Saya ditanya hanya seputar-an tadi proses perizinan. Saya jawab sesuai kompetensi saya selaku kepala dinas perizinan
Jakarta (ANTARA) - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini memeriksa Penjabat (Pj) Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariandi sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dengan tersangka Wali Kota Bima periode 2018-2023 Muhammad Lutfi (MLI).

Salah satu materi pemeriksaan penyidik lembaga antirasuah adalah soal penerbitan izin usaha untuk salah satu perusahaan pertambangan lokal.

"Pertanyaan terkait substansi bagaimana proses penerbitan izin dari izin usaha pertambangan operasi khusus PT Tukad Mas General Contructors," kata Gita di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa.

Gita menjelaskan hal tersebut ditanyakan penyidik KPK lantaran saat izin usaha tersebut diterbitkan saat dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB.

"Dikonfirmasi kelengkapan persyaratan di dalam proses penerbitan izin, di mana ada SOP di sana bahwa kita menerbitkan izin itu setelah adanya 'Pertek' (persetujuan teknis) dari dinas dan itu kita kerjakan semua sesuai dengan SOP," ujarnya.

Lebih lanjut Gita mengklaim penyidik KPK tidak menanyakan soal kaitan mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi dengan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu tersebut.

"Saya ditanya hanya seputar-an tadi proses perizinan. Saya jawab sesuai kompetensi saya selaku kepala dinas perizinan," ucap Gita.

Baca juga: Mantan Wali Kota Bima pilih minum obat ketimbang pembantaran KPK

Baca juga: KPK tahan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi terkait rekayasa lelang proyek


Kemudian saat ditanya awak media apakah ada dugaan suap menguap dalam perizinan tersebut, Gita mengatakan hanya Tuhan yang tahu. "Wallahualam (hanya Tuhan yang tahu)," tuturnya.

Lalu Gita Ariandi tiba di Gedung Merah Putih KPK pada Selasa siang dan masuk ke ruang pemeriksaan penyidik KPK pada pukul 12.45 WIB dan selesai diperiksa penyidik pukul 16.24 WIB.

Sebelumnya, pada Kamis (5/10) KPK resmi menahan Wali Kota Bima periode 2018-2023 Muhammad Lutfi (MLI) setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Kasus yang menjerat Lutfi berawal pada sekitar tahun 2019. Saat itu Lutfi bersama dengan salah satu anggota keluarga intinya mulai mengondisikan proyek-proyek yang akan dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima.

Lutfi kemudian meminta dokumen berbagai proyek yang ada di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.

Dengan memanfaatkan jabatannya, Lutfi kemudian memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk membuat berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan proses penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan Wali Kota Bima.

Nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk Tahun Anggaran 2019-2020 mencapai puluhan miliar rupiah.

Baca juga: KPK perpanjang penahanan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi

Lutfi kemudian secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek-proyek dimaksud.

Proses lelang tetap berjalan akan tetapi hanya sebagai formalitas semata, dan faktanya para pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan.

Atas pengondisian tersebut, Lutfi menerima setoran uang Rp8,6 miliar dari para kontraktor yang dimenangkan.

Salah satu proyek yang terlibat dalam perkara tersebut antara lain proyek pelebaran jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di perumahan Oi'Foo.

Teknis penyetoran uang kepada Lutfi dilakukan melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan Lutfi, termasuk anggota keluarganya

Penyidik KPK juga menemukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang oleh Lutfi, dari sejumlah pihak, dan tim penyidik KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut.

Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf (i) dan atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023