Jakarta (ANTARA) - Persatuan Advokat Demokrasi Indonesia (PADI) berharap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bersikap netral dan bebas dari kepentingan politik terutama menjelang Pemilu Serentak 2024.

"Mahkamah Konstitusi ini ditarik-tarik dalam ranah politik karena pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Anwar Usman, maka pantas dan layak dia diberhentikan secara tidak hormat," kata perwakilan PADI Charles Situmorang usai sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Jakarta, Jumat.

PADI merupakan salah satu pelapor dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam perkara Nomor 21 MKMK/L/ARLTP/X/2023.

Charles menilai Anwar Usman melanggar kode etik dalam putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 karena terdapat kepentingan politik.

Sebagai pelapor, Charles memaknai bahwa kehadiran Anwar Usman berpotensi memberikan kedudukan hukum kepada salah satu bakal calon wakil presiden (cawapres) Pilpres 2024.

"Anwar Usman menyampaikan komentar terbuka, itu dilarang," tambah Charles.

Baca juga: MKMK agendakan pemeriksaan kedua Ketua MK Anwar Usman pada Jumat

Jumat merupakan hari terakhir MKMK menggelar sidang terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim MK mengenai putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengatur syarat usia capres dan cawapres minimal 40 tahun dan pernah menjabat sebagai kepala daerah melalui pemilihan umum.

MKMK terdiri atas Jimly Asshiddiqie sebagai hakim ketua dan diikuti dua hakim anggota, yakni Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih.

Selain laporan dari PADI, Jumat, MKMK juga menggelar sidang untuk perkara Nomor 14 MKMK/L/ARLTP/X/2023 dengan pelapor Zico Simanjuntak.

Pada Jumat siang, pukul 14.00 WIB, MK dijadwalkan memeriksa Ketua MK Anwar Usman sebagai hakim terlapor secara tertutup terkait dugaan pelanggaran kode etik.

Selanjutnya, Selasa (7/11), MKMK akan membacakan putusan dugaan pelanggaran kode etik oleh sembilan hakim MK. Putusan tersebut dapat berpengaruh pada perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengatur soal syarat capres dan cawapres.

Baca juga: MKMK pastikan putusan perkara sembilan hakim jadi solusi terbaik

Pewarta: Rina Nur Anggraini
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2023