Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan potensi gempa megathrust yang memicu tsunami akan terus ada di bagian selatan Pulau Jawa.

"Megathrust akan terus ada, enggak akan berakhir potensi ini. Potensi tsunami lengkap kita punya banyak sekali tide gauge (alat pengukur ketinggian level air, red.) yang bekerjasama Badan Informasi Geospasial/BIG," kata Daryono ditemui usai acara dialog di BMKG, Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan, tide gauge yang banyak dipasangkan di selatan pulau Jawa untuk mendeteksi secara dini tsunami apabila terjadi.

"Jadi tide gauge kita ini ada di selatan Jawa. Tapi yang pasti sudah kelilingi dengan tide gauge tersebut untuk konfirmasi potensi semua itu ada," ujarnya.

Daryono menambahkan tide gauge memudahkan pemerintah daerah (pemda) yang memiliki warning system bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menentukan status kesiagaan bencana sehingga dapat segera mengevakuasi masyarakat.

"Mereka (pemda) punya sirine langsung jadi bisa langsung berkoordinasi dengan BMKG untuk segera menetapkan status kebencanaan sehingga dapat memerintah proses evakuasi ke masyarakat," kata dia.

Daryono menegaskan yang pasti potensi megatrusht itu ada, bukti sejarahnya ada.

"Sumbernya ada, aktivitasnya ada dan itu jadi ancaman nyata," ujarnya.

Baca juga: BPBD DIY minta masyarakat tidak panik terkait potensi megathrust
​​​​​​

Megathrust adalah daerah pertemuan antar lempeng tektonik Bumi di lokasi zona subduksi.

Lempeng tektonik Bumi bisa mencapai ribuan kilometer dan menjadi dasar benua dan samudra. Pelat-pelat ini bertabrakan, meluncur, dan bergerak menjauh satu sama lain.

Terkadang lempeng tersebut bertabrakan satu sama lain atau satu lempeng didorong ke bawah lempeng yang lain di zona subduksi. Dengan kata lain, zona subduksi adalah zona pertemuan lempeng-lempeng tersebut.

Jika sejumlah lempeng tektonik bertemu, maka gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, dan tanah longsor yang kuat dapat terjadi.

Adapun hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan gempa terjadi, dengan kondisi ratusan tahun belum terjadi gempa besar di Selat Sunda patut diwaspadai, karena berada di antara dua lokasi gempa besar yang merusak dan memicu tsunami, yaitu Gempa Pangandaran magnitudo 7,7 pada 2006 dan Gempa Bengkulu magnitudo 8,5 pada 2007.

Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, di wilayah Selat Sunda memang sering terjadi tsunami, tercatat Tsunami Selat Sunda pada 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa.

Kemudian, Tsunami pada 416, 1883, 1928, 2018 berkaitan dengan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami tahun 1851, 1883 dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.

Daryono mengimbau perlunya perencanaan wilayah berbasis risiko gempa dan tsunami, menyiapkan jalur evakuasi, memasang rambu evakuasi, membangun tempat evakuasi, berlatih evakuasi atau drill secara berkala, termasuk edukasi evakuasi mandiri.

Selain itu, BMKG juga akan terus meningkatkan performa peringatan dini tsunami lebih cepat dan akurat.

​​​​​Baca juga: Badan Geologi: Gempa kuat di Kupang pernah terjadi pada 1975 dan 2004
Baca juga: BMKG ungkap masih banyak titik sesar gampa belum terpetakan

Pewarta: Erlangga Bregas Prakoso
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2023