Jakarta (ANTARA) - Sejak sekolah dasar, anak-anak selalu diajari tentang sejarah yang terkait dengan penjajahan di Nusantara atau sebuah negeri sebelum menjadi Indonesia, yang berlangsung berabad-abad lamanya.

Sebagian pakar bahkan menghitung kolonialisme bermula di negeri ini ditandai sejak masuknya Portugis ke Selat Malaka pada 1511. Pakar lain menyebutnya, penjajahan berawal sejak VOC berganti wajah menjadi Pemerintahan Hindia-Belanda pada 1799.

Sulit dibayangkan mengapa penjajahan begitu lama, namun demikianlah faktanya. Kemudian muncul pertanyaan mengapa bangsa ini dijajah begitu lama.

Ternyata jawabannya karena perjuangan untuk membebaskan diri dari kolonialisme belum terkonsolidasi. Sebagian besar masyarakat di tanah air cenderung masih bersifat fanatik terhadap kelompoknya. Tidak ada semangat persatuan yang ditanamkan oleh masyarakat pribumi di tanah air. Jika pun ada perlawanan, sifatnya masih sangat lokal.

Kesultanan Demak di Jawa melawan, dengan tanpa melibatkan kekuatan-kekuatan lain di luar Jawa. Begitu pun Kesultanan Mataram melawan, juga tanpa melibatkan kerja sama seluruh kekuatan. Tentara Paderi melawan, juga tanpa konsolidasi dengan seluruh rakyat semesta.

Memasuki abad 20, sektarianisme masih bercokol. Memang benar telah muncul organisasi-organisasi pemuda, yang mengusung spirit nasionalisme dan anti-kolonialisme. Tetapi, Budi Utomo yang berdiri tahun 1908 di Jakarta misalnya, masih cenderung fokus pada koordinasi kekuatan di wilayah Jawa-Madura.

Al-Irsyad Al-Islamiyah yang berdiri pada 1914 di Jakarta atau Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 di Yogyakarta, semuanya masih bersifat lokal, dengan visi-misi yang etnosentrisme. Hal yang sama juga menimpa Jong Java yang didirikan tahun 1918 di Solo, yang cenderung fokus pada garis koordinasi Jawa, Sunda, Madura, dan Bali.

Belum lagi melihat sejarah Jong Sumatranen Bond, yang didirikan pada 1917 di Jakarta. Tidak lama kemudian, para pemuda Batak memilih keluar, dengan alasan yang juga sifatnya fanatisme kesukuan. Menurut pemuda-pemudi Batak, Jong Sumatra hanya didominasi oleh orang-orang Minangkabau.

Jika bukan fanatisme kesukuan, maka fanatisme keagamaan yang muncul. Misalnya, Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan pada 1905 di Surakarta sejak awal berniat melawan penduduk pribumi "China", yang kebetulan mendominasi perdagangan nasional.

Tidak bertahan lama, SDI yang berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) pun mengalami perpecahan internal di tahun 1923 saat Kongres Madiun. SI "Merah" beraliran komunisme dipimpin oleh Semaoen, dan SI "Putih" dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang beraliran Islamisme.

Fanatisme keagamaan ini memang berdampak besar pada keterbelahan umat muslim. Selain Al-Irsyad, Muhammadiyah, SI, dan nantinya NU di tahun 1926, masih banyak ormas-ormas keagamaan berhaluan Islam lainnya, seperti Mathla'ul Anwar (1916), Persatuan Islam (1923), Al-Washliyah (1930), Al-Khairat (1930), Masyumi (1937), serta lainnya.

Dalam konteks semacam itu, perpecahan tidak bisa disebut sebagai "rahmat", sebagaimana pepatah ulama: "ikhtilafu ummati rahmatun" (perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat). Sebab, memang terbukti, tidak adanya persatuan umat Muslim maupun seluruh bangsa adalah akar usia panjang kolonialisme.

Sampai Kapan?

Perpecahan memporak-porandakan umat muslim dan bangsa Indonesia umumnya. Perpecahan tidak saja melanggengkan kolonialisme, tetapi juga menyebabkan upaya-upaya mengisi kemerdekaan menjadi terhambat.


Oleh karena itu, bangsa ini sudah saatnya bersatu untuk sebuah tujuan besar yakni mencapai target-target kesejahteraan, bangsa yang adil, makmur, merata, dan sentosa sebagai cita-cita para pendirinya.

Meski tak bisa dipungkiri bahwa friksi dan perbedaan pendapat kerap terjadi di sepanjang era pemerintahan misalnya saat Orde Lama dan Orde Baru.

Pun serupa di awal era reformasi perpecahan serupa masih terjadi di kalangan umat muslim, khususnya warga Nahdliyyin. Semua melihat fakta nyata, ketika PBNU melahirkan PKB, ada banyak ulama-ulama NU lain yang mendirikan partai mereka masing-masing, sebut saja Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), didirikan oleh KH. Idham Chalid yang menentang KH. Abdurrahman Wahid.

Bukan saja PPNUI, tetapi juga ada Partai Kebangkitan Umat (PKU), yang didirikan oleh KH. Yusuf Hasyim dan Drs. Asnawi Latif. Lagi-lagi karena perbedaan pendapat mereka terhadap PBNU yang membentuk PKB. Masalahnya, komitmen mengatasi perbedaan menuju persatuan betul-betul masih terkubur dalam.

Kesadaran sejarah ini pada hakikatnya sangat penting, supaya warga Nahdliyyin khususnya, mengerti betapa pernyataan sang pendiri NU, Wahab Hasbullah sangatlah benar. Wahab mengatakan, kekuatan NU itu jika diibaratkan sebagai senjata maka ia adalah meriam.

Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda dari luar, seolah senjata itu hanya gelugu alias batang pohon kelapa. Sehingga kekuatan itu tetap terkubur dan hanya menjadi potensi semata.

Andai Wahab Hasbullah masih membersamai bangsa ini hari ini, pastilah ia akan prihatin. Propaganda luar yang terjadi di zaman ketika ia hidup masih terus eksis dan hanya berganti wajah hingga hari ini.

Salah satu ucapan Bang Karno yang paling dikenang adalah, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri."

Maksud Bang Karno lewat ucapan itu tak lain untuk mengingatkan bahwa ancaman yang dihadapi bangsa ini setelah merdeka tidak sederhana karena justru akan berhadapan dengan bangsa sendiri.

Oleh karena itu, tekad untuk mewujudkan sila ketiga Pancasila Persatuan Indonesia harus dipupuk dan dibumikan terutama di tahun politik seperti saat ini.

Sebab upaya memecah-belah bangsa ini datang sebagai ancaman dari segala penjuru, lebih sering bahkan sifatnya masif dan terstruktur sebagai semacam propaganda yang kuat.

Padahal semua menyadari, jika tanpa persatuan, sulit bagi bangsa ini untuk mewujudkan Indonesia Emas dan Indonesia Maju, sebuah negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur.


*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Copyright © ANTARA 2023