Banda Aceh (ANTARA) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menyatakan Pemerintah Pusat perlu mengambil sikap soal gelombang kedatangan pengungsi etnis Rohingya di Aceh dalam tiga hari terakhir November 2023.

"Ketika pemerintah diam saja membiarkan persoalan ini berlarut, sehingga terjadi penolakan, ini sangat kita sayangkan," kata Koordinator KontraS Aceh Azharul Husna, di Banda Aceh, Jumat.

Untuk diketahui, dalam tiga hari terakhir telah datang ratusan pengungsi Rohingya di Aceh. Pertama pada Selasa (14/11) di pesisir pantai Gampong Blang Raya Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie 200 orang, enam diantaranya melarikan diri.

Sehari setelahnya, Rabu (15/1), sebanyak 147 imigran Rohingya kembali mendarat di kawasan pantai Beurandeh Kecamatan Batee Kabupaten Pidie.

Lalu, pada Kamis (16/11), Aceh kembali kedatangan kapal imigran Rohingya di kawasan pesisir Jangka Kabupaten Bireuen. Namun, mereka mendapat penolakan dari warga setempat.

Karena mendapatkan penolakan dari masyarakat Bireuen, kapal yang mengangkut 249 imigran Rohingya itu mendarat di wilayah Kabupaten Aceh Utara, tetapi setelah diberikan makan dan pakaian pun, mereka didorong kembali ke lautan.

KontraS Aceh mendesak pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Bireuen, agar memberikan pertolongan dengan mendaratkan para pengungsi yang berada dalam kondisi memprihatinkan itu. Apalagi mereka nyaris sebulan terombang-ambing di lautan.

Di sisi lain, KontraS Aceh juga telah berulang kali menyampaikan tidak adanya mekanisme komprehensif yang seharusnya bisa dilakukan oleh pemerintah hingga di tingkat pusat terhadap penanganan pengungsi yang tiba di Aceh.

Ia menyebutkan, berdasarkan Perpres 125/2016 telah diatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi tersebut.

Pada pasal 17 dan 18 dari Perpres itu juga menyatakan perihal penemuan pengungsi. Jika mereka telah mendarat, maka Basarnas harus mengerahkan pertolongan, dan instansi pemerintah serta masyarakat harus saling berkoordinasi.

"Tidak ada ketentuan dalam Perpres ini untuk adanya penghalangan atau pencegahan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia, Pemerintah Pusat punya tanggung jawab dan peran aktif seharusnya disini," ujarnya.

Menurut Husna, penolakan terhadap pengungsi yang sudah sempat mendarat lalu mengembalikan mereka ke perairan itu justru melanggar prinsip 'non-refoulement' yang merupakan salah satu kewajiban internasional bagi setiap negara.

Padahal, penderitaan yang dialami pengungsi Rohingya yang memaksa mereka untuk berpindah tempat mencari penghidupan, tak bisa dilepaskan dari sejarah kekerasan yang dialaminya di Myanmar, sejak puluhan tahun silam.

Bahkan, kekerasan itu masih berlangsung hingga sekarang di Myanmar. Aceh tentu tidak asing dengan pengalaman tersebut, karena ketika konflik terjadi di masa lalu, banyak warga Aceh yang terancam keselamatannya sehingga harus mencari suaka ke luar negeri.

Ketika pemerintah diam saja, atau tutup mata atas apa yang sedang terjadi, apalagi dengan membiarkan pengungsi ditolak (kembali ke lautan), maka ini jelas-jelas tidak punya empati.

"Kami minta pemerintah untuk menolong para pengungsi. Negara juga diminta segera meratifikasi Konvensi 51 tentang Pengungsi," demikian Husna.

Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2023