Sulit membayangkan Hamas bakal mampu mempertahankan kekuasaan di Gaza. Mungkin ada asa untuk perjuangan bangsa Palestina, tapi harapan untuk Hamas amat kecil.
Jakarta (ANTARA) - Sulit dipercaya, Israel yang hampir 24 jam memata-matai Jalur Gaza dan memiliki dinas intelijen terkenal paling hebat di dunia, bisa kecolongan oleh Hamas sampai organisasi perlawanan Palestina ini bisa melancarkan serangan maut ke dalam wilayah Israel pada 7 Oktober 2023.

Sekitar 1.500 pejuang Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina lainnya menyerbu masuk wilayah Israel lewat serangan terkoordinasi dari darat, udara, dan laut yang didahului oleh tembakan ribuan roket untuk mengalihkan perhatian Israel.

Sejauh ini, Israel kehilangan 1.200 nyawa akibat serangan Hamas itu. Sebaliknya, sekitar 1.800-an nyawa warga Palestina melayang akibat serangan balasan Israel di Gaza.

Kantong yang sudah diisolasi Israel sejak 2007 dan menjadi salah satu wilayah terpadat di dunia itu terus digempur habis-habisan oleh Israel.

Jumat kemarin Israel meminta satu juta lebih penduduk Kota Gaza agar pindah ke selatan Gaza dalam jangka waktu 24 jam karena akan segera digempur dari darat di mana tank-tank tempur Israel sudah siaga di sepanjang perbatasan Israel-Gaza.

Sejauh ini belum ada tanda-tanda eksodus dari Kota Gaza, sedangkan Hamas sendiri meminta penduduk Gaza bertahan di kotanya.

Bahkan Uni Eropa dan Amerika Serikat menganggap perintah Israel itu tidak masuk akal karena bagaimana bisa memindahkan sejuta manusia dalam tempo sesingkat itu.

Perserikatan Bangsa Bangsa, Organisasi Kesehatan Dunia yang memprihatinkan ribuan orang sakit di berbagai rumah sakit di Gaza, Rusia, dan Turki mendesak Israel mengurungkan niat menggempur habis-habisan Gaza dari darat.

Tapi Israel sudah mantap dengan keputusannya. Mereka sudah bersumpah akan memusnahkan Hamas yang menguasai sepenuhnya kantong Palestina itu sejak memenangkan pemilu Palestina pada 2006.

"Musuh-musuh kita mesti menanggung akibatnya. Ini barulah permulaan," kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu seperti dikutip Jerusalem Post.

Menurut Associated Press tiga hari lalu, intelijen Mesir sebenarnya sudah mengingatkan intelijen Israel bakal terjadinya serangan semacam akhir pekan lalu itu.

"Saya tak ingin terlalu merahasiakan soal ini, namun memang sudah ada peringatan sebelumnya," kata Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri DPR Amerika Serikat, Michael McCaul, Rabu lalu.

Peringatan Mesir itu dianggap sepi karena Israel sudah berpuas diri. Perhatian mereka lebih tercurah ke Tepi Barat yang memang panas tahun-tahun belakangan ini.

Atau mungkin saja ada anasir jahat di Israel yang membiarkan serangan semacam itu terjadi agar menjadi pintu masuk bagi negara itu untuk melenyapkan total Hamas. Namun, sejauh ini faktor kecolongan tampaknya yang lebih mengemuka ketimbang skenario seperti itu.

Yang pasti, serangan maut Hamas pada 7 Oktober itu memberi pembenaran kepada Israel untuk melenyapkan Hamas yang dianggap batu ganjalan utama bagi Israel.


"Potong rumput"

Sebelum serangan maut itu terjadi, ada ekspektasi besar di Israel mengenai normalisasi hubungan dengan Arab Saudi, yang bisa membuat Israel mendapatkan tiket untuk rekonsiliasi dengan dunia Islam, mengingat status dan pengaruh Arab Saudi yang besar nan penting.

Konflik Palestina-Israel selalu menjadi ganjalan untuk terwujudnya normalisasi hubungan Saudi-Israel yang sudah menjadi impian setiap rezim Israel, tak peduli dari spektrum politik kanan atau kiri.

Dan, Hamas berada di pusat ganjalan itu. Organisasi perlawanan Palestina ini hampir selalu menentang setiap prakarsa solusi untuk konflik Israel-Palestina.

Hamas cenderung menganut nihilisme, seperti kaum ekstrem kanan Israel, yang tak mau mundur sedikit pun dari sikap politiknya, dan hanya peduli kepada kemenangan total.

Selama ini tak ada formula tepat untuk menundukkan Hamas yang tak begitu disukai oleh umumnya pemerintahan negara-negara Arab yang lebih nyaman berhubungan dengan faksi Fatah pimpinan Presiden Mahmoud Abbas.

Kini, serangan maut Hamas pada 7 Oktober memberi legitimasi yang mungkin sudah ditunggu lama oleh Israel. Entah Hamas yang sembrono, atau Israel yang cerdik. Namun kedua pihak yang berperang agaknya sudah menaksir skenario-skenario yang bisa muncul.

Sejak Hamas berkuasa pada 2007, militer Israel secara berkala menyerang Gaza guna memerangi Hamas dan menghancurkan infrastruktur yang dibangun Hamas. Israel tak ingin Hamas membangun pijakan yang kuat di Gaza.

Mereka menyebut siklus serangan periodik ke Gaza untuk menghancurkan apa yang sudah dibangun Hamas itu dengan istilah "potong rumput." Namun, siklus itu sepertinya bakal segera berakhir.

Tak hanya itu, status quo di Jalur Gaza pun bisa berubah drastis.

"Sulit membayangkan Hamas bakal mampu mempertahankan kekuasaan di Gaza. Mungkin ada asa untuk perjuangan bangsa Palestina, tapi harapan untuk Hamas amat kecil," kata Jon Alterman, Kepala Program Timur Tengah pada Center for Strategic and International Studies (CSIS), seperti dikutip laman stasiun televisi Arab Saudi, Al-Arabiya.

Namun, ada keraguan bahwa Israel akan canggung membumihanguskan Gaza karena mereka harus mempertaruhkan nyawa seratusan warganya yang disandera Hamas setelah serangan 7 Oktober.

"Masalah sandera memperumit situasi (yang dihadapi Israel)," kata pakar CSIS lainnya, Alexander Palmer.


Kembali ke akar konflik

Namun demikian, andaipun Israel akhirnya bisa memusnahkan Hamas, tak ada jaminan sekutu-sekutu Hamas yang hampir seluruhnya berafiliasi kepada Iran, akan diam melihat pemusnahan atau eksterminasi Hamas oleh Israel.

Bahkan, semua komponen bangsa Palestina di seluruh dunia, termasuk dunia Arab, mungkin malah bangkit bersatu. Mereka bisa saja menumpahkan amarahnya tidak hanya kepada Israel, tapi juga negara-negara pendukung Israel, tak terkecuali Amerika Serikat.

Itu artinya konflik akan meluas jauh melintasi Israel dan Gaza.

Saat ini saja, menurut sejumlah pakar di Timur Tengah, seantero Timur Tengah khawatir kawasan mereka terperosok ke dalam perang lebih luas yang melibatkan semua diaspora Palestina di dunia Arab, termasuk Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon, yang berbatasan baik dengan Israel maupun Gaza dan Tepi Barat. Belum lagi satelit-satelit Iran, khususnya Hizbullah di Lebanon.

Sementara negara-negara Arab Teluk mengkhawatirkan dampak kekerasan mencapai wilayah mereka.

Saat ini saja, demonstrasi pro-Palestina terjadi di mana-mana, termasuk di empat negara Arab yang baru membuka hubungan diplomatik dengan Israel, dan juga negara-negara Barat, tak terkecuali Amerika Serikat.

Tak heran, sejumlah pemimpin Barat cenderung menahan diri untuk tak gegabah bersikap. Uni Eropa saja sempat mengeluarkan pernyataan akan membekukan bantuan kepada Palestina, tapi pernyataan itu dicabut hanya dalam hitungan jam.

Amerika Serikat memang mengerahkan angkatan lautnya ke dekat Israel, tapi tampaknya itu lebih merupakan simbol dukungan dan tanggung jawab moralnya sebagai patron setia Israel.

Amerika Serikat tahu masalah Palestina dapat mempersulit situasi mereka di belahan dunia lain ketika mereka justru membutuhkan dukungan global dalam menghadapi Rusia di Ukraina, dan China di medan-medan lain.

Rusia dan China sendiri menolak mengecam Hamas, tapi kedua negara mengutuk serangan brutal terhadap warga sipil yang dilakukan kedua belah pihak, baik oleh Hamas maupun Israel. Pun dengan India yang memang mengutuk Hamas, tapi menolak serangan dari siapa pun yang membuat warga sipil menjadi korban.

Itu semua membuktikan dunia berhati-hati dalam menyikapi konflik ini, walaupun sebagian besar dari mereka memahami langkah Israel dalam membalas serangan Hamas. Namun bukan berarti negara-negara itu mendukung Hamas.

Hamas memang salah telah menyerang dan menyandera warga sipil, tapi provokasi bertahun-tahun elemen-elemen radikal dalam masyarakat Israel seperti terjadi di Al Aqsa, Yerusalem Timur, dan Tepi Barat tak bisa dibiarkan.

Lebih dari itu, sepanjang akar konflik Israel-Palestina seperti pengembalian wilayah-wilayah Palestina yang diduduki Israel pasca-Perang 1967 dan penghentian permukiman Yahudi di wilayah pendudukan tak disentuh oleh Israel dan sekutu-sekutunya, pelenyapan Hamas tak mungkin bisa menghentikan konflik Israel-Palestina.

Pelenyapan Hamas bisa jadi malah memperluas wilayah konflik.












 

Copyright © ANTARA 2023