Ubud, Bali (ANTARA) - Mereka yang berkunjung ke berbagai tempat di Bali umumnya akan menemukan sebuah benda persembahan penganut Hindu, yang disebut sebagai canang, yang ditaruh di depan rumah, suatu bangunan, tempat dan pura.

Canang biasanya ditempatkan di dalam wadah seperti metal, besek atau tutup kerajinan anyam sokasi, dengan syarat harus bersih dan baru. Wadah dan canang tidak boleh digunakan jika sebelumnya sudah dipakai orang lain.

Seseorang yang mempersembahkan canang harus membeli atau membuat sendiri.

"Misalkan orang nemu di jalan dipakai tidak boleh. Harus dia beli atau buat sendiri dan baru. Bekas sendiri tidak apa-apa selama tidak dibawa misalnya barang yang dibawa ke pura itu enggak boleh dimasukkan ke kamar dulu," ujar pemandu tur sekaligus warga Bali, Agus dalam sebuah perjalanan yang difasilitasi Airbnb saat ditemui di Pasar Yadnya Blahbatuh, Gianyar, Bali, Jumat (24/11).

Baca juga: BI Bali ingatkan waspadai inflasi dari kenaikan permintaan canang sari


Bersama canang, juga ditaruh lima warna bunga berbeda sesuai arah mata angin. Arah utara diwakili bunga berwarna hitam, yang biasanya diganti ungu, warna merah untuk selatan, timur dengan warna putih atau merah muda, sementara barat umumnya menggunakan bunga marigold.

Terkait bunga untuk canang, pantangan pertama  yakni bukan berasal dari kuburan, mengingat itu merupakan tempat orang mati menuju pengadilan akhir. Selain itu, bunga di kuburan biasanya disebut darah dari sosok yang menjaga kawasan itu.
 
Pemandu tur Agus memperlihatkan canang di Pasar Yadnya Blahbatuh, Gianyar, Jumat (24/11/2023). (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Tetapi, di beberapa tempat, salah satunya Pasar Yadnya Blahbatuh, juga ditemui kopi hitam bersama canang. Bahkan di kedai kopi, pemilik akan menyuguhkan espresso.

Menurut Agus, jenis kopi akan disesuaikan kemampuan seseorang yang mempersembahkan canang yang berarti pilihan kopi antara satu orang lain bisa berbeda.

Lalu apa alasan memasukkan kopi?

Agus mengatakan persembahan kopi bermula dari anggapan turun-temurun bahwa setiap tempat memiliki pemilik sehingga seseorang perlu meminta izin kepada pemilik tersebut. Orang suci yang memberkati termpat itu akan memberi tahu siapa yang tinggal di sana, misalnya apakah anak kecil atau orang tua.

Kopi, kata Agus, biasanya disukai oleh orang tua.

Khusus di pasar, bersama canang juga akan ditaruh jajanan pasar atau biskuit, sesuai kemampuan seseorang yang melakukan persembahan.

Baca juga: Kisah perjuangan "Marit" tangkap sesajen di kawah Bromo saat Kasada

Selain bunga dan kopi, ada juga daun pandan diiris tipis dan dupa sebagai bagian dari persembahan. Agus mengatakan canang menjadi sebuah bentuk untuk menghormati roh di tempat itu, bukannya menyembah Tuhan atau dewa.

Canang juga menjadi wujud rasa syukur kepada dewa-dewa yang menjaga masyarakat selama ini sehingga canang ditempatkan dari lokasi yang terkecil, yakni rumah.

Menurut dia, dewa dan dewi yang berkedudukan di bawah dewa penjaga akan menyebarkan air suci mengelilingi tempat seseorang mempersembahkan canang agar dia selalu bahagia dan sehat.

Canang yang ditempatkan di rumah umumnya sesuai dengan hidangan yang dimakan keluarga yang tinggal di sana. Sebelum disantap, makanan harus dipersembahkan dulu pada dewa dan leluhur.

Kemudian, apa yang terjadi bila seseorang lupa menaruh canang? Dalam kasus Agus, dia akan diberi teguran oleh leluhurnya melalui mimpi atau melalui pertanda lainnya, misalnya mendengar bunyi barang yang jatuh, namun, setelah dicek tidak ada.

"Mudah menemukan spiritual things (kejadian spiritual) di Bali," kata Agus.

Baca juga: Dua kapal pesiar jumbo singgah di Pelabuhan Benoa Bali

Baca juga: Wisata Stadion Dipta yang menambah daya tarik pariwisata Bali

Baca juga: Wellness tourism kian populer, Bobocabin padukan yoga dan alam di Ubud

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Natisha Andarningtyas
Copyright © ANTARA 2023