Jakarta (ANTARA) - Santri merupakan suatu lema unik serta baru ditinjau dari landskap kebudayaan, khususnya khazanah sastra di Indonesia. Ihwal kebaruan istilah ini membuat kata santri bersifat tidak tetap dan terus mengalami perluasan definisi. 

Beberapa pendapat menyebutkan bahwa kata ini terambil dari kata sastri (sanskerta) yang berarti orang yang pandai menulis.

Ada juga pendapat yang menerangkan bahwa santri berasal dari Bahasa Jawa Kawi, mengandung pengertian orang (murid) yang setia terhadap gurunya.

Kendati ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kata santri berasal dari Bahasa Tamil, tetapi secara umum dapat disepakati bahwa istilah santri dan juga kiai bersifat lokal alias berasal dari Nusantara.

Ringkasnya lema santri adalah bahasa lokal untuk menyebut "muridun" (pembelajar). Sementara pengertian santri, menurut kiai karismatik K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus), ialah insan yang dibekali ilmu dan kasih sayang oleh kiai agar menjadi mukmin yang kuat (tidak goyah oleh berbagai kepentingan), cinta tanah air, dan cinta akar budaya bangsanya.

Lema santri menjadi semakin populer dalam bidang ilmu pengetahuan, setelah antropolog terkemuka Amerika Clifford J Geertz membuat stratifikasi budaya dan sosial masyarakat Jawa dalam karyanya The Religion of Java (1969).

Selain santri, Geertz juga mendudukkan dua segmen lain di dalam kultur Jawa, yakni kalangan abangan dan priyai.

Kendati model trikotomi budaya yang disebut Geertz dalam telaahnya bersifat terbatas dalam aspek spasial, tetapi terbukti satu dari ketiga istilah tersebut masih "hidup" dan, bahkan sangat populer hingga sekarang.

Tatkala istilah abangan dan priyai begitu jarang dan hampir tidak lagi dianggap relevan dalam diskursus formal dan perbincangan sehari-hari, kata santri justru tetap bertahan, hidup dan bahkan secara khusus diberikan tempat oleh negara lewat peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober.


Peran sejarah

Penghargaan negara terhadap kalangan santri sejak ditetapkannya HSN melalui Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2015 jelas perlu diapresiasi.

Kendati tetap saja ada pendapat spesifik yang tidak dapat dikesampingkan tentang mengapa ketetapan tersebut baru dikeluarkan setelah 70 tahun Indonesia merdeka.

Adanya pendapat tersebut sangatlah wajar mengingat sebagai entitas yang merepresentasikan wajah keagamaan, kalangan santri jelas memiliki jasa dan kesetiaan pengabdian yang amat besar bagi bangsa Indonesia.

Sejarah tidak hanya mencatat kalangan santri sebagai kelompok yang memiliki kecintaan terhadap bangsa dan aktif berjuang melawan kolonialisme Belanda sejak medio 1800-an.

Lebih dari itu, kalangan santri berkontribusi mendiasporakan cahaya ilmu ke pelosok akar rumput di saat pendidikan (corak barat) masa kolonial hanya menjangkau kalangan elit tertentu.

Kalangan santri juga turut ambil bagian dalam merumuskan dasar negara menjelang kemerdekaan, kemudian memimpin-menyerukan perlawanan jihad untuk mempertahankan kemerdekaan di saat Belanda (didampingi sekutu) kembali berhasrat untuk menjajah Indonesia, sebulan setelah proklamasi.

Begitu banyak penggalan kisah sejarah tentang perjuangan kaum santri yang saya rasa tidak cukup untuk diuraikan dalam tulisan yang terbatas.

Sehingga lebih dari 10 tokoh dari kalangan santri yang sudah diberikan kehormatan sebagai Pahlawan Nasional pun, agaknya masih banyak yang perlu mendapat pengakuan mulia itu dari negara.

Tetapi sejarah tidak cacat hanya karena masih banyak yang belum tercatat. Mendorong penelitian tentang tokoh-tokoh yang berperan di masa lalu, dalam hal ini yang berasal dari kalangan santri, menjadi langkah bijak.

Selain untuk melengkapi "puzzle" sejarah dari entitas yang molek dan penting ini, upaya itu juga dapat memotret peran fungsional santri secara khusus di tengah masyarakat.

Mengapa mengenal peran fungsional santri begitu penting? Sebab melalui lensa fungsional itulah kita dapat benar-benar memahami dan meletakkan posisi santri dalam konteks yang lebih luas.

Misalnya Nahdlatul Ulama (NU), secara formal dapat dikatakan tidak memosisikan diri berhadapan secara langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Tetapi NU tidak melepas kendalinya sebagai dinamisator yang menjamin nyala api kemerdekaan tetap berkobar.

Kemudian peran fungsional santri yang mengusung tajuk politik kebangsaan di dua orde krusial yang merentang sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto, juga patut untuk dilihat sebagai peran yang menentukan.

Politik kebangsaan yang semata ditujukan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa menjadi politik jalan tengah ketika tarik menarik kepentingan politik praktis dan pertarungan ideologi semakin meruncing.

Memotret peran fungsional kaum santri dari masa ke masa, membuka reimajinasi kita tentang gagasan serta model spirit, seperti apa yang hendak dijalankan oleh kalangan santri di masa kini.


Santri kontemporer

Peran fungsional santri dewasa ini berhubungan langsung dengan pembentukan karakteristik sosial, pola pendidikan dan bahkan pandangan politik masyarakat di sekitarnya.

Fungsionalisme sebagai pendekatan sosiologi, yang menekankan pada fungsi masing-masing komponen dalam sistem sosial, dapat membantu kita memahami peran serta kontribusi santri dalam konteks masyarakat dengan segala kompleksitasnya.

Dalam tinjauan fungsionalis, santri yang sudah menamatkan studi di pesantren menjalankan fungsi sebagai pengajar, penjaga norma agama dan sekaligus nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat.

Ustadz, kiai, atau kalangan alim, apapun sebutannya, merupakan agen-agen yang bertanggung jawab membimbing masyarakat agar tidak berputar haluan dari akar budaya, norma agama, dan sistem nilai yang baku di masyarakat.

Meskipun pesantren dikenal sebagai institusi tradisional, banyak santri yang berinisiatif untuk memperkenalkan inovasi dan perubahan positif dalam masyarakat, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun pendidikan.

Ini menunjukkan bahwa kalangan santri tidak hanya pasif, namun juga aktif dalam mempengaruhi dinamika sosial. Dalam situasi konflik atau ketegangan sosial, santri seringkali berperan sebagai mediator yang mendorong pada solusi damai.

Mereka juga berfungsi sebagai penyeimbang antara tradisi dan arus modernisasi. Kalangan santri berusaha memastikan bahwa perubahan yang terjadi tidak membelakangi kekayaan tradisi yang dimiliki bangsa.

Sekali lagi, melalui lensa fungsionalisme, kita dapat melihat bahwa santri memiliki peran penting dalam masyarakat, baik sebagai penjaga nilai, pendidik, pelopor perubahan, maupun peredam ketegangan sosial.

Kalangan santri tidak bolah kehilangan kendali atas peran-peran krusial tersebut. Karena lemahnya genggaman santri atas peran fungsionalnya dapat mengakibatkan disstabilitas sosial.

Apalagi arus perubahan zaman meniscayakan tantangan menjadi lebih variatif.

Dunia digital yang kini terus berkembang semakin mengaburkan pola identifikasi tantangan yang dulunya bersifat padat, berjarak, dan jelas, kini menjadi semakin kabur. Penyebarluasan ajaran toleransi sebagai bagian dari peran fungsional santri tidak lagi optimal untuk dilakukan dalam pendekatan administratif maupun bersifat kelembagaan bersama pemerintah.

Karena setiap komunitas kini tengah berlomba mengembangkan diri lewat berbagai saluran digital dan platform yang tersedia.

Siapapun dan lembaga apapun dapat dengan mudah menyebarkan doktrin dan provokasi di tengah masyarakat. Kadangkala justru komunitas berjubah agama lah yang kerap kali menampilkan diri sebagai agen terciptanya polarisasi dan suasana perpecahan, terutama menjelang momentum tahun politik.

Karena itulah kecapakan literasi digital dan pola adaptasi juga penting untuk dimiliki oleh kalangan santri sebagai kontekstualisasi jihad masa kini.

Jihad intelektual, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas adalah fungsi jihad santri zaman kini.

Bangsa yang terjajah tidak akan merdeka tanpa jihad fisik dan jihad pemikiran dari warganya.

Hal yang sama juga berlaku bagi suatu bangsa merdeka yang tidak akan berjaya tanpa jihad intelektual dari warganya yang tercerahkan untuk memerangi kebodohan.


*) Hasan Sadeli adalah lulusan magister Ilmu Sejarah UI. dan alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

 

Copyright © ANTARA 2023