Singapura (ANTARA) - Junta Myanmar menghadapi serangan besar-besaran oleh pemberontak di tiga negara bagian, hingga meminta staf pemerintah bersiap menghadapi keadaan darurat.

Juru bicara junta Zaw Min Tun mengatakan bahwa militer menghadapi serangan hebat dari sejumlah besar tentara pemberontak bersenjata di Negara Bagian Shan di timur laut, Negara Bagian Kayah di timur, dan Negara Bagian Rakhine di barat.

Zaw Min Tun mengatakan beberapa posisi militer telah dievakuasi karena pemberontak menggunakan drone untuk menjatuhkan ratusan bom di pos-pos militer.

“Kami segera bertindak untuk melindungi diri dari serangan bom drone secara efektif,” kata dia pada Rabu malam.

Di Ibu Kota Naypyidaw, staf pemerintah telah diperintahkan untuk membentuk unit untuk menanggapi situasi darurat, kata sekretaris Dewan Naypyidaw Tin Maung Swe.

Dia membantah bahwa perintah itu merupakan respons terhadap situasi keamanan, dan mengatakan ibu kota dalam keadaan tenang.

“Ini adalah rencana untuk membantu jika terjadi keadaan darurat, khususnya bencana alam,” kata Tin Maung Swe kepada Reuters.

Pemerintahan paralel yang dibentuk oleh politisi prodemokrasi untuk menentang militer dan bersekutu dengan beberapa faksi pemberontak, telah meluncurkan kampanye "Jalan Menuju Naypyidaw" yang bertujuan untuk mengambil kendali di ibu kota.
Baca juga: Beijing pastikan jalur pipa migas China-Myanmar aman dari konflik

Secara terpisah, media Thit melaporkan bahwa Dewan Administrasi Negara (SAC) yang dibentuk junta menyatakan bahwa semua orang yang telah mendapat pelatihan dasar militer harus siap untuk berangkat dan bertugas.

Militer Myanmar telah memerangi etnis minoritas dan pemberontakan lainnya selama beberapa dekade, tetapi kudeta pada 2021 telah menghasilkan koordinasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di antara kekuatan antimiliter--yang menjadi tantangan terbesar bagi tentara selama bertahun-tahun.

Myanmar jatuh dalam kekacauan sejak kudeta tahun 2021, ketika militer menggulingkan pemerintahan yang dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi dan mengakhiri satu dekade reformasi demokrasi sementara negara itu.

Militer memerintah Myanmar dengan tangan besi selama 50 tahun setelah merebut kekuasaan pada 1962, dan bersikeras bahwa mereka adalah satu-satunya institusi yang mampu menyatukan negara yang beragam itu.

Kudeta tahun 2021 juga menghancurkan harapan akan reformasi dan memicu gelombang besar oposisi yang menyatukan aktivis prodemokrasi di kota-kota, sementara kekuatan etnis minoritas berjuang untuk menentukan nasib sendiri di daerah pedalaman.

Bentrokan telah memicu pengungsi ke seluruh negara tetangga Myanmar, termasuk ribuan orang yang melarikan diri ke India dalam beberapa hari terakhir, dari pertempuran di Negara Bagian Chin di barat laut.

Pemerintah Barat pun menerapkan kembali sanksi terhadap junta Myanmar sebagai tanggapan atas kudeta dan tindakan keras terhadap protes dan menuntut pembebasan Suu Kyi serta politisi dan aktivis prodemokrasi lainnya.

Negara-negara tetangga Myanmar di Asia Tenggara telah mencoba mendorong proses perdamaian tetapi para jenderal mengabaikan upaya mereka.

Baca juga: Menimbang efektivitas pesan keras ASEAN terhadap junta Myanmar
Baca juga: Utusan Myanmar untuk PBB serukan tekanan lebih besar terhadap junta


Sumber: Reuters

Penerjemah: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2023