Ketika saya berbicara, pasukan kami sedang memasuki Kidal. Ini kedatangan terkoordinasi yang damai -- segala sesuatunya berjalan lancar. Ada lebih dari 150 prajurit Mali,"
Bamako (ANTARA News) - Pasukan Mali memasuki kota Kidal yang dikuasai militan di wilayah timurlaut negara itu, Jumat, kata militer, untuk mengamankan pemilihan presiden yang dijadwalkan berlangsung pada 28 Juli.

"Ketika saya berbicara, pasukan kami sedang memasuki Kidal. Ini kedatangan terkoordinasi yang damai -- segala sesuatunya berjalan lancar. Ada lebih dari 150 prajurit Mali," kata juru bicara militer Souleymane Maiga kepada AFP.

Kidal, sebuah kota yang berharga bagi suku Tuareg, diduduki oleh separatis Gerakan Nasional bagi Pembebasan Azawad (MNLA) sejak akhir Januari.

Namun, gerilyawan sepakat mengizinkan pasukan memasuki kota itu menjelang pemilihan presiden Mali, sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani dengan pemerintah di Ouagadougou, ibu kota Burkina Faso, negara tetangga Mali, pada bulan lalu.

"Lokasi kamp pemberontak telah diketahui. Kami berharap mereka menghormati perjanjian yang ditandatangani," kata Maiga.

Komisi pemilu Mali telah mengungkapkan keraguan mengenai kemungkinan pelaksanaan pemilihan presiden pada tanggal yang diumumkan, 28 Juli.

Ketua komisi itu Mamadou Diamountani mengatakan kepada AFP pada akhir Juni, banyak tantangan yang harus diatasi sebelum pemilu nasional, yang dianggap sebagai langkah penting untuk mengembalikan stabilitas negara Afrika barat yang dilanda perang itu, bisa dilaksanakan.

"Pertama, kami harus mengakui bahwa pembuatan kertas suara masih tertinggal di belakang jadwal. Ini adalah satu-satunya dokumen yang memungkinkan pemilih memberikan suara. Itu bukan saja kartu identitas namun juga kartu pendaftaran pemilih," katanya kepada AFP.

Diamountani mengatakan, akan "sangat sulit" memperoleh delapan juga kartu bagi pemilih di sebuah negara dimana lebih dari 500.000 orang terlantar akibat konflik bersenjata dalam setahun ini.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.

Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.

Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.

Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret 2012 dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Prancis akan mengurangi pasukannya yang berjumlah 4.500 orang menjadi 1.000, dan resolusi PBB mengizinkan Prancis "menggunakan segala cara yang diperlukan" untuk campur tangan ketika pasukan PBB "berada dalam ancaman serius dan segera".

Pasukan Afrika barat yang sudah berada di Mali akan membentuk kekuatan inti dari Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB, yang dikenal dengan singkatan Prancis MINUSMA. Pasukan PBB yang berkekuatan 12.000 orang itu akan menggantikan pasukan Afrika pimpinan Prancis pada Juli.

(M014)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013