teknologi digital dapat meningkatkan produktivitas, inklusi sosial, penyediaan layanan kesehatan, perbankan, hingga pendidikan bagi lebih banyak orang.
Beijing (ANTARA) - Setiap tahun Badan PBB untuk pembangunan (UNDP) merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) negara-negara di dunia.

Skala yang digunakan adalah 0--1. Semakin tinggi skor maka kian baik indeks pembangunannya. IPM sendiri adalah indikator penting untuk mengukur keberhasilan suatu negara dalam membangun kualitas hidup warganya sehingga dapat menunjukkan peringkat pembangunan suatu wilayah atau negara.

Pada 2022, berdasarkan data UNDP, negara dengan IPM tertinggi sepanjang 2022 adalah Swiss di posisi pertama, sementara di urutan 191 atau juru kunci ditempati Sudan Selatan.

Sebagai negara yang terbilang kecil, nyatanya Swiss memiliki daya saing yang unggul dibandingkan dengan negara lain. Melansir dari laporan Global Competitive Index, Swiss memiliki kinerja terbaik dalam hal pelatihan vokasi, on the job training dan juga penyerapan tenaga kerja lulusannya.

Setelah Swis (0,962), berturut-turut adalah Norwegia (0,961), Islandia (0,959), Hong Kong (0,951), Australia (0,951), Denmark (0,948), Swedia (0,947), Irlandia (0,945), Jerman (0,942), dan Belanda (0,941). Indonesia sendiri berada di peringkat 114 dengan skor 0,75.

IPM versi UNDP tersebut mengukur tingkat kesejahteraan (well-being) manusia melalui kapabilitasnya. Tiga ukuran yang digunakan adalah pendidikan (lama sekolah dan rata-ratanya); kesehatan (usia harapan hidu), dan kemakmuran (pendapatan per kapita).

Dalam laporan IPM pada September 2022 menyebutkan penyebab IPM yang rendah yaitu perubahan kondisi Bumi sehingga berbahaya bagi manusia; kedua, transformasi sosial meluas; ketiga perubahan perilaku tak terduga akibat polarisasi politik. Namun bagaimana cara mengatasinya?

Masih dalam laporan yang sama, UNDP menyebut salah satu solusi yang dapat diusahakan oleh umat manusia adalah dengan melakukan inovasi dalam berbagai bidang seperti teknologi, ekonomi, dan kebudayaan agar umat manusia dapat merespons tantangan masa depan.


Tiga tantangan

Penulis buku populer "The End of Poverty" yang juga profesor ekonomi Universitas Columbia Amerika Serikat sekaligus Presiden United Nations Sustainable Development Solutions Network, Jeffrey Sachs, juga menyebut tiga sasaran utama di dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs).
Penulis buku populer "The End of Poverty" yang juga profesor ekonomi Universitas Columbia Amerika Serikat Jeffery Sachs melakukan konferensi video dalam forum "Sustainability Forum 2023: Thriving Together with Tech for Sustainable Development" di Dongguan, provinsi Guangdong, China pada Selasa (21/11/2023). ANTARA/Desca Lidya Natalia


Pertama adalah mengakhiri kemiskinan dan menyediakan kesejahteraan dasar bagi masyarakat; kedua adalah inklusi sosial, artinya kue kesejahteraan mencapai seluruh lapisan masyarakat; dan ketiga, pembangunan bagi manusia dan perlindungan alam serta Bumi.

Artinya bagaimana pembangunan tidak membuat manusia harus memilih harus melakukan aktivitas ekonomi dan menghancurkan lingkungan, begitu juga sebaliknya.

"Sayangnya negara-negara di dunia gagal mencapai tiga tujuan tersebut, bahkan pada 2015 krisis iklim makin parah, jarak yang miskin dan kaya semakin dalam hingga kehancuran keanekaragaman hayati," kata Jeffrey Sachs melalui konferensi video dalam acara "Sustainability Forum 2023" yang diadakan oleh Huawei pada 22 November 2023.

Acara dengan tema "Thriving Together with Tech for Sustainable Development" tersebut adalah yang diselenggarakan perusahaan teknologi dan komunikasi China Huawei untuk menyampaikan capaian korporasi tersebut dalam membangun infrastruktur komunikasi di berbagai negara.

Alasan kegagalan negara-negara, menurut Sachs, karena dua hal yaitu pertama kondisi geopolitik yang terus berkompetisi bahkan berperang.

"Saya menyalahkan negara saya sendiri, Amerika Serikat , yang berperan dalam hal ini. Kita sekarang menghadapi dua perang yaitu Ukraina-Rusia dan Palestina-Israel karena kesalahan arah geopolitik yang malah membuang-buang uang miliaran dolar AS," kata Sachs.

Alasan kedua lebih bersifat teknis dan institusional yaitu belum masuknya teknologi ke negara yang membutuhkan.

"Intinya, teknologi lama tidak bisa mencapai apa yang kita inginkan, kita harus melakukan transformasi dan hal itu dimungkinkan oleh teknologi digital adalah melakukan transformasi energi misalnya jaringan listrik cerdas (smart grid) dengan emisi nol karbon untuk industri manufaktur, kendaraan, hingga peralatan rumah tangga," ungkap Sachs.

Menurut Sachs, teknologi digital dapat meningkatkan produktivitas, inklusi sosial, penyediaan layanan kesehatan, perbankan hingga pendidikan bagi lebih banyak orang.

Meski perusahaan-perusahaan teknologi dan informasi sudah menghadirkan inovasi baru, tantangan selanjutnya adalah bagaimana menghadirkan teknologi tersebut kepada siapa saja baik yang kaya maupun yang miskin.

"Saya berharap kapasitas Huawei yang luar biasa dalam penyediaan jaringan 5G, desain sistem, infrastruktur dan teknologi lainnya dapat dimanfaatkan dalam program berskala besar yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan seperti dalam 'Belt and Road Initiative'," tambah Sachs.

Dalam acara itu Direktur Huawei, Liang Hua menyebut perusahaan teknologi tersebut sudah membantu mewujudkan konektivitas bagi 90 juta orang di wilayah terpencil di hampir 80 negara, 34 dari negara-negara tersebut masuk dalam daftar 46 negara miskin di dunia menurut PBB.

Liang Hua mengutip laporan International Telecommunication Union (ITU) yaitu badan PBB yang fokus pada teknologi informasi dan komunikasi (TIK), berkat perluasan jangkauan jaringan global, hanya 5 persen populasi dunia, atau 400 juta orang, yang tinggal di wilayah tanpa jaringan seluler. Namun masih terdapat kesenjangan penggunaan Internet karena pada akhir September 2023, hampir 2,6 miliar orang, atau sekitar 33 persen populasi dunia, belum pernah menggunakan internet.
Direktur Huawei Liang Hua dalam acara "Sustainability Forum 2023: Thriving Together with Tech for Sustainable Development" di Dongguan, provinsi Guangdong, China pada Selasa (21/11/2023) ANTARA/Desca Lidya Natalia


Kebanyakan dari mereka berasal dari negara-negara berkembang atau masyarakat pedesaan. Di Ghana, misalnya, Huawei dengan pemerintah setempat telah berkolaborasi dalam menyediakan layanan komunikasi dan data kepada 3,5 juta orang di 172 wilayah pedesaan. Hal ini telah meningkatkan konektivitas dari 83 persen menjadi 95 persen.

Selanjutnya di Provinsi Yunnan, China barat daya, peningkatan infrastruktur dan teknologi digital mendukung pengembangan model bisnis baru di Kota Heshun, melalui proyek pariwisata cerdasnya. Proyek itu disebut meningkatkan pendapatan daerah pada 2022 sebesar 5,6 persen menjadi 34,8 miliar yuan.


Riset dan pengembangan

Namun penyaluran teknologi tanpa ada inovasi tidak akan banyak membantu karena perlu ada cara untuk meningkatkan akses teknologi dengan biaya terjangkau kepada lebih banyak orang.

Untuk itu, Huawei pun melakukan investasi besar untuk riset dan pengembangan (RnD). Bahkan pada 2022, dari total pendapatan Huawei yang mencapai 642,338 miliar yuan (sekitar 92,37 miliar dolar AS), sebanyak 25 persen digunakan untuk RnD atau sekitar 161,5 yuan.

Dalam 10 tahun terakhir, Huawei sudah mengalokasikan sekitar 977,3 miliar yuan untuk kebutuhan RnD dan dari jumlah itu, sebesar 55,4 persen digunakan untuk kebutuhan pegawai.

Jumlah tersebut memang naik signifikan khususnya sejak 2019 yaitu saat Kementerian Perdagangan AS mamasukkan Huawei dan 70 perusahaan afiliasinya ke dalam "Daftar Entitas" yaitu perusahaan yang terlarang mendapatkan komponen dan teknologi dari perusahaan-perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.

Pelarangan tersebut memang "memaksa" Huawei harus membuat inovasi onderdil mandiri agar produksi dapat terus berjalan. Tak heran, saat ini Huawei pun menjadi perusahaan keempat terbesar di dunia yang menginvestasikan dananya untuk RnD.

Huawei sendiri memiliki tiga segmen bisnis yaitu infrastruktur TIK misalnya meliputi penyediaan jaringan 5G dan sistem sistem pintar termasuk komputasi awan; penyediaan infrastruktur TIK; serta produk konsumer seperti perangkat pintar (ponsel, TV, kendaraan listrik, jam, kacamata dan lainnya). Belakangan Huawei juga berinvestasi besar untuk pengembangan intelegensia buatan (AI).

Seluruh produk jasa tersebut bisa dipakai di berbagai bidang mulai dari perbankan, perkotaan, kesehatan, pendidikan, lalu lintas, pelabuhan, bandara, perkeretaapian, minyak dan gas, kelistrikan, pertambangan, manufaktur, dan bidang lainnya.

Inti dari "jasa" yang ditawarkan Huawei adalah "sistem cerdas" di suatu bidang. Misalnya, bila suatu kota ingin kemacetan berkurang maka Huawei dapat menyediakan kecerdasan buatan yang dapat memperhitungkan kepadatan di jalan tertentu sehingga menyesuaikan kapan dan berapa lama lampu lalu lintas berwarna hijau atau merah. Begitu juga di pelabuhan, Huawei menawarkan sistem bagaimana tidak ada penumpukan keluar masuk peti kemas di pelabuhan sehingga mengurangi biaya dan waktu tunggu agar ekonomi efisien.

Sementara di bidang keuangan, Huawei menawarkan teknologi penyimpanan data dengan tingkat keamanan tinggi termasuk di bidang kesehatan adalah bagaimana mengakali agar alat-alat rumah sakit menggunakan jaringan nirkabel. Masih ada juga servis untuk mendeteksi polusi udara, kecelakaan lalu lintas, kebocoran pipa, komunikasi satelit, pencurian listrik, kemudahan pembayaran, dan lainnya.

Akhirnya seperti pernyataan pendiri perusahaan teknologi Apple, Steve Jobs "It's not a faith in technology. It's faith in people" (bukan percaya pada teknologi, tapi percaya pada manusia). Jadi semangat untuk melakukan inovasi demi kesejahteraan umat manusia.








 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023