Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (Kemenko PMK) menyebut isu-isu terkait kesehatan mental seharusnya menjadi salah satu isu sentral seperti halnya stunting karena berhubungan dengan sumber daya manusia Indonesia.

"Kesehatan mental ini harus sebagai isu sentral seperti halnya stunting," ujar Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kemenko PMK Nancy Dian Anggraeni dalam Semiloka Darurat Kesehatan Mental Masyarakat di Jakarta, Selasa.

Nancy mengatakan kesehatan jiwa atau mental sebagai kesatuan kesehatan menjadi hak dasar bagi setiap individu yang harus dipenuhi. Saat ini masalah kesehatan jiwa di Indonesia masih memerlukan perhatian bersama.

Hal tersebut, kata dia, karena beban penyakit yang cukup tinggi serta kapasitas layanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang masih belum memadai dan mampu menjangkau seluruh populasi kelompok rentan.

"Beberapa kebijakan mencegah timbulnya masalah dan gangguan kesehatan jiwa telah dilaksanakan oleh beberapa stakeholder. Namun perlu upaya-upaya penguatan agar angka-angka permasalahan kesehatan jiwa tidak bertambah dan bisa menurun," kata dia.

Baca juga: Psikolog: Tiap orang perlu tanamkan pikiran positif saat situasi COVID

Berdasarkan data Riskesdas (2018) menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional (GME) usia di bawah 15 tahun sebesar 9,8 persen atau 1 dari 10 orang mengalami GME.

Kemudian prevalensi depresi usia 15 tahun ke atas sebesar 6,1 persen lebih tinggi dari rerata dunia yang hanya 3,8 persen. Hal ini, kata dia, setara dengan 1 dari 16 orang mengalami depresi.

"Lalu prevalensi gangguan jiwa berat sebesar 0,18 persen atau setara dengan hampir 2 dari 1.000 orang mengalami gangguan tersebut," katanya.

Selain itu, data Indonesia Drugs Report menunjukkan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba pada 2021 meningkat menjadi 1,95 persen atau hampir 3,7 juta jiwa dari tahun 2019 sebesar 1,8 persen.

Bahkan pada kelompok usia anak menurut UNICEF, 2 dari 3 anak usia 13-17 tahun pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan, 2 dari 5 anak usia 15 tahun pernah mengalami perundingan setidaknya beberapa kali dalam sebulan.

Hasil penelitian Indonesia-National Adolescent Mental Survey (I-NAMHS) 2021 menunjukkan prevalensi gangguan cemas pada remaja (10-17 th) sebesar 3,7 persen dan 1,4 persen remaja memiliki pikiran untuk bunuh diri dalam 12 bulan terakhir.

Sementara kapasitas pelayanan kesehatan untuk kesehatan jiwa masih terbatas. Saat ini rasio jumlah tenaga kesehatan jiwa seperti psikiater, psikolog klinis, perawat jiwa masih di bawah rasio yang ditetapkan WHO.

Rasio psikiater di Indonesia 1 berbanding 223.587 sedangkan standar WHO 1 berbanding 30.000, rasio psikolog klinis 1 berbanding 81.468, sedangkan standar WHO berbanding 1:30.000.

"Serta sebarannya pun tidak merata, hanya terpusat di Pulau Jawa. Demikian juga dengan fasilitas kesehatan untuk layanan kesehatan jiwa masih perlu peningkatan karena 4 (Gorontalo, Papua, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara) dari 34 provinsi belum memiliki RSJ sedangkan RSU dengan layanan psikiatri terbatas hanya 318 dari 720 RSUD," kata dia.

Melihat data tersebut, kata dia, selain upaya yang sifatnya menyiapkan sumber daya untuk penanganan dan mengatasi permasalahan jiwa, perlu dilakukan upaya hulu yakni pencegahan terjadinya permasalahan kesehatan jiwa.

"Hal ini sejalan dengan upaya menciptakan generasi unggul yang sehat, tangguh, produktif, dan mampu bersaing dalam menuju Indonesia maju di tahun emas 2045," kata dia.

Baca juga: Gangguan Kejiwaan Dijamin BPJS Kesehatan
 

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2023