Keputusan MK ini jelas-jelas sudah masuk ke ranah politik. Jadi bukan mahkamah hukum, tapi politik, menjadi bagian dari politik
Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, masuk ke dalam ranah politik.

Aan di Kota Malang, Jawa Timur, kepada ANTARA mengatakan bahwa dikabulkan-nya sebagian permohonan mengenai mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman atau sedang sebagai kepala daerah, menjadi bagian dari politik praktis.

"Keputusan MK ini jelas-jelas sudah masuk ke ranah politik. Jadi bukan mahkamah hukum, tapi politik, menjadi bagian dari politik," kata Aan, yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Aan menjelaskan, walaupun dalam pertimbangan MK disebutkan bahwa kebijakan hukum terbuka (open legal policy) masih dipergunakan, ia menilai hal tersebut hanya dipergunakan sebagai argumentasi semata.

Menurutnya, MK yang sebelumnya menolak uji materi batas usia capres dan cawapres 40 tahun yang merupakan permohonan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Garuda, itu merupakan perspektif umum untuk kepentingan partai.

Baca juga: Yusril sebut MK buktikan bukan "Mahkamah Keluarga"

Baca juga: DPP Gerindra tak menampik putusan MK buka peluang Gibran maju pilpres


"Justru yang dikabulkan dalam perspektif yang sangat individual. Yang mengajukan, ia terinspirasi oleh tokoh, dan langsung disebutkan namanya. Artinya apa, ini sudah sangat jelas sekali, bahwa MK itu sudah mengarah kepada kepentingan politik praktis," tegasnya.

Ia menambahkan, dikabulkan-nya sebagian gugatan mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah tersebut, memberikan ruang kepada seseorang secara individu.

"Putusan MK itu tidak boleh bersifat menguntungkan kepentingan individu tertentu, itu melanggar asas erga omnes. Sementara ini memberikan ruang kepada seseorang secara individual. Ini politis dan individual," ucapnya.

Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, lanjutnya, sudah bersifat final dan mengikat dimana dalam beberapa hari ke depan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membuka pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden pada 19 Oktober 2023.

"Ini final dan mengikat. (Untuk mengubah keputusan itu) yang paling mungkin ada permohonan lagi, namun itu tidak bisa berlaku surut," ujarnya.

Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman.

Baca juga: Wapres Ma’ruf: Pemerintah menerima putusan MK

Baca juga: DPP Golkar hormati putusan MK kabulkan syarat pernah kepala daerah


Mahkamah mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.

Ia memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.

"Sehingga Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi ‘berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah’," ucap Anwar.

Atas putusan tersebut, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023