Jakarta (ANTARA) - Organisasi nirlaba Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menilai Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) tidak relevan dalam memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit meski asosiasi itu berumur hampir 20 tahun.

"Selama 20 tahun atau dua dekade berdiri RSPO sebenarnya telah gagal memenuhi misinya untuk menjadikan industri sawit berkelanjutan," kata Direktur Eksekutif Tuk Indonesia Linda Rosalina dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.
 
Tuk Indonesia memiliki empat catatan terkait keberadaan RSPO yang merupakan organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit tersebut.
 
Pertama, RSPO saat ini tidak bisa diharapkan lagi untuk menyelesaikan kasus masyarakat seperti yang dialami oleh masyarakat adat Kerunang dan Entapang yang berada di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
 
Masyarakat adat Kerunang dan Entapang sedang berkonflik dengan PT Mitra Austral Sejahtera (MAS) anak usaha salah satu grup perusahaan besar di Malaysia.
 
Linda mengungkapkan bahwa keputusan RSPO yang menolak aduan warga Kerunang dan Entapang selama 11 tahun berproses dengan alasan kurangnya bukti itu sangat tidak manusiawi.
 
"Bukannya menindak anggotanya yang melakukan perampasan lahan, RSPO malah membiarkan dan mengabaikan bukti yang dibawa masyarakat berupa hukum adat derasah," ujarnya.
 
Linda mengatakan RSPO justru menafsirkan hukum adat derasah itu secara sepihak dan keliru. Dalam putusan, RSPO menyampaikan bahwa derasah adalah peralihan hak.
 
Tuk Indonesia lantas berkomunikasi dengan masyarakat adat dan para tokoh adat di Kabupaten Sanggau. Mereka menyebutkan bahwa derasah adalah hak sewa, bukan peralihan hak atas tanah dari masyarakat kepada perusahaan.
 
Catatan kedua, isu-isu yang berhubungan dengan kewajiban plasma masih diabaikan oleh anggota RSPO. Misalnya, kasus yang melibatkan warga di Desa Biru Maju, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah yang sedang berkonflik dengan PT Buana Artha Sejahtera (BAS) anak perusahaan PT Sinar Mas.  
 
PT BAS terus mengingkari pembangunan kebun plasma untuk masyarakat. Padahal, perusahaan itu telah beroperasi selama 18 tahun di wilayah tersebut.
 
Berdasarkan regulasi, setiap perusahaan yang mendapatkan izin punya kewajiban untuk membangun kebun plasma bagi masyarakat.
 
Catatan ketiga adalah kecukupan legalitas itu tidak menjadi fokus anggota RSPO. Kasus PT BAS adalah salah satu contoh perusahaan yang tidak memiliki izin secara lengkap dan sampai saat ini perusahaan itu tidak memiliki hak guna usaha (HGU).
 
"Poin keempat atas dasar itulah kami melihat RSPO itu tidak relevan. RSPO tidak dapat berkontribusi terhadap perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia," tegas Linda.
 
Berdasarkan analisis data organisasi nirlaba Pantau Gambut, dari 3,3 juta hektare sawit ilegal yang berada dalam kawasan hutan terdapat 407 ribu hektare terletak pada kesatuan hidrologis gambut dan 84 persen di antaranya berada pada lahan gambut dengan fungsi lindung.
 
Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut Wahyu Perdana mengatakan ada 47 entitas perusahaan anggota RSPO yang beroperasi pada kesatuan hidrologis gambut secara ilegal dalam kawasan hutan.
 
Menurutnya, proses sertifikasi RSPO berpotensi menjadi greenwashing bila tidak dijalankan dengan baik karena yang tertera pada sertifikat tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
 
"Kredibilitas akan hilang kalau tidak ada tindakan terhadap anggota-anggotanya yang melanggar," pungkas Wahyu.

Baca juga: Sertifikasi RSPO di Indonesia meningkat 19 persen

Baca juga: Sebanyak 520 petani sawit siap disertifikasi RSPO lewat Sawit Terampil

Baca juga: Sebanyak 1.870 perusahaan laporkan diri dukung tata kelola sawit


 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023