Jakarta (ANTARA) - Menandai 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Korea Selatan, Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Presiden Yoon Suk Yeol di Jakarta pada September lalu. Kedua  pemimpin membahas penguatan kerja sama ekonomi serta peningkatan nilai perdagangan dan investasi kedua negara.

Dalam kesempatan tersebut, pemerintah Indonesia dan Korea menandatangani nota kesepahaman kerja sama (Memorandum of Understanding/MoU)  untuk ekosistem kendaraan listrik (electronic vehicle/EV).

Rencana kerja sama yang dituangkan dalam MoU tersebut mencakup semua alat transportasi yang digerakkan oleh listrik, seperti kendaraan listrik baterai (BEV) dan kendaraan listrik sel bahan bakar (FCEV) guna mendukung pengembangan ekosistem EV di Indonesia.

Melalui MoU tersebut, kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam membangun infrastruktur produksi, pengisian daya dan pemeliharaan EV, pelatihan dan pertukaran tenaga kerja untuk pemeliharaan, manufaktur, dan penelitian terkait ekosistem EV, serta peningkatan sistem dan kebijakan untuk perluasan mobilitas elektronik.

Penandatanganan MoU itu sejalan dengan pembahasan kedua kepala negara guna mendorong pengembangan industri EV melalui percepatan investasi perusahaan Korea di Indonesia, salah satunya proyek Grand Package Konsorsium LG untuk pembangunan pabrik katoda di Batang, Jawa Tengah, dan baterai sel di Karawang, Jawa Barat.

Ke depannya, kerja sama di sektor industri otomotif, khususnya pada ekosistem baterai EV, menjadi target penguatan kerja sama kedua negara karena Korea dikenal sangat maju dalam teknologi penyimpanan energi.

Keunggulan teknologi dikawinkan

Keunggulan teknologi Korea dinilai pas untuk “dikawinkan” dengan potensi Indonesia yang memiliki cadangan nikel terbesar dunia, untuk memproduksi baterai EV yang bisa dipasarkan secara global.

“Kelebihan dari baterai berbahan nikel ini adalah karena memiliki kapasitas penyimpanan energi dalam jumlah lebih besar, yang bisa digunakan EV untuk perjalanan yang lebih jauh,” kata Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan, dalam lokakarya yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia dan Korea Foundation, akhir Oktober lalu.

Dengan mengundang negara yang memiliki teknologi, modal, serta dikenal di pasar global seperti Korea Selatan, Indonesia berharap bisa mendorong kebijakan hilirisasi industri agar menciptakan nilai tambah di dalam negeri untuk bahan-bahan baku yang dimiliki.

Sebagai negara yang memiliki cadangan nikel mencakup sekitar 23 persen secara global, Indonesia pantas mensyaratkan hal tersebut kepada setiap negara yang ingin bekerja sama guna menyokong ekonomi dan kesejahteraan kedua bangsa.

“Ini yang Indonesia tawarkan, kami ingin mengajak Anda bekerja sama dalam hilirisasi industri dan Korea merupakan salah satu negara yang kami nilai maju dan dapat menyikapi hal ini dengan sangat positif,” kata Ichwan. 

“Mereka tidak memaksa kita untuk melakukan sesuatu yang hanya menguntungkan Korea, tetapi bersama–sama membangun ekosistem baterai EV di Indonesia, yang industrinya dipimpin oleh perusahaan Korea,” ujarnya, menambahkan.

Dalam membangun ekosistem EV, Indonesia bekerja sama dengan Korea menjalankan strategi awal yakni mengundang industri hilir terlebih dahulu yang harapannya akan diikuti oleh industri hulunya.

Ajakan ini langsung direspons positif oleh Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution yang membangun pabrik sel baterai dan battery system pertamanya di Indonesia, di bawah bendera PT Hyundai LG Industry (HLI) Green Power.

Berlokasi masing-masing di Karawang dan Cikarang, Jawa Barat, pabrik sel baterai HLI berdiri di lahan seluas 330.000 meter persegi dengan dana investasi mencapai 1,1 miliar dolar AS (hampir Rp17 triliun).

Fasilitas ini bisa menghasilkan sel baterai lithium-ion dengan total kapasitas 10 GWh per tahun untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 150.000 unit BEV.

Lalu, pabrik battery system Hyundai Energi Indonesia yang dibangun di lahan seluas 32.188 meter persegi dengan menghabiskan dana sebesar 60 juta dolar AS (Rp922 miliar), ditargetkan dapat memproduksi maksimal 50.000 unit Battery System Assembly (BSA) untuk BEV tiap tahunnya.

Kedua pabrik baterai tersebut akan beroperasi secara berkesinambungan untuk memasok sel baterai dan battery system ke BEV Hyundai yang diproduksi di dalam negeri oleh PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia.

Ketika produksi massal sel baterai dan battery system dimulai pada April 2024, maka kendaraan listrik dengan baterai buatan lokal akan diproduksi untuk pertama kalinya di Indonesia.

Dengan target produksi 30 juta baterai sel yang akan bisa digunakan untuk memproduksi kurang lebih 180 ribu mobil, PT HLI akan menjadi produsen baterai EV terbesar di Asia Tenggara.

“Ini merupakan indikasi jelas bahwa di masa depan, setidaknya pada 2025 atau 2030, tidak ada negara yang berminat pada nikel dan baterai EV bisa mengabaikan Indonesia. Pasalnya, Indonesia akan mendominasi 30 persen pasokan nikel global untuk baterai EV ini,” tutur Ichwan.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Korea (KOCHAM) di Indonesia, Lee Kang Hyun, menilai pemerintahan Presiden Jokowi telah menyusun peta jalan yang jelas dan lengkap untuk pengembangan ekonomi hijau di Indonesia, termasuk untuk membangun ekosistem EV.

Namun, jika dibandingkan dengan negara lain seperti Korea, Indonesia disebutnya sedikit terlambat untuk memulai. Korea sudah hampir 10 tahun menggarap energi hijau di semua bidang. Ekosistem EV  Korea juga sudah maju untuk mencapai zero emission.

Hyundai Motor, misalnya, telah dikenal sebagai salah satu pionir dalam industri mobil listrik dengan produknya seperti IONIQ 5.

Meskipun pangsa pasar produk Hyundai di Indonesia baru mencapai sekitar 5 persen, tetapi perusahaan otomotif Korea itu berambisi untuk terus memajukan produknya dan merebut pangsa pasar kendaraan bermotor di Indonesia yang selama 50 tahun terakhir dikuasai oleh Jepang.

Lebih lanjut mengenai pengembangan EV di Indonesia, Lee menyoroti perlu ditambahnya stasiun pengisian kendaraan listrik. Hyundai sendiri disebutnya masih mengusahakan kerja sama ini dengan PT Jasa Marga dan PT PLN.

Pemerintah Indonesia perlu membuat aturan agar lebih banyak charging stations, misalnya mengharuskan gedung baru untuk membangun charging station EV. 

Pemerintah Indonesia  perlu memperluas pasar kendaraan listrik. Salah satu kebijakan yang dapat dijalankan adalah dengan pengadaan EV untuk kendaraan resmi pemerintah, dan yang tidak kalah penting,  pemerintah Indonesia harus konsisten dalam menentukan arah kebijakan komposisi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk kendaraan listrik.

Konsistensi pengampu kebijakan dinilainya penting untuk menjaga iklim investasi dan kepercayaan diri para investor yang telah menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk investor Korea. 

Melalui kerja sama  Indonesia dan Korea yang mengawinkan potensi masing-masing yang dimiliki, diharapkan akan mendukung terwujudnya daya saing industri kendaraan listrik. Dengan berbagai akselerasi pembangunan infrastruktur dan sarana penunjangnya, diharapkan ekosistem kendaraan listrik juga akan semakin tumbuh.
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023