Jakarta (ANTARA) - Setahun lalu Amerika Serikat membuat Rusia terasing. Kini, Amerika Serikat yang terlihat terasing.

Itulah ironi di balik peristiwa Kamis, 26 Oktober, ketika Majelis Umum PBB menngesahkan resolusi "truce" atau jeda kemanusiaan di Jalur Gaza yang tengah digempur habis-habisan Israel sejak 7 Oktober setelah kelompok perlawanan Hamas menyusup ke dalam wilayah Israel untuk menewaskan seribu lebih manusia dan menyandera ribuan orang.

Bahasa Indonesia menyamakan "truce" dengan "ceasefire" sebagai "gencatan senjata", padahal tidak sama.

"Truce" lebih kepada gencatan senjata informal yang tak mengikat para pihak bersengketa, sebaliknya "ceasefire" adalah gencatan senjata yang disepakati para pihak bersengketa, sehingga mereka terikat untuk mematuhinya.

Menjelang pemungutan suara untuk resolusi jeda kemanusiaan Gaza, Yordania yang mengajukan resolusi tersebut, menyempurnakan rancangan awalnya agar bisa didukung 2/3 dari total anggota Majelis Umum PBB. Caranya, mengganti seruan "ceasefire" dengan "humanitarian truce" (jeda kemanusiaan) berkelanjutan.

Yordania juga menambahkan frasa "pembebasan warga Israel dan asing yang ditahan Hamas harus dilakukan tanpa syarat".

Namun, Kanada melihat langkah Yordania itu tidak cukup, karena tak menyebut nama Hamas.

Rancangan Yordania itu juga tidak menyebutkan warga Israel yang ditahan Hamas sebagai "sandera", melainkan dalam frasa "mereka ditahan secara ilegal sebagai tahanan."

Kanada, dan juga Amerika Serikat, menganggap keengganan menyebutkan nama Hamas sama dengan membesarkan diri Hamas.

Kanada kemudian mengamandemen rancangan Yordania itu dengan mencantumkan nama Hamas dan menyebut mereka yang ditahan Hamas sebagai sandera.

Rancangan resolusi versi Kanada ini didukung 88 negara, tapi ditentang 55 negara, termasuk Indonesia, sedangkan 23 lainnya abstain.

Karena ketentuan Majelis Umum PBB mengharuskan 2/3 dari total anggota mendukung rancangan resolusi agar bisa disahkan sebagai resolusi, maka rancangan Kanada itu gagal menjadi resolusi.

Mau tak mau anggota Majelis Umum mesti memilih antara mendukung rancangan Yordania yang menyerukan jeda kemanusiaan tanpa menyebut nama Hamas, atau menentang rancangan ini, atau abstain.

Ternyata, rancangan Yordania itu didukung 120 anggota, termasuk Indonesia, dan ditentang 14 negara, sedangkan 45 negara abstain. Rancangan itu pun lolos menjadi resolusi karena didukung 2/3 anggota PBB.

Tak seperti resolusi Dewan Keamanan yang sifatnya mengikat, resolusi Majelis Umum tidaklah mengikat, sehingga Israel bisa mengabaikan resolusi itu. Tapi resolusi Majelis Umum adalah cermin opini dunia, yang melukiskan pandangan sebagian besar dunia terhadap sebuah konflik.


Standar ganda

Dinamika Jumat lalu itu sendiri mirip dengan dinamika saat invasi Rusia di Ukraina setahun lalu.

Sama dengan sekarang, Dewan Keamanan gagal membuat resolusi karena diveto Rusia, tapi di Majelis Umum resolusi mengutuk Rusia berhasil diloloskan, yang artinya bagian terbesar dunia menentang aksi Rusia di Ukraina.

Kini situasi serupa dialami AS. Opini global menunjukkan dunia berseberangan dengan AS, bahkan ada erosi kepercayaan global terhadap AS.

Setahun lalu AS berhasil menggalang dukungan dunia untuk mengucilkan Rusia. Kini giliran mereka yang terkucil.

Bahkan, sekutu-sekutunya, seperti Prancis, Portugal, Spanyol, Belgia, dan Norwegia mendukung rancangan Yordania.

Ini tamparan bagi AS, terlebih setelah Inggris yang hampir selalu mengekor AS dan juga Jerman, memilih abstain bersama bagian terbesar Uni Eropa.

Hanya empat negara Eropa yang bersikap sama dengan AS. Separuh dari 14 negara yang menentang resolusi jeda kemanusiaan Gaza adalah negara-negara kecil di Pasifik Selatan. Ini bukti AS terasing, seperti Rusia setahun lalu.

Pemerintah AS bukannya tak menyadari kenyataan ini, tapi mereka sudah memilih membela Israel, apa pun keadaannya.

Walaupun demikian, intonasi dukungan tanpa syarat kepada Israel perlahan melunak. Unjuk rasa menentang serangan membabi buta Israel di Gaza turut mengubah intonasi suara pemerintah Presiden Joe Biden kepada Israel.

Biden mungkin tak peduli dengan unjuk rasa pro-Palestina di Eropa dan kawasan lain, tapi dia tak mungkin tak mempedulikan suara rakyatnya sendiri yang mengkritik Israel dan sikap pemerintah AS di Gaza, apalagi suara-suara itu disampaikan di kota-kota besar, seperti New York City.

Tokoh-tokoh terkemuka Amerika, seperti mantan presiden Barack Obama yang amat dihormati Biden, juga meminta AS tidak membabi buta mendukung Israel.

Obama khawatir sikap seperti itu menjadi bumerang bagi AS ketika AS membutuhkan koalisi dan kolaborasi global dalam menghadapi ancaman-ancaman global, khususnya Rusia di Ukraina.

Lebih fundamental lagi, kredibilitas global AS bisa tergerus ketika predikat standar ganda semakin lekat disematkan kepada mereka, bahkan dalam isu-isu sensitif, seperti hak asasi manusia.

Padahal, seperti pada kasus invasi Rusia di Ukraina, konflik Israel-Palestina juga berkaitan dengan hak asasi manusia, yang menjadi ornamen penting dalam setiap manuver politik AS di dunia.


"Global South" kian hati-hati

Fakta banyak anak-anak dan warga tak berdosa Palestina menjadi korban serangan balasan Israel di Gaza, membuat koar-koar AS tentang hak asasi manusia menjadi terlihat tak terlalu relevan, selain juga hipokrit.

Hal itu menjadi kian hipokrit ketika AS bungkam melihat blokade total Israel di Gaza yang menyengsarakan warga Palestina yang kekurangan minum, tanpa listrik dan bahan bakar, sampai Raja Yordania menyebut Israel tengah menjatuhkan hukuman kolektif kepada warga Palestina akibat ulah segelintir pihak.

Sejumlah negara, termasuk Indonesia, menyebut situasi di Gaza, sebagai kejahatan kemanusiaan. Bahkan ada yang menyebut pembersihan etnis, terutama setelah Israel memerintahkan warga Kota Gaza pindah ke bagian selatan kota itu sebagai persiapan serangan darat yang dinilai oleh sementara kalangan sebagai pemindahan paksa yang dilarang hukum internasional.

"Jika pemerintah AS dan Barat ingin meyakinkan dunia bahwa mereka serius dengan hak asasi manusia dan hukum perang, seperti mereka berlakukan terhadap kejahatan yang dilakukan Rusia di Ukraina dan kejahatan Hamas di Israel, maka mereka harusnya juga memberlakukan hal sama kepada prilaku brutal Israel dalam kehidupan sipil di Gaza," kata Direktur Human Rights Watch Louis Charbonneu, seperti dikutip Washington Post.

Perilaku AS saat ini membuat bagian terbesar dunia, khususnya negara-negara berkembang atau "Global South", menjadi semakin berhati-hati saat berusaha ditarik berpihak kepada Barat, termasuk dalam konflik Ukraina-Rusia.

Bahkan, ada desakan dari masyarakat Barat sendiri agar pemerintah mereka konsisten bersikap.

"Apa yang kita katakan tentang Ukraina harus diterapkan di Gaza. Jika tidak, kita akan kehilangan kredibilitas kita," kata seorang diplomat Barat anggota G7, kepada Financial Times.

Jika Barat tidak konsisten, kata sang diplomat, negara-negara Global South, seperti Brazil, Afrika Selatan, dan Indonesia, akan berpikir, "Haruskah kami percaya pada apa yang kalian katakan tentang hak asasi manusia?"

Sejumlah media Barat berusaha berintrospeksi menyikapi krisis di Gaza, salah satunya Le Monde.

"Kini pemerintah negara-negara Barat harus menanggung akibat dari ketidakmampuan mereka dalam menemukan atau bahkan mencari solusi dalam masalah Palestina," tulis harian Prancis ini.

Sikap AS dan Barat terhadap Israel juga merusak usaha mereka dalam meyakinkan Global South bahwa keamanan internasional terancam oleh aksi Rusia di Ukraina.

"Semua upaya yang sudah kita lakukan terhadap Global South menyangkut Ukraina, kini sia-sia. Lupakan aturan, lupakan tatanan dunia. Mereka tak akan pernah lagi mendengarkan kita," kata seorang diplomat Barat, kepada Financial Times.

Apakah AS dan Barat mau membiarkan cedera dalam citra dan kredibilitas globalnya menjadi permanen? Rasanya tidak, karena mustahil mereka mau kehilangan predikat "penjaga moral dunia".

Dunia sendiri tak meminta muluk-muluk dari AS. Dunia tak mungkin meminta AS menjauhi Israel. Mereka hanya meminta, hentikan standar ganda dalam melihat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan sekutunya, Israel.


 

Copyright © ANTARA 2023