Jakarta (ANTARA) - Indonesia diperkirakan akan menghadapi era bonus demografi beberapa tahun ke depan. Berdasarkan prediksi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi pada kurun 2030-2040.

Artinya, pada kurun waktu tersebut kondisi masyarakat Indonesia akan didominasi oleh usia produktif (15-64 tahun) dibandingkan usia nonproduktif.

BPS memperkirakan ada setidaknya sekitar 64 persen usia produktif dari total penduduk yang diproyeksikan, yakni 297 juta jiwa.

Hal ini berarti di atas kertas, merupakan sebuah keuntungan besar bagi Indonesia untuk menjadi negara dengan produktivitas tinggi.

Jika ini terjadi, maka produktivitas Indonesia akan mengalahkan negara Jepang yang di masa depan penduduknya lebih banyak yang berusia tua.

Dalam istilah demografi, kondisi dengan populasi tersebut disebut dengan piramida cembung.

Jika Indonesia ingin mendapatkan keuntungan demografis, maka tidak ada cara yang paling efektif, kecuali dengan meningkatkan jumlah para wirausahawan usia muda atau produktif tersebut.

Faktanya adalah jumlah wirausahawan Indonesia saat ini masih rendah dari standar semestinya dan dibandingkan dengan negara lain.

Data BPS menunjukkan bahwa rasio kewirausahaan Indonesia baru mencapai 3,47 persen, lebih rendah dari negara negara tetangga, seperti Singapura, dengan rasio kewirausahaan 8,76 persen, Thailand dan Malaysia 4,5 persen.


Kurikulum Kewirausahaan

Pendidikan dan pelatihan (diklat) kewirausahaan adalah kunci utama dalam memperbanyak jumlah wirausahawan di Indonesia. Kunci dalam menyelenggarakan program diklat kewirausahaaan ini supaya bisa efektif adalah pengembangan kurikulum kewirausahaan yang ampuh.

Kurikulum adalah jantung dari diklat. Ada lima tantangan untuk menghasilkan kurikulum kewirausahaan yang ampuh.

Pertama, adalah memaknai kurikulum wirausaha sebagai sarana efektif untuk melakukan rekonstruksi sosial. Kurikulum tidak hanya dimaknai secara pasif, statis, dan eksklusif, legal formalistik, namun kurikulum dikonsepsikan sebagai wujud interaksi, dialog, transformatif dan perubahan-perubahan positif personel dan masyarakat yang dimotori oleh guru dan siswa (kurikulum hidup).

Kurikulum hidup merupakan kurikulum dalam wujud aktivitas dan interaksi kehidupan sosial masyarakat yang telah terpola sistematis menuju transformasi sosial.

Setiap interaksi dan dialog pasti melibatkan siswa dan guru, yakni konsep guru sebagai orang yang memfasilitasi dan mendorong perubahan, sedangkan siswa adalah orang yang difasilitasi dan didorong melakukan transformasi, terlepas apapun hubungan, dan berapapun jumlah dan usianya, dan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003 mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Makna ini selaras dengan jalur sistem pendidikan Indonesia yang dikenal, yakni pendidikan formal (sekolah), nonformal (seperti pusat kegiatan belajar mengajar/PKBM) dan informal (keluarga).

Kedua, kurikulum sebagaimana diuraikan di atas dibangun atas dasar potensi keunggulan lokal. Masyarakat yang punya tradisi dan potensi, misalnya pohon siwalan, maka kurikulum wirausahanya adalah melakukan interaksi, dialog, dan transformasi siwalan menjadi produk yang menguntungkan.

Sejak kecil kurikulum hidup ini telah dijalankan di keluarga dan masyarakat, sehingga proses pembiasaan, kreasi, afeksi, seni, mental, dan keseluruhan potensi siwalan bisa dioptimalkan.

Kurikulum Merdeka juga telah memberikan peluang untuk mewujudkan kurikulum yang hidup ini kepada satuan pendidikan, sesuai potensi dan tradisi sosial masyarakat setempat melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Sekolah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan P5 dan memilih tema yang sesuai. Dalam konteks ini, tentunya P5 bertemakan wirausaha menjadi pilihan yang tepat. Bahkan, P5 dengan tema selain kewirausahaanpun, tetap dalam konteks kurikulum hidup ini, tema tersebut bisa "diwirausahakan".

Tentu saja P5 dengan tema wirausaha atau yang diwirausahakan ini bisa membawa potensi lokal, bukan hanya mengguncang nasional, namun menjadi komoditas yang mengguncang global.

Selain P5, perguruan tinggi bisa menyelenggarakan program wirausaha merdeka untuk mendukung penuh terciptanya wirausaha mahasiswa di Indonesia.

Ketiga, pola implementasi kurikulum kewirausahaan ini bersifat bersamaan, dalam arti bisa kerja sama atau sama-sama kerja.

Kerja sama bermakna kurikulum antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan yang lain membentuk jaringan dan sinergis.

Sementara "sama-sama kerja" bermakna antara satu satuan pendidikan dengan lainnya sama-sama menerapkan kurikulum wirausaha, walaupun tidak ada koneksi atau jaringan.

Pada akhirnya dua pola kebersamaan itu bertujuan untuk menciptakan percepatan konstruksi dan transformasi sosial kewirausahaan.

Keempat, guru, siswa, dan para pemangku kepentingan kurikulum wirausaha berpikir terbalik. Maksudnya pola pikirnya berkebalikan dengan pola pikir orang kebanyakan.

Jika orang awam melihat botol bekas adalah sampah, maka pemangku kurikulum wirausaha melihatnya sebagai peluang untuk menghasilkan rupiah.

Jika orang awam mengeluh dengan keadaan masyarakatnya, maka pemangku kurikulum wirausaha justru bangga dengan kondisi masyarakatnya.

Pola pikir terbalik ini mendorong perubahan sosial "to lead" (memimpin) dan bukan "to be lead" (pengikut). Logikanya sederhana, ketika ingin mengubah hal biasa menjadi luar biasa, maka mesti berpikir yang luar bisa alias terbalik.

Para pemikir terbalik akan menjadi pemimpin (to lead), sementara para pemikir yang umum akan menjadi pengikut (to be lead).

Jika orang awam berpikir menunda, mengeluh, pesimis, menyalahkan sana sini, maka pola pikir wirausahawan adalah mulai sekarang juga, bangga, optimis, dan selalu mencari solusi.

Kelima, memulai perubahan kurikulum wirausaha ini dengan 3 M (mulai yang kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai sekarang).

Gerakan 3 M ini akan mendorong spiral perubahan yang makin membesar. Jika semula hanya titik kecil, spiral kecil, namun ketika titik itu berputar terus menerus tanpa henti, pasti akan makin membesar.

Kelima tantangan kurikulum kewirausahaan di atas bersifat kolaboratif dan simultan untuk menghasilkan perubahan sosial yang nyata-nyata optimal dalam menyambut bonus demografi.

Dengan menangkap lima tantangan ini, lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional dengan target tercipta satu juta wirausahawan baru pada tahun 2024, kita optimistis upaya ini bisa diwujudkan.

*) Sugiarso adalah Koordinator Papuan Bridge Program di PT Freeport Indonesia, mahasiswa program doktor Universitas Negeri Surabaya (Unesa)


 

Copyright © ANTARA 2023