Jakarta (ANTARA/JACX) – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebar nyamuk Wolbachia untuk menekan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di lima kota Indonesia yakni Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang.

Hal itu sesuai dengan Surat Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Implementasi Wolbachia sebagai Inovasi Penanggulangan Dengue.

Namun, beberapa masyarakat masih menolak penyebaran nyamuk Wolbachia di daerahnya. Salah satunya, sebuah unggahan Facebook menarasikan bahwa nyamuk Wolbachia berbahaya, terutama pada anak-anak dan juga lansia karena bisa menyebabkan radang otak.

Berikut narasi dalam unggahan tersebut:

“Ada yang tahu nyamuk wolbachia? Kalo belum tahu bahaya, bisa menyebabkan radang otak pada anak dan lansia,bukan nyamuk asli tapi sengaja di sebar untuk ya sudahlah, cobak Cari di youtob”

Namun, benarkah nyamuk Wolbachia bisa menyebabkan radang otak pada anak-anak dan lansia?

 

Unggahan hoaks yang menarasikan nyamuk Wolbachia merupakan rekayasa genetik, bisa menyebabkan radang otak pada anak dan lansia. Faktanya, Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa tidak ada rekayasa genetik dalam teknologi Wolbachia dan tidak ada kaitan antara radang otak Japanese Encephalitis dengan teknologi Wolbachia. (Facebook)
Penjelasan:

Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa tidak ada rekayasa genetik dalam teknologi Wolbachia. Wolbachia sendiri adalah bakteri yang hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Wolbachia tidak dapat bertahan hidup di luar sel tubuh serangga dan tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya. Ini merupakan sifat alami dari bakteri wolbachia. Wolbachia sendiri telah ditemukan di dalam tubuh nyamuk aedes albopictus secara alami.

“Bakteri Wolbachia maupun nyamuk sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium. Secara materi genetik baik dari nyamuk maupun bakteri wolbachia yang digunakan, identik dengan organisme yang ditemukan di alam” ungkap Peneliti Universitas Gadjah Mada Prof dr Adi Utarini MSc MPH PhD, dilansir dari laman Kemenkes.

Di Indonesia sendiri, teknologi Wolbachia yang digunakan, diimplementasikan dengan metode “penggantian”, dimana baik nyamuk jantan dan nyamuk betina wolbachia dilepaskan ke populasi alami. Tujuannya agar nyamuk betina kawin dengan nyamuk setempat dan menghasilkan anak-anak nyamuk yang mengandung Wolbachia. Pada akhirnya, hampir seluruh nyamuk di populasi alami akan memiliki Wolbachia.

Wolbachia berperan dalam memblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Akibatnya nyamuk yang mengandung wolbachia, tidak mampu lagi untuk menularkan virus dengue ketika nyamuk tersebut menghisap darah orang yang terinfeksi virus dengue. Mengingat bahwa wolbachia terdapat dalam telur nyamuk, maka bakteri ini akan diturunkan dari satu generasi nyamuk ke generasi berikutnya. Akibatnya, dampak perlindungan wolbachia terhadap penularan dengue bersifat berkelanjutan (sustainable).

Terkait Wolbachia menyebabkan radang otak, Peneliti dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Prof Dr Adi Utarini MSc MPH PhD, mengatakan tidak ada kaitan antara radang otak Japanese Encephalitis dengan teknologi Wolbachia, seperti yang sudah diberitakan ANTARA.

Klaim: Nyamuk Wolbachia merupakan rekayasa genetik, bisa menyebabkan radang otak pada anak dan lansia

Rating: Hoaks

Cek fakta: Hoaks! Nyamuk Wolbachia membawa virus LGBT

Cek fakta: Hoaks! Nyamuk Wolbachia akan menjadi pandemi kedua

Baca juga: Kemenkes gelontorkan Rp16 miliar untuk uji coba nyamuk ber-Wolbachia

Pewarta: Tim JACX
Editor: Indriani
Copyright © ANTARA 2023