Gaza (ANTARA) - Setiap hari saat matahari terbit, Mohammed Tafish (50), seorang pria Palestina dari daerah al-Zaitoun di sebelah timur Kota Gaza, bergabung dengan puluhan tetangganya dan memasak makanan gratis untuk para pengungsi di daerahnya.

Ayah enam anak itu mengatakan kepada Xinhua bahwa krisis elpiji membuat dia dan para tetangganya terpaksa menggunakan sekitar 20 alat masak besar yang dipanaskan menggunakan tungku kayu bakar di trotoar untuk menyiapkan berbagai jenis makanan.

"Kami sudah terbiasa memasak di tengah suara ledakan besar yang disebabkan oleh baku tembak antara tentara Israel dan militan Palestina," ungkap pria paruh baya itu.

"Kami terlibat dalam pertempuran ini sebagai pihak yang tidak bersalah. Kami menghadapi kematian, baik karena serangan Israel atau karena kelaparan di tengah situasi yang mengerikan ini," keluh Tafish.

"Seluruh penduduk, kaya atau miskin, mengalami hal yang sama. Tidak ada yang bisa membeli makanan karena pasar telah kehabisan stok. Bahkan mereka yang telah menyimpan bahan makanan juga tidak memiliki gas untuk memasaknya," ujarnya.

Itulah mengapa Tafish dan para tetangganya memutuskan untuk bertindak dengan memasak makanan bersama-sama demi memberi makan para pengungsi sebagai upaya untuk saling mendukung agar dapat bertahan di tengah krisis di Gaza saat ini.

Setiap hari, dia menyediakan makanan untuk sekitar 4.000 keluarga, masing-masing dengan rata-rata tujuh anggota.

"Ini bukan hanya tentang memasak makanan untuk keluarga miskin, tetapi juga tentang memperkuat solidaritas di antara masyarakat yang hidup dalam krisis yang sama," tegasnya.   
 
 Seorang sukarelawan menyiapkan roti untuk warga Palestina yang terlantar di Kota Khan Younis, Jalur Gaza Selatan, 11 November 2023. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)


Di Rafah, Ahmed Al-Shaer (39) membantu 20 orang lainnya untuk memasak sekitar 10.000 paket makanan per hari bagi keluarga-keluarga yang miskin dan tidak memiliki tempat tinggal di kota tersebut guna membantu mereka bertahan melewati masa-masa sulit di Gaza.

Dengan semangat yang sama, Mohammed Abu Rujaila (45), bersama dengan 10 temannya, memasak makanan untuk lebih dari 3.000 keluarga pengungsi di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan.

"Orang-orang yang melarikan diri dari kematian tidak dapat membawa apa pun. Mereka tidak punya uang, pakaian, dan bahkan makanan yang cukup untuk bertahan hidup selama beberapa hari," kata ayah tujuh anak itu kepada Xinhua.

Dia menekankan bahwa dalam serangan Israel yang tak pandang bulu, "rakyat Palestina, yang memiliki solidaritas sosial tinggi, dengan cepat mengulurkan tangan saling membantu."
 
   Warga Palestina terlihat dalam perjalanan dari Kota Gaza menuju selatan, di Jalur Gaza Tengah, pada 10 November 2023. (Xinhua/Yasser Qudih)


Sejak 7 Oktober, konflik berdarah antara Israel dan kelompok gerakan perlawanan Palestina, Hamas, telah berkecamuk tanpa henti di Gaza selama lebih dari satu bulan.

Konflik tersebut telah menewaskan lebih dari 11.000 warga Palestina di daerah kantong pesisir tersebut dan sekitar 1.400 orang di Israel.

Selain serangan udara dan operasi darat besar-besaran, Israel juga memberlakukan langkah-langkah hukuman, termasuk pengepungan terhadap daerah kantong tersebut, dengan pasokan air, listrik, bahan bakar, dan berbagai kebutuhan lainnya diputus.

Penduduk Gaza, termasuk Tafish, Abu Rujaila, dan Al-Shaer, seluruhnya bergantung pada dana yang disediakan oleh para pengusaha lokal, para pengungsi yang memiliki uang tetapi tidak dapat membeli makanan, dan para donatur dari luar Gaza.

Namun, terlepas dari solidaritas di antara penduduk setempat, krisis kemanusiaan yang menyelimuti daerah kantong tersebut semakin parah seiring berlanjutnya konflik.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pekan lalu mengatakan bahwa meski sejumlah bantuan penyelamat nyawa sudah masuk ke Gaza dari Mesir melalui perlintasan Rafah, "setetes bantuan ini tidak dapat memenuhi lautan kebutuhan."

Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023