Juga komoditas strategis lain seperti kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga bawang putih,"
Jakarta (ANTARA News) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa merombak tata niaga impor pangan nasional karena ada ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan sehingga rawan praktik spekulasi serta kartel.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur mentatakan selama ini pangan nasional tidak seimbang karena tingginya permintaan sementara pasokannya kurang, demikian siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Rabu.

Kadin berharap Menko Perekonomian bisa merombak tata niaga pangan ke arah yang tepat, terutama komoditas pangan yang strategis seperti gula konsumsi/rafinasi yang memerlukan dibukanya pabrik-pabrik baru.

"Juga komoditas strategis lain seperti kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga bawang putih," katanya.

Berdasarkan catatan Kadin, potensi kartel dari enam komoditas strategis seperti daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras nilainya mencapai Rp11,34 triliun. "Nilai potensi kartel ini belum termasuk dengan komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan," katanya.

Dia mengatakan dari kebutuhan daging sapi yang mencapai 340 ribu ton, nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp340 miliar. Sementara dari kebutuhan daging ayam sebesar 1,4 juta ton, nilai kartelnya diestimasi mencapai Rp1,4 triliun.

"Gula 4,6 juta ton mencapai Rp4,6 triliun, kedelai 1,6 juta ton mencapai Rp1,6 triliun, jagung 2,2 juta ton mencapai Rp2,2 triliun dan beras impor 1,2 juta ton, kartelnya diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun," katanya.

Menurut dia, gambaran seperti itu diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi dan perdagangannya.

Dari sisi pengelolaan kebijakan pangan oleh pemerintah dinilainya masih sangat sentralistik karena Kemendag, Kementan dan Kemenperin tidak menyerahkan kebijakan tata niaga pangan ke pemda yang menurut dia, lebih mengetahui kebutuhan pangan di daerahnya.

"Kontrol DPR terhadap pangan ini juga lemah, sehingga perlu DPR memberikan sanksi kepada Kementerian yang tidak dapat menjaga kenaikan pangan yang berdampak ke rakyat. Sanksinya bisa berupa pengurangan anggaran di Kementerian itu," kata Natsir yang juga merupakan Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti).

Selain itu, kata dia, tidak adanya logistik pangan ikut menyebabkan persoalan pangan nasional sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan Kemendag dan Kementan cenderung spekulatif dan data pangan menjadi tidak tepat dan akurat.
(A064/A013)

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013