Jakarta (ANTARA) - Sebagai salah satu negara dengan jumlah kendaraan berbahan bakar fosil yang cukup banyak, sudah semestinya Indonesia mencari cara terbaik guna menurunkan tingkat polusi yang dihasilkan dari tingginya populasi kendaraan. Hal ini juga mempertimbangkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan target nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada tahun 2060.

Seperti yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bahwa transformasi energi Indonesia telah menjadi prioritas bersama. Untuk itu, dilakukan berbagai inisiasi dalam merealisasikan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, salah satunya melalui riset pengembangan bahan bakar berbahan dasar kelapa sawit.


Pengembangan bensa

Indonesia menjadi negara dengan industri kelapa sawit terbesar di dunia saat ini. Pada 2022 saja, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat Indonesia telah memproduksi 52 juta ton minyak kelapa sawit (CPO). Karena itu, sangat disayangkan apabila pemerintah tidak memanfaatkan anugrah sumber daya alam ini untuk pengembangan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan serta memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.

Dalam hal ini bahan bakar ramah lingkungan merupakan bahan bakar yang tidak menimbulkan dampak negatif yang tinggi terhadap lingkungan. Perlu diketahui bahwa pembakaran yang berlangsung di mesin kendaraan, sering kali menyisakan residu yang menjadi polusi bagi lingkungan.

Bensin sawit (bensa) menjadi salah satu alternatif yang dapat diimplementasikan untuk menciptakan bahan bakar ramah lingkungan, sekaligus mengurangi impor BBM. Bensa sendiri merupakan bahan bakar minyak (BBM) yang berbahan dasar kelapa sawit dengan kadar RON atau angka oktan 110.

Saat ini, bensa tengah dalam tahap pilot roject. Penelitian bensa dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) bekerja sama dengan Kementerian ESDM serta bantuan pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan PT Kemurgi Indonesia. 

Dalam uji coba sebelumnya, bensa telah digunakan pada kendaraan sepeda motor KTM 390 CC Adventure yang berhasil menempuh jarak 2.000 kilometer (km) dari Bogor sampai Medan.

Namun bahan bakar ini masih belum dapat dipasarkan dan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Kedepannya, pemerintah merencanakan target untuk memproduksi bensa sebesar 238,5 kiloliter (kL) per hari.

Sebenarnya, proyek bensa telah dimulai sejak tahun 1982, dengan mengonversi stearin menjadi bahan bakar nabati yang terdiri dari bensin, gerosin serta minyak disel. Kemudian pada tahun 2018, BPDPKS memutuskan untuk turun tangan memberikan bantuan pendanaan guna mengembangkan teknologi produksi bensa dalam skala besar.

Dalam Pekan Riset Sawit Indonesia (PERISAI) 2023, salah satu anggota tim peneliti Pusat Rekayasa Katalis ITB Melia Laniwati Gunawan menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah berfokus pada aspek katalis. Hal ini dikarenakan untuk dapat mengonversi minyak nabati (IVO) dan minyak nabati industri campuran (MIVO) dalam proses pengembangan bensa sangat bergantung pada katalis serta kondisi proses.

Dalam konteks kimia, katalis merupakan suatu zat yang mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan oleh reaksi itu sendiri.

Karena katalis itu bisa mempercepat reaksi miliaran bahkan triliunan kali lebih besar, dan mengarahkan ke produk yang kita inginkan, oleh sebab itu kami sedang mengembangkan katalisnya. Kami ini sudah cukup lama mengembangkan katalis khususnya untuk proses cracking IVO menjadi bensa.

Selain mampu menciptakan energi yang lebih bersih, Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto menilai pengembangan bensa nantinya juga akan memuluskan jalan bagi Indonesia untuk menyejahterahkan para petani. Pasalnya, riset ini dapat membantu pembuatan "steam engine" yang lebih murah dibandingkan turbine, sehingga bisa diakses lebih luas oleh para petani.

Sebenarnya pabrik kecil ini sangat ditunggu para petani, artinya makin kecil makin terjangkau dan impian untuk mengelola buahnya untuk menjadi minyak itu bisa terealisasi dan akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dari pada petani itu sendiri.


B40

Dalam sesi presentasi hasil riset PERISAI 2023 di Surabaya, dilaporkan bahwa pemerintah telah melakukan uji jalan program pencampuran bahan bakar nabati (BBN) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis minyak solar menjadi 40 persen (B40) sejak 27 Juli 2022. B40 merupakan campuran dari 60 persen solar, dan 40 persen biodisel, serta B30 D10 yang merupakan campuran 60 persen solar, 30 persen biodisel dan 10 persen bio hidrokarbon.

Dalam pengujian saat itu, Kementerian ESDM bertindak sebagai koordinator, dengan pelaksana teknis Lembaga Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS), Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi, serta BRIN. Kemudian Pertamina dan Aprobi berperan sebagai penyedia bahan bakar. Kementerian ESDM menargetkan program B40 agar ditetapkan secara efektif pada 2030.

Hal ini mencerminkan adanya progress dalam hilirisasi "pohon ajaib" itu untuk fungsi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Dalam uji jalan B40, dilakukan uji stabilitas bahan bakar dan uji kompatibilitas material di laboratorium. Kemudian dilanjutkan dengan uji performa kendaraan di atas 3,5 ton dan di bawah 3,5 ton.

Pengujian membuktikan hasil bahwa seluruh bahan bakar yang diuji telah memenuhi spesifikasi yang disayaratkan. Kemudian bahan bakar B40 dan B30 D10 tidak memberikan dampak signifikan terhadap sifat fisika kimia serta performa minyak pelumas masing-masing kendaraan.

Selain itu, banyak peneliti yang mengatakan bahwa perjalanan Indonesia dalam menciptakan bahan bakar sawit yang efektif masih perlu melewati jalan terjal yang sebenarnya bisa diatasi dengan riset lebih mendalam untuk teknologi sekaligus peremajaan industri sawit. Perlu adanya kolaborasi di antara berbagai pihak, khususnya para peneliti dan investor dalam mengembangkan industri yang potensial ini menjadi bahan bakar yang terbarukan.

Untuk itu, sesi khusus, seperti PERISAI 2023 yang rutin diadakan setiap tahun menjadi suatu wadah penting untuk mempertemukan para peneliti, pemerintah, serta para pemangku kepentingan lainnya dalam membicarakan ide-ide brilian. Berbagai hasil penelitian yang siap eksekusi sudah banyak lahir dalam konferensi tahunan tersebut.

Keterlibatan masyarakat umum juga tak kalah penting dalam pengembangan bahan bakar sawit. Oleh karena itu, sosialisasi yang matang dari para pemangku kepentingan memegang peran penting agar masyarakat memahami perjalanan pengembangan sawit sebagai bahan bakar di Indonesia.


 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023