sepak bola memang menghibur, lantas pertanyaan lanjutannya, apakah dengan begitu kepercayaan diri timnas Indonesia dikorbankan?
Jakarta (ANTARA News) - "Carpe diem" (pakailah dan nikmatilah kesempatan yang sekarang ini ada). Silakan nikmati, terus nikmati, meminjam ujaran citarasa ngepop, enjoy aja, bro!

Ibaratnya, tutup mata dengan penampilan tim negeri awak yang jebol tujuh gol tapa balas ketika coba-coba meladeni salah satu raksasa sepak bola asal Liga Inggris (Premier League), Arsenal.

Enjoy aja, bro! Imbauan itu dilontarkan puluhan ribu penggemar fanatik Arsenal yang disebut sebagai "Gooners". Di hamparan layar raksasa bernama Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu malam, ribuan gooners merayakan paduan suara sukacita.

"The Gunners" di bawah asuhan pelatih kawakan Arsene Wenger bukan sebatas menghibur melainkan memberi sebuah "happening" kalau itu sebuah karya seni, karena ia menyajikan seni teater sepak bola dan memanggungkan seni olah visual.

Dalam happening ada derajat spontanitas, karena itu seni digenjot terus-menerus sebagai energi yang terus bergerak.

Layaknya sepak bola, ada spontanitas penonton atau penggemar yang terus didongkrak dan dihidup-hidupkan. Tujuannya, agar mereka bersedia terus enjoy, meski mereka -baca ribuan gooners- perlu merogok kocek dalam-dalam dengan membayar harga tiket puluhan sampai ratusan ribu rupiah.

Mereka enjoy, bro, karena ingin menonton aksi tim kesayangannya, meski situasi negeri ini sedang diterpa kenaikan harga barang buntut dari penaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Mereka datang dengan pernik-pernik aksesori dari bando kerlap-kerlip bertuliskan "Arsenal" sampai kostum kebesaran The Gunners bertuliskan nama-nama pemain klub itu.

Wenger yang berjuluk "Sang profesor" menurunkan sederet pemain yang telah begitu akrab dengan pancaindra ribuan gooners lewat media tayang televisi dan internet serta serbaneka media sosial.

Di bawah mistar gawang dipasang Lukas Fabianski (21), di lini pertahanan ditaruh Bacary Sagna (nomor punggung 3), Per Mertesacker (4), Laurent Koscielny (6), dan Kieran Gibbs (28). Di lini gelandang, diturunkan Lukas Podolski (9), Tomas Rosicky (7), dan Aaron Ramsey (16), tak ketinggalan Mikel Arteta (8). Di lini depan, diletakkan Theo Walcott (14), Alex Oxlade-Chamberlain (23), dan Olivier Giroud (12).

Layaknya penonton dari sebuah happening seni yang bereaksi spontan dalam teater sepak bola, ribuan gooners bersorak sorai membahana begitu satu per satu gol merobek jala kiper Tim Impian Indonesia (TII), Kurnia Meiga. Ketujuh gol Arsenal dilesakkan oleh Walcott di babak pertama, dan enam gol di babak kedua dicetak oleh Chuba Akpom (menit ke-58), Podolski (87), Gedion Zelalem (89), Thomas Eisfeld (90), an dua gol masing-masing dari Olivier Giroud (76 dan 79).

Setiap kali punggawa Arsenal mengalirkan bola ke jantung pertahanan TII, sejumlah gooners yang duduk bersebelahan bergumam, "Wah...masuk lagi tuh." "Woo, mau berapa gol malam ini. Giroud emang oke!"

Sedari Minggu petang, meski laga baru dimulai pukul 21.45 WIB, ribuan gooners ngantre di mulut pintu masuk stadion. Antrean mengular, seraya sesekali mengemukakan siapa pemain Arsenal yang bakal diturunkan juru taktik Wenger. Mereka saling update warta terbaru mengenai tim kecintaannya itu.

Begitu masuk stadion, aneka spanduk bertuliskan jati diri dan asal gooners tergantung di podium atas, ada yang datang dari Jakarta, Bogor, Bandung, bahkan Singapura.

Atmosfer Senayan, memerah dengan kostum The Gunners, padahal malam itu anak kandung kubu Emirates Stadium mengenakan kostum atasan kuning, dan celana biru, kaos kaki biru strip kuning.

Energi ribuan gooners begitu melimpah ruah. Dan Wenger menangkap kemudian membaca teks berjudul gooners di Senayan itu dengan nada seorang dosen yang membawa diktat mengenai cara taktis bermain sepak bola ala Liga Inggris.

"Saya puas dengan pertandingan ini. Pertandingan tadi baik untuk kami, terutama pemain-pemain muda kami. Laga ini juga bagus untuk pemain sebelum kompetisi," katanya. "Saya tidak bisa menilai tim Indonesia hanya dari satu pertandingan saja. Tetapi jelas bedanya, `power` tim Indonesia kurang."

Sementara, pelatih TII, Jacksen F Tiago menyoroti kepercayaan diri para pemain pada laga malam tadi. "Terlihat anak-anak terlalu respek dengan nama besar Arsenal, maka itu, saya bilang tim kami harus melawan tim yang selevel, supaya anak-anak bisa lebih percaya diri."

Jelas, bahwa pengalaman tujuh gol tanpa balas dari Arsenal ini bukan sebatas pelajaran, melainkan lebih menakar dan memelihara kepercayaan diri tim secara keseluruhan. Implikasi dari pernyataan pelatih Tiago, silakan mencari lawan tanding yang setimpal, di satu pihak.

Di lain pihak, sepak bola memang menghibur, lantas pertanyaan lanjutannya, apakah dengan begitu kepercayaan diri timnas Indonesia dikorbankan?

Ini bukan sebatas mencari pengalaman bertanding bagi timnas Indonesia, tetapi pertimbangannya lebih kepada membangun kepercayaan dan citra diri para pemain menghadapi lawan setimpal kelas regional, misalnya China, Singapura, Malaysia, Filipina, bahkan Australia.

Membangun timnas yang kuat dan tangguh tidak bisa lepas dari cara mendidik yang menawarkan bukan sebatas pertimbangan menghibur saja melainkan menyampaikan gagasan yang berterima bagi pecinta timnas negeri ini, mengingat pada dasarnya masyarakat dewasa ini bergerak menuju masyarakat "penonton" (the society of spectacle).

Faktor inilah yang besar kemungkinan dimanfaatkan dan didongkrak dalam euphoria kedatangan Arsenal, Liverpool, dan Chelsea ke Indonesia. Dan layar raksasa dari tim elite Liga Inggris itu, yakni Asia, termasuk Indonesia, Vietnam, Jepang.

Kondisi ini diharapkan tidak terulang ketika TII menghadapi Liverpool (20 Juli) dan Chelsea (25 Juli). Apakah pecinta timnas untuk kali ketiga bakal menyaksikan timnas kesayangannya dijadikan bulan-bulanan tim elite Liga Inggris?

Salah seorang personel dari asosiasi suporter Arsenal di Indonesia disebut-sebut pernah melobi sejumlah klub elite Liga Inggris untuk bisa datang dan bertanding ke negara berpenduduk 240 juta yang "gila sepak bola".

"Saya mengatakan kepada mereka, bahwa tim anda punya banyak pendukung di Indonesia. Mengapa anda tidak datang ke sini?" katanya. "Kami telah menjual 15.000 tiket bagi para pendukung Arsenal dan saya begitu bersemangat."

Bukan rahasia umum lagi bahwa, sejumlah klub elite Liga Inggris menggelar laga pramusim ke sejumlah negara Asia untuk mendulang pendapatan tambahan, karena pasar Asia demikian menggiurkan.

Kali terakhir Arsenal berkunjung ke Indonesia pada 1983. Selain itu, ada Chelsea dan Liverpool. Manchester United menjadi tim pionir yang menggelar tur pramusim ke Asia dengan berkunjung ke Hong Kong, Jepang dan Thailand.

"Lima tahun belakangan ini, minat ke Asia demikian membuncah," kata profesor bisnis olah raga di Universitas Coventry, Simon Chadwick sebagaimana dikutip dari majalah Financial Times.

"Lambat laun, perubahan harus terjadi ketika menyikapi hal itu. Ini bukan sebatas klub-klub sepak bola, yang menawarkan serangkaian hiburan," katanya.

Pernyataan itu, salah satunya merujuk kepada jumlah follower pendukung Manchester United (MU) di Indonesia yang diklaim mencapai lebih dari 50 juta orang. Dengan begitu, fokus klub terarah kepada pembangunan dan pengembangan media sosial dengan ditopang jumlah penjualan pernik dan jersey klub.

Sementara kepada pemasaran Arsenal, Charles Allen mengatakan, klub akan terus menunjuk dan mengarah kepada "pasar anak muda yang tepat".

Allen kemudian menyodorkan sebuah strategi salah satunya dengan menciptakan nilai tambah dari sponsor klub yang berkaitan dengan produk-produk dagang asal negeri mereka sendiri, utamanya terarah ke China dan pasar Asia. Ini bagian dari "ekspansi Barat" dengan mengatasnamakan sepak bola sebagai mata uang universal.

Ia mengatakan, "Di Arsenal, kami memang berusaha menjangkau pasar terbatas saja, kami punya bisnis berskala kecil di London.Tur pramusim biasanya kami gunakan sebagai kesempatan bertemu dengan fans setia dan membangun citra klub di bagian dunia lain."

Yah, apapun komentar mereka mengenai turpramusim klub elite Liga Inggris itu, juga Arsenal, para pemasar memahami bahwa di tengah serba buntu dan serba absurd situasi negeri di berbagai kawasan Asia, termasuk Indonesia (?), ada peluang berjualan karena masyarakat merasa "bosan", "tidak mengerti", atau "tidak bisa menikmati" lagi drama kehidupan.

Mengapa bosan, tidak mengerti, dan ujung-ujungnya tidak bisa menikmati drama kehidupan? Filsuf Roland Barthes menjawab, merasa bosan berarti orang tidak memproduksi teks, tidak dapat memainkannya, menyingkapnya, dan membuatnya "jalan".

Ya itu tadi, nikmati saja bro, laga sepak bola..., karena sepak bola adalah teater dari dunia permainan. Sama halnya ketika orang setelah menyaksikan tayangan film yang sarat horor, maka ia dapat berujar, "Ah...itu hanya film!"

Ah, itu hanya sepak bola, nikmati saja bro. Dan ujaran klasik Latin berlaku, "veni, vidi, vici" (aku telah datang, aku telah melihatnya, dan aku telah memenanginya).
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2013