Dunia telah ditawan oleh para pemegang hak veto, khususnya Amerika Serikat. Sungguh lingkungan politik global yang toksik.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Duta Besar Uni Emirat Arab untuk Perserikatan Bangsa Bangsa Mohamed Abushahab khawatir dunia tak lagi memiliki pegangan moral setelah Amerika Serikat memveto rancangan gencatan senjata di Jalur Gaza.

"Pesan apa yang kita sampaikan kepada warga sipil di seluruh dunia yang mungkin mengalami situasi serupa?," tanya Mohamed Abushahab, di depan sidang Dewan Keamanan PBB di New York, sehari lalu.

Ketika AS memveto prakarsa gencatan senjata yang tujuannya justru untuk menyelamatkan warga sipil, menghindarkan pembumihangusan total sebuah wilayah, dan merawat kehidupan, maka di masa berikutnya dunia tak akan lagi bisa berbuat apa-apa jika keadaan serupa terjadi di tempat lain dan di masa lain.

Bagaimana jika peristiwa yang terjadi di markas besar PBB di New York pada Jumat 8 Desember itu menjadi preseden bagi negara besar lain untuk melakukan pembumihangusan dan pengusiran paksa warga sipil seperti terjadi di Gaza, tanpa takut dikoreksi oleh dunia.

Misalnya, bagaimana jika serangan habis-habisan Rusia dengan membombardir Ukraina tanpa membedakan mana warga sipil dan mana tidak? Dunia mungkin tak lagi punya alasan moral untuk menghentikannya.

Jumat sore itu di New York, 13 anggota Dewan Keamanan PBB mendukung rancangan resolusi yang diajukan Uni Emirat Arab. Amerika Serikat menentang, sedangkan Inggris abstain.

Dewan Keamanan PBB beranggotakan 15 negara. Sepuluh di antaranya adalah anggota tidak tetap, sedangkan lima lainnya anggota tetap berhak veto yang terdiri atas Amerika Serikat, Inggris, China, Prancis, dan Rusia.

Rancangan resolusi itu sendiri diajukan setelah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggunakan posisinya seperti dijamin Pasal 99 Piagam PBB bahwa ketika perdamaian dunia terancam maka Sekretaris Jenderal PBB wajib mengingatkan hal membahayakan itu kepada Dewan Keamanan PBB.

Juru Bicara PBB Stephane Dujarric menyatakan untuk kali pertama sejak menjabat Sekretaris Jenderal PBB pada 2017, Guterres memakai Pasal 99 untuk mengartikulasikan sikap dan pandangannya mengenai situasi dunia yang dianggapnya sudah sangat membahayakan perdamaian.

Guterres mungkin sudah tidak tahan atas impotensi Dewan Keamanan yang selalu menghalangi prakarsa damai dan solusi menyeluruh di Gaza dan Palestina.


Bagai pinball

Guterres pun menyurati Presiden Dewan Keamanan PBB, yang Desember ini giliran dijabat Ekuador. Surat dikirimkan kepada Presiden Dewan Keamanan PBB di New York, Rabu pagi pekan ini.

Dalam suratnya, Guterres mengatakan pertempuran Gaza yang sudah berlangsung lebih dari 8 pekan telah “menciptakan penderitaan manusia yang mengerikan, kehancuran fisik dan trauma kolektif di seluruh Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina."

Tak mau dianggap berpihak, Guterres mengutuk serangan Hamas dan kaum militan Palestina yang dengan brutal telah membunuh lebih dari 1.200 orang pada 7 Oktober.

Guterres juga mengungkapkan sekitar 15 ribu warga sipil Gaza tewas akibat serangan Israel di Gaza. Sekitar 40 persen dari jumlah korban tewas di Gaza itu anak-anak. Tercatat 80 persen penduduk Gaza, atau sekitar 1,1 juta orang, terpaksa mengungsi ke kamp-kamp pengungsian PBB.

Dia mengatakan sudah tak ada tempat yang aman untuk warga sipil Gaza, sekalipun Gaza Selatan. Padahal Israel meminta warga Gaza pindah dari utara untuk menghindari serangan militernya. Bahkan, rumah sakit sudah berubah menjadi medan perang.

Rakyat Gaza bolak balik diperintahkan pindah sampai Guterres mengibaratkan warga Gaza dengan bola pinball yang bolak balik memantul dari satu penampungan ke penampungan yang menyempit tanpa ada kebutuhan pokok yang membuat manusia bisa bertahan hidup.

Situasi itu membuat mustahil meningkatkan skala bantuan kemanusiaan, padahal sejuta lebih warga Gaza sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan ini. Warga Gaza bahkan terancam diserang epidemi karena situasi kesehatan yang buruk.

Diplomat asal Portugal itu pun mengulangi seruannya agar gencatan senjata kemanusiaan segera diumumkan. "Ini penting. Penduduk sipil harus terhindar dari bahaya yang lebih besar," tandas dia.

Para mantan Sekretaris Jenderal PBB seperti Kofi Annan dan Dag Hammarskjold mendukung seruan Guterres itu.

Hammarskjold sendiri mengaktifkan Pasal 99 pada 1960 ketika merespons kekerasan di Kongo yang memicu pengerahan 20 ribu tentara pasukan perdamaian PBB di sana.


Harus direformasi

Namun seruan Guterres itu dianggap sepi oleh Amerika Serikat, bahkan Israel dengan pongah menyebut Guterres telah berpihak kepada Hamas. Kedua negara menganggap usul Guterres itu hanya akan menguntungkan Hamas.

Alhasil, resolusi itu diveto Amerika Serikat, seperti sudah diperkirakan dari awal. Bagian terbesar dunia pun mengecam veto ini.

Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Robert Wood, menyebut rancangan resolusi itu terburu-buru dan memuat teks tak seimbang yang tak sesuai dengan realitas, serta menjadi bibit untuk perang berikutnya.

Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward berdalih bahwa negaranya abstain karena rancangan resolusi itu tak memasukkan kalimat yang mengutuk Hamas.

Negara yang paling getol berkoar-koar tentang hak asasi manusia itu sudah dibutakan oleh pemihakan totalnya kepada Israel, sampai suara seorang Sekretaris Jenderal PBB yang seharusnya dihormati pun, ditolak mentah-mentah.

Kini, jika konflik Gaza berkepanjangan dan meluas ke mana-mana, maka hanya dua pihak yang harus disalahkan, yakni Amerika Serikat dan Israel.

Kemudian, apa yang terjadi pada rancangan resolusi gencatan di Gaza yang diinisiasi Sekjen PBB itu kian menguak fakta mengenai semakin lemahnya badan dunia itu. Bukan karena dunia tak mau mencapai konsensus, melainkan akibat segelintir anggota yang memiliki kekuasaan lebih tapi tak menggunakannya untuk kepentingan mayoritas.

Dunia telah ditawan oleh para pemegang hak veto, khususnya Amerika Serikat. Sungguh lingkungan politik global yang toksik. Sebuah orkestra politik global yang rusak oleh suara sumbang Amerika Serikat. Sebuah tatanan yang harus segera direformasi oleh dunia.

Tanpa badan internasional yang efektif, dunia harus siap menerima kenyataan bahwa hukum milik pihak yang paling kuatlah yang akan berlaku selamanya. Ini bukan lagi hukum internasional. Ini sudah hukum rimba.










 

Copyright © ANTARA 2023