resolusi 194 yang menjamin hak pengungsi Palestina kembali ke tanah yang diduduki Israel. Setahun kemudian pada 1950, Mesir menduduki Jalur Gaza, sedangkan Yordania memerintah Tepi Barat.

Bara konflik terus menyala, tapi perjuangan Palestina tak memiliki struktur kepemimpinan. Lalu, pada 1964, berdiri Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang setahun kemudian disusul Fatah yang menjadi sayap politik PLO.

Hubungan Arab dan Israel sendiri kian panas saja, apalagi saat itu dunia diselimuti Perang Dingin.

Pada 1967 pecah perang selama enam hari antara Israel dan koalisi Arab. Israel memenangkan perang ini dan menduduki wilayah-wilayah Palestina tersisa di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur, selain Dataran Tinggi Golan di Suriah dan Semenanjung Sinai di Mesir. Praktis tanah air Palestina dirampas total oleh Israel.

Pada 1973 perang kembali pecah, antara koalisi Suriah-Mesir melawan Israel. Mesir dan Suriah berusaha merebut kembali Golan dan Sinai.

Mesir bisa mengimbangi Israel sehingga memaksa negara itu menyepakati gencatan senjata yang mewajibkan Israel menarik tentara dari Sinai barat.

Dua tahun kemudian pada 4 September 1975, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian damai yang membuat Israel mengembalikan seluruh Semenanjung Sinai kepada Mesir, dengan imbalan Mesir mengakui Israel yang diikuti pembukaan hubungan diplomatik.

Perang kembali pecah pada 1982 ketika Israel menginvasi Lebanon untuk memburu PLO yang berbasis di Lebanon. Tiga tahun kemudian, Israel menarik tentara dari Lebanon setelah PLO juga meninggalkan Lebanon.

Tahun-tahun berikutnya Palestina menggunakan metode baru perlawanan lewat gerakan intifada pada 1987. Setahun kemudian lahir Hamas (Harakah Al Muqawamah Al Islamiyyah atau Gerakan Perlawanan Islam).

Setelah melalui periode panas, pada 1993 dicapai kesepakatan Israel-Palestina di Oslo, Norwegia, yang membolehkan PLO berkantor di Tepi Barat dan Jalur Gaza guna membentuk Otoritas Nasional Palestina. Hamas dan Jihad Islam menolak kesepakatan ini.

Mulai dengan Negara Palestina

Pada September 2000 pecah gerakan intifada kedua, yang memicu perang antara Pasukan Otoritas Palestina dan Angkatan Bersenjata Israel. Konflik itu berakhir pada 2005 setelah Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memerintahkan tentara dan pemukim Yahudi angkat kaki dari Gaza.

Setahun setelah itu Palestina menggelar pemilu. Hamas memperoleh 44 persen suara dalam dewan legislatif Palestina. Israel merespons sukses Hamas itu dengan menjatuhkan sanksi ekonomi, sampai Hamas mau menerima hasil perjanjian-perjanjian Palestina-Israel terdahulu, serta mengakui Israel.

Pada 2007, pecah konflik internal antara Fatah dan Hamas pada 2007 yang membuat Fatah terusir dari Gaza. Buntut konflik internal ini, Israel memblokade Jalur Gaza.

Arab Saudi kemudian memediasi Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintah persatuan, di mana Hamas memerintah Gaza, sedangkan Tepi Barat dikelola Otoritas Palestina.

Berikutnya beberapa perkembangan positif terjadi sampai berdampak baik pada peningkatan status Palestina di PBB ketika sejak November 2012, mereka tak lagi berstatus "pengamat anggota non negara", melainkan "Negara Palestina".

Namun demikian, permusuhan Israel-Palestina tak kunjung padam, bahkan pada 2014 pecah perang di Gaza.

Sempat masuki periode relatif tenang, kekerasan memuncak lagi ketika pada November 2022 pemerintahan kanan pimpinan Benjamin Netanyahu yang melibatkan tokoh-tokoh kanan ekstrem, memerintah Israel.

Semasa pemerintahan ini kekerasan pecah hampir sepanjang 2023 di berbagai wilayah Palestina, termasuk Al Aqsa, hingga merenggut korban jiwa yang jumlahnya terbesar sejak 2005.

Masa-masa itu juga diwarnai terobosan diplomatik besar ketika empat negara Arab mengikuti jejak Mesir dan Yordania, membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Kendati terobosan itu tak mengubah nasib Palestina, Arab Saudi yang merupakan negara Arab dan Islam paling berpengaruh, berusaha mengikutinya.

Namun, di tengah ekspektasi rekonsiliasi Saudi-Israel itu, pada Sabtu 7 Oktober, Hamas meluncurkan serangan paling mautnya. Hamas melakukan hal yang tak bisa dilakukan tentara Arab mana pun ketika berhasil menembus masuk dan menduduki wilayah Israel.

Entah serangan ini ada hubungannya dengan upaya rekonsiliasi Saudi-Israel, masih harus didalami lagi. Yang jelas, serangan 30 September itu membuka realitas baru mengenai sebesar mana kekuatan Hamas dan seberapa kokoh pertahanan Israel.

Mungkin peristiwa itu membuat konflik Palestina-Israel semakin pelik, tapi bisa jadi malah mendorong penyelesaian menyeluruh di sana yang diperlukan karena tak mungkin rakyat Palestina dan rakyat Israel yang 21 persen di antaranya etnis Arab, abadi saling menyerang.

Pada Mei 2017, pemimpin Hamas saat itu, Khaled Meshaal, menyatakan Hamas menerima Solusi Dua Negara dengan catatan Negara Palestina harus berdiri di wilayah-wilayah yang diduduki Israel pada Perang 1967, termasuk Yerusalem Timur.

Kendati komitmen Hamas itu tak disertai pengakuan negara Israel, tetap saja menjadi kemajuan penting demi Solusi Dua Negara. Setidaknya mulailah dengan mewujudkan Negara Palestina, karena formula lain ternyata tak bisa menghentikan konflik.

Copyright © ANTARA 2023