keberlanjutan proyek BRI harus dipastikan untuk jangka panjang dan memperkokoh fondasi ekonomi negara, bukan justru mempersulit kondisi fiskalnya.
Beijing (ANTARA) - "Bīng dòng sān chǐ,fēi yī rì zhī hán" atau butuh lebih dari satu hari agar sungai bisa membeku sedalam tiga kaki adalah salah satu pepatah China yang berarti perlu waktu untuk membangun suatu hal, termasuk membangun infrastruktur di suatu negara.

Namun untuk apa suatu infrastruktur? Infrastruktur kerap digunakan sebagai ukuran kompetensi suatu negara dibanding negara lain.

Bank Dunia menempatkan Indeks Kinerja Logistik (Logistics Performance Index) Indonesia pada 2023 di peringkat ke-63 (skor 3) dari 139 negara atau turun dari posisi 2018 yang berada di peringkat ke-46 (skor 3,15) dari 160 negara.

Berbeda dengan Bank Dunia, International Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Center mendudukkan daya saing ekonomi Indonesia pada 2023 di peringkat ke-34 dari 64 negara. Peringkat Indonesia itu melompat 10 peringkat dari 2022 yang berada di posisi ke-44.

Salah satu hal yang menarik dari ukuran Bank Dunia dalam menilai kinerja logistik dan IMD dalam membuat peringkat daya saing ekonomi adalah keduanya memperhitungkan unsur infrastruktur.

Penilaian infrastruktur pada daya saing ekonomi Indonesia salah satunya adalah keberadaan infrastruktur dasar yaitu jalan, jalan kereta api, transportasi udara, kualitas transportasi udara, dan infrastruktur distribusi (termasuk pelabuhan). Di sini, skor infrastruktur dasar Indonesia berada di posisi ke-26, di atas daya saing ekonomi Indonesia yang berada di posisi ke-34.

Infrastruktur terbaru yang hadir di Indonesia adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang disebut WHOOSH, kependekan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat dengan jalur sepanjang 142,3 km dan kecepatan hingga 350 km/jam.

Kereta ini digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang merupakan perusahaan patungan antara konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan konsorsium perusahaan perkeretaapian China melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd.

Fasilitas pembiayaan WHOOSH disepakati pada 2017 antara PT KCIC dan China Development Bank. Penandatanganan kesepakatan bahkan disaksikan oleh kepala negara kedua pihak yaitu Presiden Joko Widodo dan Presiden Xi Jinping. Sejak kesepakatan pembiayaan ditandatangani hingga akhirnya WHOOSH diresmikan pada 2 Oktober 2023, proyek infrastruktur itu membutuhkan waktu penyelesaian setidaknya 6 tahun.


BRF dan infrastruktur

Bila ditarik lebih jauh lagi, "dorongan" pembangunan infrastruktur oleh pihak luar, dalam hal ini China, sudah terjadi pada 2013--sebelum Presiden Joko Widodo memerintah-- yaitu ketika Presiden Xi Jinping pada Oktober 2013 berpidato di hadapan anggota DPR yang saat itu dipimpin oleh Ketua DPR Marzuki Alie.

Saat itu Presiden Xi Jinping mendorong perwujudan kerja sama maritim dengan rencana pendirian Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk membantu negara-negara dalam menginisiasi konstruksi beraneka ragam infrastruktur dan mempromosikan konektivitas antarregional dan integrasi ekonomi.

AIIB sendiri lahir dari konsep Presiden Xi Jinping mengenai One Belt One Road (Yi Dai Yi Lu atau Satu Sabuk Satu Jalur). Belt atau sabuk mengacu pada jalur darat berupa jalan yang menghubungkan China ke Asia Tengah dan Asia Selatan, serta Eropa dan rel kereta yang juga disebut sebagai Sabuk Ekonomi Jalur Sutera.

Sedangkan, road atau jalur merujuk pada jalur laut atau Jalur Sutera Maritim pada Abad ke-21 yang menghubungkan China ke Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Timur dan Afrika Utara, serta Eropa.

Negara pertama yang menyepakati konsep One Belt One Road (OBOR) adalah Kazakhstan melalui penandatanganan kerja sama pembangunan "Sabuk Ekonomi Jalur Sutera" dengan menetapkan 51 proyek utama dan investasi senilai 27 miliar dolar AS pada September 2013, disusul oleh Indonesia sebagai negara kedua yaitu poros penting dalam "jalur Sutera Maritim" mengingat hubungan "Jalur Sutera" antara Indonesia dan China telah berlangsung sejak pengelana asal China Laksamana Cheng Ho melakukan tujuh ekspedisi bahari ke negara-negara Asia dan Afrika, termasuk singgah ke Indonesia.

Pendirian AIIB pada 2014 disepakati oleh 21 negara, dengan investasi dari pemerintah China sejumlah 40 miliar dolar AS.

Namun baru pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Forum (BRF) for International Cooperation pada Mei 2017 di Beijing, kerja sama itu terlembagakan sebagai inisiatif multilateral antara negara-negara yang berada dalam naungan konsep Belt and Road Initiative (BRI) atau Prakarsa Sabuk dan Jalan.

Dalam proyek perdana AIIB, Indonesia mendapatkan pinjaman sebesar 216,5 juta dolar AS untuk program nasional penanganan permukiman kumuh yang berdampak pada kehidupan warga di 154 kota dan kabupaten.

Pada gelombang pendanaan terbaru, AIIB menyetujui pendanaan tiga proyek, dua di antaranya diberikan kepada Indonesia. Besaran pinjaman yang digelontorkan AIIB adalah sebesar 225 juta dolar AS untuk mendanai proyek peningkatan operasi bendungan dan proyek pembangunan infrastruktur, termasuk proyek Kereta Cepat Jakarta--Bandung senilai Rp80 triliun dan proyek lain di berbagai daerah di Indonesia.

Setidaknya ada 147 negara, termasuk Indonesia telah meneken kesepakatan dalam program BRI, yang tersebar di Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, Eropa dan Afrika. Menurut perhitungan Bank Dunia, keuntungan yang didapatkan oleh negara-negara peserta BRI adalah mengurangi waktu tempuh sebesar 12 persen, meningkatkan dagang 2,7--9,7 persen, meningkatkan pendapatan sampai 3,4 persen, dan meningkatkan kesejahteraan dari 7,6 juta orang dari kemiskinan parah.

Pada Mei 2017, menurut jurnal Economic and Political Studies, China juga telah menambahkan investasi sebesar 113 miliar dolar AS melalui Silk Road Fund ke AIIB.


Tujuan China

KTT Ke-3 BRF for International Cooperation    yang telah terlaksana pada 17--18 Oktober 2023 di Beijing makin menjelaskan posisi China dalam kerja sama tersebut. Dalam pidato pembukaan, Presiden Xi Jinping menyatakan hal menarik soal tujuan BRF.

"Seperti kata pepatah, saat Anda memberikan mawar kepada orang lain, wanginya akan tetap melekat di tangan Anda. Dengan kata lain, membantu orang lain berarti juga membantu diri sendiri. Memandang perkembangan suatu negara sebagai ancaman atau menganggap saling keterkaitan ekonomi sebagai risiko tak akan menjadikan negara itu menjadi lebih baik atau mempercepat pembangunannya," kata Xi Jinping.

Menurut Kementerian Luar Negeri China, KTT Ke-3 BRF tersebut dihadiri sekitar 10 ribu undangan dari 151 negara dan 41 organisasi internasional dengan 458 kesepakatan tercapai dalam forum tersebut. Setidaknya 19 kepala negara atau kepala pemerintahan maupun pimpinan lembaga internasional hadir dalam forum tersebut.

Xi Jinping menyebut BRI telah berkembang dari "hanya membuat sketsa garis besar" menjadi "membubuhkan rincian" dan dari "cetak biru" menjadi "proyek nyata". Prinsip-prinsip BRI yang diterapkan, ungkap Xi Jinping, mencakup prinsip "perencanaan bersama, membangun bersama, dan memberikan manfaat bersama", filosofi kerja sama yang terbuka, ramah lingkungan dan berkelanjutan serta mencapai tujuan yang lebih tinggi yang berpusat pada masyarakat.

Xi Jinping menyampaikan delapan langkah China dalam skema BRI. Pertama, membangun konektivitas multidimensional, misalnya, dengan mendorong pembangunan China-Europe Railway Express hingga mempercepat pembangunan the New International Land-Sea Trade Corridor and the Air Silk Road.

Kedua, China mendorong perekonomian dunia yang terbuka dengan meluncurkan zona percontohan e-commerce Jalur Sutera melalui perjanjian perdagangan bebas dan investasi dengan lebih banyak negara.

Ketiga, China mendukung program "kecil namun cerdas" yang berkelanjutan melalui pendanaan dari China Development Bank dan Bank Ekspor-Impor China senilai total 350 miliar RMB (sekitar 47,8 miliar dolar AS).

Keempat, China terlibat aktif dalam pembangunan hijau termasuk infrastruktur, energi, transportasi hijau serta meningkatkan dukungan untuk BRI International Green Development Coalition.

Kelima, China mendukung inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk dengan meningkatkan jumlah laboratorium bersama hingga 100 lokasi dalam lima tahun ke depan, dan mendukung ilmuwan muda dari negara lain untuk mengerjakan program jangka pendek di China.

Keenam, China mendukung people-to-people exchanges dengan menjadi tuan rumah Liangzhu Forum untuk meningkatkan dialog antara masyarakat anggota forum BRI.

Ketujuh, mendorong kerja sama Belt and Road yang berbasis integritas, serta kedelapan, memperkuat institusi kerja BRI dengan menjadi tuan rumah BRF dan mendirikan sekretariat BRF.


Respons Indonesia

Mendapat kesempatan untuk menyampaikan sambutan dalam upacara pembukaan BRF ke-3, Presiden Joko Widodo menyampaikan tiga hal agar BRI semakin kuat dan berdampak.

"Pertama, sinergi yang memberikan ruang kepemilikan bagi negara tuan rumah untuk menjalankan proyek nasionalnya secara mandiri karena sense of ownership sangat penting untuk keberlangsungan proyek ini," kata Presiden Jokowi.

Indonesia memiliki proyek nasional Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang disinergikan dengan BRI dan baru-baru ini telah diluncurkan dan dinasionalkan.

"Ke depan, kami juga akan menyinergikan pembangunan Ibu Kota Baru (IKN), transisi energi, dan hilirisasi industri," tambah Presiden.

Kedua, proyek BRI harus berlandaskan prinsip kemitraan yang setara dan saling menguntungkan serta dilengkapi dengan perencanaan yang matang.

Kemudian, penggunaan sistem pendanaan yang transparan, penyerapan tenaga kerja lokal, dan pemanfaatan produk-produk dalam negeri.

Ketiga, keberlanjutan proyek BRI harus dipastikan untuk jangka panjang dan memperkokoh fondasi ekonomi negara, bukan justru mempersulit kondisi fiskalnya.

"Pepatah China mengatakan Yu gong yi shan,  kegigihan akan mewujudkan keajaiban. Mari berjuang gigih bersama memajukan pembangunan ekonomi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat," tutup Presiden.

Baik Presiden Jokowi maupun Presiden Xi Jinping menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur adalah kerja jangka panjang yang tidak bisa diselesaikan hanya dalam hitungan hari.

Karena itulah perhitungan dan perencanaan yang matang diperlukan agar proyek-proyek infrastruktur tersebut sebanyak-banyaknya bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya.






 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023