Jakarta (ANTARA) - Pada 9 September 2013, sewaktu mengunjungi Museum Amir Timur di Tashkent, Uzbekistan, dalam kunjungan pertamanya ke Asia Tengah sebagai Presiden China, perhatian Xi Jinping tertuju kepada sebuah peta kuno Jalur Sutra.

Dia menunjuk satu tempat di peta itu yang disebutnya Xi'an, yang ternyata kampung halamannya. Itu juga menjadi titik awal Jalur Sutra dan tempat kelahiran peradaban China.

Sekitar 2.100 tahun lalu, Zhang Qian, duta kerajaan Dinasti Han, melakukan perjalanan menantang ke arah barat, dari Chang'an.

Perjalanan itu ternyata membuka pintu dagang dan budaya antara China dan Asia Tengah, yang lalu memelopori Jalur Sutra dan kemudian menghubungkan Timur dan Barat, baik secara budaya maupun ekonomi.

Pada tahun 2013, Xi memberikan kuliah umum kepada civitas akademika Universitas Nazarbayev di Kazakhstan.

"Hari ini, saat saya berdiri di sini dan mengingat lagi sejarah, saya seolah mendengar lagi gema kalung-kalung unta di pegunungan dan menyaksikan gumpalan asap membubung dari gurun," kata Xi.

"Sejarah adalah guru terbaik," kata Xi, seperti dilaporkan kembali oleh Kantor Berita Xinhua pada 16 Oktober lalu.

Xi ingin menghidupkan lagi semangat Jalur Sutra guna mendorong pertukaran budaya dan antarmasyarakat global.

Sejak muda, Xi memang penyuka sejarah. Dia juga kutu buku yang melahap hampir semua jenis buku, termasuk buku-buku pemikiran Barat yang tabu bagi negeri tertutup seperti China, yang kala itu dijuluki Negara Tirai Bambu.

Pernah satu ketika pada 1960-an ketika predikat mahasiswa masih melekat pada dirinya, Xi berjalan sejauh 15 kilometer hanya demi meminjam salinan buku berjudul "Faust", yang merupakan maha karya pemikir dan sastrawan besar Jerman Johann Wolfgang von Goethe.

Bukan hanya buku yang diminatinya, Xi juga pemuda yang bermimpi memajukan masyarakat dan negaranya yang pada era 1960-an adalah negeri terbelakang yang dibekap erat oleh kemiskinan.

Pahitnya kemiskinan memperkuat Xi yakin bahwa pembangunan adalah kunci utama mengentaskan kemiskinan di negerinya.


Jalan dulu, baru makmur

Xi Jinping muda mendapati fakta bahwa masyarakat menjadi miskin karena kemakmuran tidak menetes ke bawah, bukan karena ketidakadilan, tapi oleh akses jalan yang buruk. Dia pun teringat pepatah kuno China, "Jalan dulu, baru makmur."

Dari situlah dia berpandangan bahwa mengubah atau memperbaiki jalan, khususnya di daerah-daerah miskin, akan membuka pintu untuk mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat.

Kisah tentang Xi Jinping itu diwartakan kembali oleh Xinhua, dua hari silam.

Keyakinan tokoh di balik suksesnya Olimpiade China 2008 itu bahwa infrastruktur adalah kunci kemajuan bangsa, semakin kuat saja.

Keyakinannya makin kuat lagi ketika terpilih sebagai Presiden China menggantikan Hu Jintao, dengan suara mutlak dalam Kongres Rakyat China di Beijing pada 14 Maret 2013.

Begitu menjabat Presiden China yang saat itu sudah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, Xi membuat terobosan-terobosan dan gebrakan-gebrakan.

Salah satu gebrakan itu adalah Prakarsa Sabuk dan Jalan atau "Belt and Road Initiative" (BRI).

Prakarsa ini merepresentasikan pandangannya tentang pentingnya infrastruktur sebagai pintu menuju kemakmuran dan pentingnya membangun hubungan konstruktif yang saling memakmurkan dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.

Sepuluh tahun kemudian, di tengah kritik Barat yang semakin kencang, BRI sudah jauh keluar dari akarnya, bahkan membuat banyak negara terhubungkan untuk kemudian saling menularkan kemajuan ekonomi, dari Kazkhstan sampai Yunani, dari Laos sampai Pakistan, hingga Tanduk Afrika.

BRI sudah berubah dari gagasan menjadi tindakan, dari visi menjadi realitas, dan dari kerangka umum menjadi platform kerja sama internasional terbesar dengan cakupan lebih luas dari pada proyek-proyek sejenis, tulis Global Times, yang kerap disebut corong Pemerintah China, dalam editorialnya 16 Oktober lalu.

Bank Dunia sendiri, dalam laporannya tahun lalu, menyebut BRI turut meningkatkan perdagangan di antara anggota-anggotanya sampai 4,1 persen, merangsang Produk Domestik Bruto negara-negara miskin naik 3,4 persen, dan menaikkan PDB negara-negara ekonomi berkembang sebesar 3,6 poin persen selama 2012-2021.

Tak heran buku putih BRI yang dikeluarkan pekan lalu mengklaim BRI adalah platform kerja sama internasional terbesar dalam 10 tahun terakhir di mana tiga perempat jumlah negara di seluruh dunia dan lebih dari 30 organisasi internasional, menandatangani dokumen-dokumen kerja sama BRI dengan China.

Tetap saja, orang bisa berbeda pendapat mengenai apa saja, termasuk dalam memandang BRI, apalagi kritik tersebut bersinggungan dengan kepentingan pihak yang mengkritik.


Lingkaran pertemanan meluas

Di antara yang paling sengit mengkritik BRI adalah negara-negara Barat yang menganggap hal itu sebagai cara China menawarkan visinya mengenai bentuk dunia kelak.

"Kelemahan mendasar BRI bukan terletak pada implementasinya yang juga menciptakan korupsi, kerusakan lingkungan, dan utang tidak berkelanjutan, melainkan pada keseluruhan proyek ini yang melekat meneruskan ambisi besar Presiden Xi Jinping menjadi pemimpin global," tulis koran Jepang Nikkei Asia, dalam editorialnya pekan ini.

Ambisi itu membuat China dituding melupakan perlunya langkah-langkah bertanggung jawab, termasuk dalam bagaimana menyalurkan utang kepada negara-negara mitra.

Di sini, China dikritik atas apa yang disebut "utang tersembunyi" di mana pemerintah beberapa negara tak tahu pasti berapa besar lembaga-lembaga peminjam negara-negara itu tersangkut utang China.

Situasi ini menyulitkan sejumlah negara dalam menaksir beban dan manfaat BRI sampai negara-negara, seperti Malaysia dan Tanzania, urung menyepakati kerja sama dalam kerangka BRI.

"Manajemen risiko yang buruk dan kurangnya perhatian terhadap detail dan kohesi yang dilakukan lembaga-lembaga pemberi pinjaman dan perusahaan-perusahaan China adalah salah satu penyebabnya," kata Council on Foreign Relations.

Muncul kemudian pandangan bahwa BRI adalah mekanisme China untuk memerangkap negara-negara dengan utang, sehingga China memiliki kontrol lebih kepada negara-negara itu.

Sri Lanka, Maladewa, Laos, dan Kenya adalah di antara negara yang kerap disebut masuk perangkap utang China. Namun beberapa hari lalu China sepakat merestrukturisasi 4,2 miliar dolar AS utang luar negeri Sri Lanka.

China memang sudah jauh berubah menjadi salah satu kreditor internasional terbesar di dunia, dengan total piutang ratusan miliar dolar AS.

Sekalipun terus dikritik Barat, lingkaran pertemanan China lewat kerangka BRI, ternyata semakin luas.

Global Times mengklaim, sampai Juni 2023, China sudah menandatangani lebih dari 200 kesepakatan kerja sama BRI dengan lebih dari 150 negara dan 30 organisasi internasional di lima benua.

Ini petunjuk bahwa platform China sudah menjadi alternatif untuk platform-platform lama bentukan Barat atau lainnya.

Bagi banyak negara, kehadiran platform kerja sama ekonomi baru, seperti BRI, adalah hal baik, yang paling tidak menawarkan opsi lain untuk platform-platform yang sudah ada.

Bahkan, kritik bisa makin menyempurnakan platform-platform kerja sama ekonomi yang ada, sehingga platform kerja sama semakin baik dan makin menguntungkan semua pihak serta menjauh dari situasi yang membuat salah satu pihak mendikte yang lainnya.

Ini mungkin pesan yang bisa tampil dalam Forum BRI untuk Kerja Sama Internasional (BRF) 2023 di Beijing, dari 17 sampai 18 Oktober, yang turut dihadiri Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan digelar 10 tahun setelah Xi Jinping mengenalkan BRI kepada dunia.

 

Copyright © ANTARA 2023