Jakarta (ANTARA) - Di tengah hiruk pikuk perkembangan global yang dinamis, termasuk ketersediaan pangan dunia yang menipis akibat konflik, pandemi, hingga kemarau panjang, Pemerintah Indonesia menetapkan strategi baru.

Melalui Kementerian Pertanian (Kementan), Indonesia menaikkan target produksi beras, dari sebelumnya 31,5 juta ton menjadi 35 juta ton tahun depan.

Ancaman kemarau kering akibat el-nino seolah tidak menggugurkan ambisi untuk mewujudkan tersebut. Plt. Menteri Pertanian Arief Prasetyo Adi meyakini target itu bisa tercapai bila semua pihak membangun sinergi dan kebersamaan.

Target Kementerian Pertanian menambah jumlah produksi beras sebesar 3,5 juta ton itu, seusai bangsa ini dilanda el nino, jelas bukan pekerjaan yang gampang untuk diwujudkan.

Proyeksi atau kemungkinan terjadinya la nina setelah el nino, bukan sesuatu yang tidak mungkin. Lalu, apakah Kementerian Pertanian sudah mengkaji dengan mendalam dan berkoordinasi soal prakiraan iklim dan cuaca tahun depan dengan BMKG?

Pertanyaan ini, tentu menarik untuk dibahas lebih jauh supaya segenap pemangku kepentingan dapat memitigasi dan mengantisipasi segala hal yang menjadi kendala dalam mewujudkan target 35 juta ton beras.

Bagi bangsa Indonesia, beras masih diposisikan sebagai komoditas yang strategis. Beras masih menjadi bahan pangan, sumber karbohidrat, yang dijadikan sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat di Tanah Air.

Dengan kedudukannya yang demikian, semua pihak berharap agar Pemerintah semakin fokus dalam menangani perberasan ini. Pemerintah perlu lebih realistik dalam menetapkan target yang ingin diraihnya.

Oleh karena itu, analisis yang mendalam untuk mencapai target 35 juta ton beras harus dilakukan untuk sebuah optimisme bahwa target tersebut cukup realistis dan bukan sekadar target ambisius.


Perlu pembenahan

Seluruh elemen bangsa ini harus terus optimistis untuk dapat mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan kedua (SDGs nomor 2), yakni bebas kelaparan atau "zero hunger".

Bagi Indonesia, mencapai stok 35 juta ton beras pada tahun depan merupakan salah satu upaya untuk mengamankan pasokan pangan agar tidak terjadi krisis, sehingga harga beras tetap stabil dan terjaga kondusif.

Namun optimisme pencapaian target itu harus dibarengi dengan kesadaran realistik untuk melihat kondisi nyata di lapangan.

Target meraih 35 juta ton beras tahun 2024, di saat bangsa ini tengah mengalami kecenderungan penurunan produksi padi dalam beberapa tahun belakangan ini, perlu strategi khusus dan kerja keras untuk mengantisipasinya.

Tanda-tanda penurunan produksi padi, sebetulnya dapat dicermati dari rilis yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) secara rutin kepada para pemangku kepentingan sektor perberasan. Merujuk pada metode kerangka sampling area (KSA), BPS selalu membuat catatan terkait dengan situasi dan kondisi perberasan yang ada.

Salah satu sinyal yang dapat dicermati adalah soal surplus beras. Sekarang, Indonesia tercatat sebagai bangsa yang masih surplus beras, walaupun jumlah surplusnya mengalami penurunan dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya.

Jawaban tren menurunnya produksi beras, memang tidak boleh dianggap sebagai hal yang sepele. Ini penting dipahami, karena sekalinya bangsa ini keliru dalam mengambil kebijakan, boleh jadi dampak yang dilahirkannya, dapat melahirkan krisis yang sulit diantisipasi.

Langkah menggenjot produksi lokal merupakan langkah yang sangat tepat untuk terus dijadikan jalan keluar yang cerdas. Lebih tepat lagi, hal ini pun sudah menjadi gerakan nasional dan gerakan masyarakat petani.

Kembali ke pencapaian target produksi beras 3,5 juta ton untuk tahun 2024. Menambah target produksi 3,5 juta ton dalam suasana saat ini memang bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan.

Oleh karena ini ada sejumlah hal yang perlu dibenahi karena selama ini dianggap sebagai masalah yang klise. Sebut saja perlunya pembenahan dalam hal benih, pupuk, irigasi, sergapan hama penyakit tanaman dan penyuluhan. Dengan pembenahan yang mendasar, maka target 35 juta ton beras tahun depan akan lebih mudan diwujudkan.

Pada dasarnya ujung dari pembangunan pertanian yang digarap selama ini adalah mewujudkan kesejahteraan petani. 

Dalam beberapa tahun terakhir, nilai tukar petani padi mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada September 2023, BPS merilis nilai tukar petani (NTP) padi berada pada poin 114.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan rata-rata NTP yang berkisar antara 98 - 106. Namun ke depan juga diperlukan analisis lebih jauh terkait relevansi penggunaan NTP untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.

Sebab untuk mengejar target 35 juta ton produksi beras tahun depan, sudah saatnya dilengkapi dengan skenario peningkatan kesejahteraan petani padi secara seiring.

Peningkatan produksi padi yang cukup signifikan, idealnya harus seiring dengan tingkat kesejahteraan petani. Itu sebabnya, Pemerintah harus merumuskan skenario peningkatan produksi beras bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan petani padi.

Pada akhirnya, semua menyadari bahwa target menggenjot produksi padi agar tahun depan mencapai 35 juta ton, bukanlah target yang ambisius atau bahkan utopis. Semuanya sangat memungkinkan untuk diwujudkan, dengan kerja sama semua pihak.

Selama seluruh elemen bangsa ini mampu memelihara integritas, mampu bersinergi, dan berkolaborasi serta mampu melahirkan inovasi, ditambah munculnya terobosan cerdas, maka semua optimistis target itu bakal tercapai dengan lebih mudah, sehingga tak perlu ada lagi kesulitan pasokan beras atau bahkan krisis pangan.


*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.

 

Copyright © ANTARA 2023