... dengan melukis membuatnya tetap merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya.
Jakarta (ANTARA) - Kerumunan pengunjung itu tampak takjub memandangi satu persatu lukisan yang terpasang di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki. Langkah kaki yang terhenti, decak kagum dari bibir hingga jari telunjuk terulur, seakan mengabsen seluruh lukisan.

Setiap goresan cat itu tampak memiliki makna tersendiri, mulai dari menggambar benda mati seperti bunga, makhluk hidup seperti burung, hingga abstrak yang tak jarang membuat terkesima.

Lukisan itu mungkin terlihat biasa saja bagi sebagian pengunjung, namun di mata sang pelukis, mulai dari proses hingga karya itu layak dipamerkan, di dalamnya mengandung harapan yang diimpikannya di masa depan.

Sebanyak 23 lukisan di lokasi itu dibuat oleh anak-anak berkebutuhan khusus atau istimewa yang mungkin tak dikenal bahkan tak tahu cerita di balik kehidupan dan perjuangannya.

Salah satunya adalah Dewantara Pradhanna Soepardi (20) yang memiliki banyak kelebihan di balik kekurangannya.

Kaki dan tangannya mengalami quadriplegia di mana anggota tubuh menjadi kaku, tapi dengan melukis membuatnya tetap merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya.

Kursi roda pun bukan menjadi penghalang untuk menceritakan perjalanannya melalui lukisan.

Birds of Swarnadwipa, nama belakang nan unik itu berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pulau emas yang dihiasi burung kesukaan sang pelukis.

Lukisan itu dibuatnya kala menyalurkan hobi di ruangan kantor sang ayah. Saat membuat lukisan itu dia memutar lagu yang membuatnya bersemangat.

Layaknya remaja pada umumnya, dia memutarkan lagu penyanyi mancanegara seperti Adele yang tersohor itu.

Entah kenapa jari-jari itu seakan diajak menari di atas kanvas saat mendengarkan nada-nada itu.

Tak banyak bercerita, namun tiap sapuan kuas di kanvas Dewa itu begitu berharga, mungkin tak bisa dinilai dengan rupiah, betapa pun besarnya. Dengan melukis, dia bisa perlahan menyembuhkan diri melalui terapi.

Dengan memandang warna, dia bisa meluapkan ekspresi tanpa butuh banyak tutur kata.
Pelukis disabilitas Dewantara Pradhanna Soepardi memamerkan karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jumat (10/11/2023). ANTARA/Luthfia Miranda Putri


Saat bertemu dengan pelukis yang akrab disapa Dewa itu, dia begitu bangga memegang piagam hingga piala yang didapatkannya.

Sorot matanya seakan berkata, "Aku bisa, aku berharga. Ada lukisan lainnya di masa depan yang harus aku kisahkan kepada banyak orang."

Sang ibu pun dengan setia menemani dengan mendorong kursi rodanya untuk sekadar berbincang dengan pengunjung.

Senyumnya yang tulus menemani Dewa saat berbincang dengan ANTARA.

“Terapi melukis ini selain hobi sekaligus bisa menjadi wadah untuk Dewa menyalurkan emosinya,” ujar ibu Dewa, Poppy.

Belajar melukis sejak usia 14 tahun, Dewa sudah terbiasa melukis menggunakan jari untuk menorehkan cat di kanvas.

Tantangan Dewa saat melukis perlu dukungan lebih seperti membutuhkan seseorang untuk bersandar agar bisa mudah melakukan aktivitasnya.

Poppy berharap Dewa bisa mengembangkan dirinya meski di tengah keterbatasan karena dari berkarya seseorang bisa dikenal dan tak akan terlupakan.

Kekurangan menjadi kekuatan inilah yang mampu menjadikan seorang Dewa percaya akan kemampuannya.


Penanganan psikolog

Psikolog anak Novita Tandry menuturkan penanganan terapi khususnya kepada anak disabilitas harus dilakukan oleh seseorang tepat, seperti psikolog ataupun ahli yang berlatar belakang terapi seni (art theraphy).

Terapi kepada penyandang disabilitas dilakukan bukan untuk menyembuhkan penyakit, melainkan mengatasi gangguan yang terjadi dalam tahapan tumbuh dan berkembang seorang anak.

"Terapi seni merupakan salah satu bagian dari psikoterapi yang menggunakan seni sebagai media utamanya dan digunakan sejak lama untuk gangguan mental serta tekanan psikologis," jelas Novita.

​​​​​​​Terapi seni ada banyak macamnya seperti melukis, menari, drama, memahat, hingga memotret dengan harus dibimbing oleh psikolog.

Manfaat terapi ini dipercaya psikolog mampu memengaruhi emosi, perasaan, suasana hati, pikiran, dan perilaku, yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

Melakukan hal kreatif bisa membantu penyandang disabilitas yang kesulitan, lebih mudah mengungkapkan emosi maupun ekspresinya kepada orang lain.

Adapun jangka waktu penyembuhan melalui terapi ada beragam, tergantung individu masing-masing.


Dukungan Pemerintah

Taman Ismail Marzuki (TIM) menyelenggarakan rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-55 yang dapat dihadiri masyarakat tanpa dipungut biaya atau gratis pada 8-12 November 2023.
Pelukis disabilitas Dewantara Pradhanna Soepardi memamerkan karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jumat (10/11/2023). ANTARA/Luthfia Miranda Putri


​​​​​​​"Momen perayaan Hari Ulang Tahun TIM sangat penting untuk mengenang warisan Ismail Marzuki," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana.

Kegiatan HUT juga untuk mengapresiasi peran penting TIM dalam mempromosikan seni dan budaya sekaligus menjadi wadah ekspresi para seniman serta budayawan.

Kegiatan dibagi menjadi dua sesi. Yaitu pra-kegiatan (event) yang dilaksanakan pada 8-9 November 2023 dan kegiatan puncak yang dilaksanakan pada 10-12 November 2023.

Rangkaian kegiatan diisi oleh live mural, pertunjukan musik, teater, pameran seni rupa inklusif, festival warisan budaya tak benda (WBTb) dan pertunjukan planetarium mini.

Tema yang dipilih pada HUT ini, yaitu "TIM Ruang Bersama dalam Cipta & Karya". Tema itu bermakna adanya harapan, agar TIM tetap menjadi ruang bagi para seniman untuk menghasilkan karya-karya seni yang berkualitas.

Adapun sebanyak 23 penyandang disabilitas menampilkan sejumlah karyanya mulai dari lukisan, kerajinan karung goni, hingga rajutan untuk menceritakan pengalamannya masing-masing.


 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023