Jakarta (ANTARA) - Matahari pagi mulai memancarkan sinarnya ditemani kabut embun yang terasa  segar.  Sementara dari pojok kampung terdengar suara seorang perempuan memanggil para sahabatnya yang bertempat tinggal tak jauh dari rumahnya.

Pagi itu pukul 05.15 WIB di Desa Tebing Batu, Kecamatan Sebawi, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, seorang perempuan paruh baya, Melda, mengajak sahabatnya untuk berangkat ke hutan.

Menggunakan penutup kepala, pakaian panjang, dan berbekal air minum, Ia bersama tiga orang sahabatnya siap untuk mencari tanaman pakis.

Dengan mengendarai sepeda motor, empat orang itu berangkat menuju ujung desa. Di sepanjang jalan tak jarang orang-orang di desa itu menyapa mereka ketika berpapasan.

Setelah menempuh 10 menit perjalanan, mereka tiba di tempat tujuan. Pepohonan rimbun dan suara kicauan burung seakan menyambut riang kedatangan mereka.

Mereka pun tersenyum sambil berlari melihat tanaman pakis segar yang tumbuh menyebar di pinggir jalan sawah. Bahkan di area perkebunan kelapa sawit, karet, dan jeruk milik warga setempat.

“Inilah lokasi kami biasanya mengambil miding (pakis dalam bahasa Sambas), siapa saja boleh mengambil tumbuhan liar ini, gratis,” ujar Melda sembari mematahkan ibu tangkai daun pakis.

Tumbuhan pakis lemiding atau dengan nama latin disebut Stenochlaena palustris digunakan masyarakat Kabupaten Sambas sebagai bahan pokok pembuatan bubur pedas.

Pakis yang diambil adalah jenis daun muda, masih lembut, berwarna hijau muda kemerahan, bukan daun tua yang berwarna hijau gelap dan keras.

Setelah menghabiskan waktu satu jam, mereka selesai mengumpulkan pakis, dan langsung di bawa ke salah satu rumah warga. Lalu mereka pulang untuk mandi.

Tak lama setelah itu, Melda dan temannya tadi pun datang, berikut sejumlah anak kecil, anak muda, hingga orang tua.  Sebagian dari mereka tampak membawa sayur-mayur, batang lengkuas, daun kesum, singkong, hingga rebung. Belasan orang itu rupanya sengaja berkumpul dan telah janjian di hari sebelumnya untuk bersama-sama memasak bubur pedas.


Mempererat tali silaturahmi

Bubur Pedas hingga kini menjadi pemersatu dan pengikat silaturahmi masyarakat Sambas. Pasalnya, pembuatan bubur pedas yang memerlukan banyak bahan sayur-mayur dan rempah-rempah ini terasa ringan dan menyenangkan ketika dibuat bersama-sama.

Dari belasan orang yang berkumpul itu, masing-masing meracik bahan yang sudah ada.

Pada sudut dapur, seorang Ibu tengah menyangrai bumbu pokok dalam pembuatan bubur pedas yakni, beras, lada hitam dan putih, bawah putih, serta kelapa parut.

Setelah berwarna kecoklatan bumbu tersebut digiling halus, dan kemudian dimasukkan dalam air yang tengah dimasak di atas kompor, sambil sesekali diaduk agar tidak menggumpal.

Sementara itu,  sebagian ada yang melepaskan daun pakis dari ibu tangkainya, ya kalau orang Sambas menyebutnya “menyangek miding”, dan yang lain mencincang sayur-mayur seperti jagung, tauge, kacang panjang, kangkung, oyong, daun katuk, wortel, singkong, hingga rebung, lalu semuanya dicuci bersih.

Bumbu lain yang tak kalah penting adalah batang lengkuas muda, daun kunyit, dan daun kesum. Semua bahan dipotong tipis atau dicincang, namun ada juga yang memilih menghaluskannya dengan cara ditumbuk dan digiling.

Setelah semua bahan siap, mereka memasukkan satu per satu bahan ke dalam air yang sudah mendidih, mulai dari yang keras sampai sayur yang mudah lembut.

Tak lupa juga, mereka menambahkan bumbu halus yang sudah dioseng yakni bawang merah, bawang putih, terasi, beserta garam, micin, serta penyedap rasa.

Bubur pedas pun siap untuk dihidangkan dan dimakan bersama-sama. Semuanya telah duduk rapi saling berhadapan di lantai.

Menyantap bubur pedas khas Sambas akan semakin nikmat jika ditemani gorengan ikan teri, bawang merah, kacang tanah, kecap, jeruk limau, dan cabai ulek bagi yang suka pedas.

Untuk rasa pedasnya sendiri, banyak orang mengira bahwa bubur pedas ini memiliki rasa pedas yang berasal dari cabai. Padahal tidak. Rasa pedas itu berasal dari lada saat bumbu beras disangrai.


Sejarah bubur pedas

Menurut tokoh masyarakat melayu di Sambas, Syamsiah, bubur pedas yang terbuat dari beras tumbuk halus ini dulunya merupakan makanan khusus para raja. Bubur tersebut hanya akan dimasak pada acara kerajaan maupun acara adat yang sangat sakral.

Kata “pedas” juga bukan untuk menggambarkan pedas yang berasal dari cabai, melainkan perumpamaan dari Suku Melayu Sambas yang mempunyai makna beragam sayuran dan rempah yang menjadi satu, tercampur merata, dalam bubur tersebut.

Kerajaan Sambas juga menjadikan bubur pedas sebagai makanan alternatif saat jaman perang melawan penjajah, agar bisa menghemat biaya.

Kala itu, stok makanan sangat sedikit dan menipis, sehingga masyarakat berinisiatif membuat makanan tanpa harus banyak mengeluarkan biaya. Caranya dengan membuat bubur.

Sehingga tak heran, hingga kini banyak yang menyebut bubur pedas sebagai simbol persatuan, karena sejak zaman penjajahan sampai dengan sekarang makanan itu selalu menjadikan tali silaturahmi dan persaudaraan masyarakat lebih erat.

Kini, hal tersebut tidak berlaku lagi, karena bubur khas Sambas ini bisa diperoleh hampir di setiap sudut kota di Kalimantan Barat, di pasar tradisional, kantin sekolah, kantor, tempat wisata, hingga restoran berbintang.

Bubur pedas bahkan telah menjadi bisnis masyarakat hingga ke Ibu Kota Jakarta dan negara tetangga Malaysia.


Geliat ekonomi

Bubur pedas menjadi peluang bisnis yang cukup menjanjikan bagi masyarakat Kalimantan Barat, setidaknya itu yang dirasakan Aliong (42), yang telah melebarkan sayap bisnis kuliner makanan khas Sambas ini di Jakarta. 

Terinspirasi dari kesuksesan sang ayah yang sudah puluhan tahun berjualan bubur pedas di Kota Singkawang dan hampir setiap hari tidak pernah sepi pembeli,  ia pun memulai usahanya pada 2008 lalu, dengan membuka gerai di Pasar Krendang Raya, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.

Banyak masyarakat dari berbagai daerah datang membeli. Tempat usaha ini dibuka setiap hari sejak pukul 17.00 WIB sampai dengan 21.00 WIB.

Tak jarang para pembeli harus balik kanan, karena bubur pedas yang dijualnya sudah habis sebelum jam sembilan malam.

Selain menjual di toko, bubur pedas juga dijual melalui layanan pesan antar daring di aplikasi. Itu lah yang juga membuat penjualannya kian meningkat.

Jika di wilayah Kalimantan Barat bubur pedas dijual dengan harga Rp5.000–Rp10.000, maka di Jakarta makanan khas Sambas itu dijual dengan harga Rp25.000 untuk satu mangkuk. Dalam satu hari, omzet yang didapatkan rata-rata mencapai Rp2 juta.

Untuk membantu melayani para pelanggannya, Aliong mempekerjakan tiga orang karyawan.

Bahan-bahan pembuatan bubur pedas seperti daun kesum dan bumbu-bumbu rempah khas Kalimantan yang sulit didapatkan di Jakarta, ia datangkan langsung dari Kalbar. Sementara bahan seperti pakis dan jeruk limau khas Kalbar dibeli di toko Kalimantan yang letaknya juga tak jauh dari toko miliknya.

Berjualan bubur pedas tidak sekadar mencari pundi-pundi rupiah, tetapi sekaligus mengenalkan makanan khas bersejarah yang dimiliki tanah kelahirannya.

Di setiap mangkuk bubur pedas, memiliki beraneka ragam rasa rempah khas Kalimantan Barat, berbagai jenis sayuran dan tanaman yang menyehatkan tubuh, serta tercipta rasa persaudaraan dan kesatuan yang begitu kuat di dalamnya.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023