Pangkalpinang (ANTARA) - Pajanan rokok merupakan masalah yang sangat serius bagi kesehatan, terutama bagi balita. Anak yang terpapar asap rokok berpotensi lebih tinggi mengalami tengkes atau kondisi gagal tumbuh.

Tengkes atau stunting ini merupakan kondisi anak memiliki pertumbuhan melambat, sehingga anak menjadi lebih pendek dari anak-anak seusianya. Anak dengan kondisi ini berisiko lebih tinggi mengalami penyakit kronis,  seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung di kemudian hari.

Kondisi tengkes ini ditandai dengan status gizi tidak baik, tidak hanya disebabkan pajanan rokok, tetapi juga asupan makan atau gizi dan status kesehatan anak atau penyakit yang dialami anak tersebut.

Selain itu, kemiskinan dapat memperburuk ketengkesan karena dapat mengurangi daya beli terhadap bahan makanan bergizi. Sementara status kesehatan anak dapat dipengaruhi oleh kondisi sanitasi yang buruk, seperti kondisi rumah, akses air bersih, fasilitas jamban yang kurang sehat.

Selain itu, fasilitas sanitasi juga dipengaruhi oleh perilaku yang kurang sehat, seperti tidak cuci tangan, kebersihan pribadi, buang air besar sembarangan, buang sampah sembarangan, merokok di dalam rumah dan minum alkohol.

Tanpa disadari, pajanan rokok ini bisa terjadi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pajanan langsung adalah ketika anak-anak terpapar asap rokok karena orang dewasa merokok di dekatnya, sedangkan pajanan tidak langsung adalah ketika anak-anak terpapar asap rokok dari udara yang terkontaminasi di sekitarnya.

Asap rokok mengandung lebih dari 7.000 bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Beberapa bahan kimia tersebut dapat merusak organ tubuh dan menyebabkan kerusakan pada sel-sel tubuh.

Selain itu, asap rokok juga mengandung karbon monoksida yang dapat menghambat oksigen yang masuk ke dalam darah.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dr. Feni Fitriani Taufik mengatakan Rumah Sakit Persahabatan pernah ada penelitian pada bayi. Ada tiga kelompok bayi yang dilahirkan, yakni dari ibu yang tidak merokok, ibu yang jadi perokok pasif dan ibu perokok aktif.

Hasilnya didapatkan bahwa pada plasenta bayi dengan ibu perokok aktif dan pasif itu sama-sama ditemukan nikotin. Kemudian dari waktu lahir pun panjang badan dan berat badan bayi jauh lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.

Jadi, pajanan rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir, tetapi di dalam kehamilan pun itu sudah sangat berpengaruh kepada bayi yang dikandung.

Rokok dapat menimbulkan residu nikotin dan bahan kimia berbahaya lainnya yang ditinggalkan asap rokok, atau disebut dengan secondhand smoke dan thirdhand smoke. Secondhand smoke adalah asap rokok yang dilepaskan oleh perokok kemudian dihirup oleh orang-orang di sekitarnya.

Sementara thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok. Umumnya tidak terlihat, tapi berbahaya, bukan hanya asap, tapi residu dari orang yang merokok yang menempel, terutama di dalam rumah, seperti gorden, karpet, dan sofa. Tentunya itu mengandung kimia berbahaya jika terhirup oleh orang-orang yang ada di rumah, seperti balita.

Berdasarkan penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia pada 2018, balita yang tinggal dengan orang tua perokok tumbuh 1,5 kilogram lebih kurang dari anak-anak yang tinggal dengan orang tua bukan perokok.

Dalam penelitian tersebut juga disebutkan 5,5 persen balita yang tinggal dengan orang tua perokok punya risiko lebih tinggi menjadi tengkes.

Kalau berbicara stunting, secondhand smoke dan thirdhand smoke menyebabkan beban ekonomi keluarga akan berlipat, sebab perkembangan anak terganggu. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 menjelaskan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak dari pada pengeluaran untuk kebutuhan protein di keluarga.

Data dari Global Adult Tobacco Survey, setiap bulannya orang dewasa dalam keluarga dapat mengeluarkan biaya Rp382.000 untuk membeli rokok. Karena itu, keluarga-keluarga Indonesia sebaiknya mengalihkan belanjanya dan melakukan prioritas ulang pengeluarannya bukan untuk rokok.

Hal itu bisa dialihkan untuk membeli protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak untuk tumbuh supaya tidak tengkes.

Tengkes pada anak dapat menyebabkan dampak yang sangat serius bagi kesehatan dan perkembangan anak. Anak yang mengalami stunting memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung di kemudian hari.

Selain itu, stunting juga dapat mempengaruhi perkembangan otak dan kognitif anak, sehingga anak menjadi kurang pintar dan kurang mampu belajar.

Jika ingin berkontribusi untuk mencegah stunting atau mempercepat penurunan stunting, para orang tua tidak usah merokok dan lebih baik gunakan uangnya untuk membeli protein hewani, seperti daging, ikan, ayam, dan telur.

Selain itu, untuk mencegah pajanan rokok pada anak, orang dewasa harus berhenti merokok atau tidak merokok di dekat anak. Orang dewasa juga harus memastikan bahwa anak-anak tidak terpapar asap rokok dari lingkungan sekitarnya.

Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga anak-anak dari lingkungan yang terpapar asap rokok, seperti tempat-tempat umum yang diizinkan untuk merokok.

Pajanan rokok dapat menyebabkan stunting pada anak-anak dan stunting dapat menyebabkan dampak yang sangat serius bagi kesehatan dan perkembangan anak.

Oleh karena itu, orang dewasa harus memastikan bahwa anak-anak tidak terpapar asap rokok dari lingkungan sekitarnya. Hal ini sangat penting untuk menjaga kesehatan dan perkembangan anak-anak di masa depan. Selain itu, dampak jangka panjang bagi anak yang menderita stunting adalah berkaitan dengan kualitas SDM suatu negara.

Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa, jika stunting tidak segera diatasi, hal ini tentunya akan menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa yang akan datang.

*) dr Cindy Herno Chrysela adalah dokter umum Puskesmas Tanjungpandan, Belitung

 

Copyright © ANTARA 2023