Bali (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan industri kelapa sawit di Indonesia telah berhasil memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan, dan ketahanan energi, penciptaan lapangan kerja produktif dan kesempatan kerja serta penyediaan barang-barang konsumsi.
 
 
"Selain itu, industri kelapa sawit juga berkontribusi dalam menurunkan tingkat kemiskinan di kalangan petani pedesaan termasuk petani kecil," kata Hartato saat menyampaikan sambutan pada Indonesia Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook (IPOC) ke-19 di Bali, Kamis.
 
Ia menyampaikan bahwa krisis pangan yang disebabkan oleh iklim ekstrim dan perlambatan ekonomi yang sedang berlangsung saat ini juga menimbulkan dampak yang signifikan terhadap industri kelapa sawit, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari ekonomi global.
 
Oleh karena itu, kata Hartarto, strategi dalam menanggapi krisis pangan yang disebabkan oleh iklim ekstrim dan perlambatan ekonomi yang berdampak pada industri sawit perlu untuk dibahas dan dikembangkan dalam IPOC.

Menurut dia, kontribusi industri kelapa sawit terhadap pembangunan sosial-ekonomi nasional juga selaras dengan target Indonesia dalam bidang lingkungan di tahun 2030. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui Perjanjian Paris.
 
"Forestry and Other Land Use (FOLU) dan energi merupakan penyumbang kontributor terbesar emisi GRK di Indonesia, dengan sektor FOLU berkontribusi 55 persen dan sektor energi 33 persen dari total kontribusi. Kita perlu memperkuat kemitraan dan kolaborasi untuk mencapai target pengurangan emisi global pada tahun 2030," katanya.
 
Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pengelolaan hutan lestari yang mencakup sekitar 120,6 juta hektar kawasan hutan, yang merupakan 63 persen dari total luas wilayah Indonesia.
 
Ia juga menyebutkan populasi dunia diperkirakan akan mencapai 9,8 miliar pada tahun 2050, yang akan membutuhkan tambahan 200 juta ton produksi minyak nabati.
 
Menurut dia, minyak sawit dapat memenuhi permintaan tersebut karena menghasilkan lima metrik ton per hektare (MT/Ha) dan hanya membutuhkan 40 juta hektare lahan, yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, seperti kedelai dan kanola, yang masing-masing membutuhkan lahan seluas 445 juta hektare dan 290 juta hektare.
 
"Minyak kelapa sawit adalah cara yang berkelanjutan dan efisien untuk memenuhi permintaan minyak nabati yang terus meningkat," ujarnya.
 
Selain itu, kata dia, minyak sawit juga mendukung penyediaan bahan bakar transportasi yang lebih bersih, seperti bahan bakar penerbangan berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel), dan Indonesia telah mengembangkan SAF yang dikenal sebagai BioAvtur 2,4 persen atau J2.4.
 
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah melakukan penanaman kembali seluas 200.000 hektar sejak tahun 2007 dan 180.000 hektar sedang dalam proses penanaman kembali pada tahun 2023 ini dengan alokasi anggaran sebesar 386 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit.
 
"Dengan bekerja sama, kita dapat mencapai apa yang diharapkan seperti perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, pembangunan rendah karbon, tahan iklim, dan berkelanjutan serta industri minyak kelapa sawit dalam negeri yang diperkuat," katanya.

Pewarta: Nur Amalia Amir
Editor: Evi Ratnawati
Copyright © ANTARA 2023