Pemilahan dan pemilihan buku yang tepat turut menjadi kunci dalam meningkatkan literasi.
Jakarta (ANTARA) - Menjadi negara maju dan beradidaya merupakan impian seluruh bangsa di dunia, tak terkecuali Indonesia. Belasan ribu pulau dengan sekitar 280 juta manusia di dalamnya menjadi modal besar dalam meraih cita-cita yang itu.

Bahkan kondisi Indonesia sangat diuntungkan dengan adanya bonus demografi yaitu jumlah penduduk usia produktif yang sangat besar. Fenomena tersebut membuat sisi pembangunan bangsa akan bergerak lebih cepat.

Namun tidak serta merta penduduk usia produktif mampu mengantarkan Indonesia meraih kesejahteraannya. Perlu persiapan matang jangka panjang untuk membekali para generasi muda.

Dalam hal ini, aspek pendidikan merupakan satu-satunya jalan untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berdaya saing. Tak hanya untuk usia produktif, bahkan pendidikan yang baik harus disiapkan bagi generasi muda.

Persiapan pendidikan pun tidak melulu hanya soal pembelajaran di kelas. Banyak aspek lain yang menjadi penunjang penting dalam membekali para generasi muda untuk mampu berkontribusi meraih cita-cita Indonesia Emas.

Membuat kondisi yang nyaman dan aman, sistem pendidikan yang senantiasa mengikuti perkembangan zaman, hingga bekal literasi yang mumpuni merupakan contoh penting untuk menghasilkan SDM berkualitas.

Terobosan Pemerintah untuk mengejar target tersebut dilakukan melalui inovasi dalam pendidikan Indonesia yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan minat belajar siswa sekaligus meningkatkan kreativitas guru dalam proses belajar dan mengajar.

Inovasi itu diwujudkan melalui peluncuran Kurikulum Merdeka oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada Februari 2022 yang di dalamnya meliputi beberapa episode dengan program yang disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia.

Sampai sekarang, Kurikulum Merdeka sudah menginjak Episode Ke-26 dengan Episode Ke-23 sampai Episode Ke-26 khusus dirilis tahun ini, yaitu tentang peningkatan literasi, transisi PAUD, pelindungan dan pencegahan kekerasan seksual, hingga transformasi pendidikan tinggi.

Peluncuran masing-masing episode yang berbeda-beda namun saling terkait tersebut tetap sesuai dengan struktur Kurikulum Merdeka yang didasari tiga hal meliputi berbasis kompetensi, pembelajaran yang fleksibel, dan karakter Pancasila.


Merdeka Belajar mendongkrak literasi

Program Merdeka Belajar Episode Ke-23: Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia merupakan terobosan untuk meningkatkan kompetensi literasi para peserta didik di Indonesia.

Program itu fokus pada pengiriman buku bacaan bermutu untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD) yang disertai dengan pelatihan bagi guru terkait cara memanfaatkan buku dengan benar agar lebih berdampak positif bagi siswa.

Peluncuran Merdeka Belajar Episode Ke-23 sendiri diwujudkan untuk menjawab tantangan rendahnya kemampuan literasi anak-anak akibat kurangnya kebiasaan membaca sejak dini karena masih belum tersedianya buku bacaan yang menarik minat peserta didik.

Berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021, Indonesia mengalami darurat literasi yakni satu dari dua peserta didik jenjang SD sampai SMA belum mencapai kompetensi minimum literasi.

Fakta lain yang ditunjukkan dari hasil AN adalah terdapat kesenjangan pada kompetensi literasi karena cukup banyak sekolah terutama di kawasan terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) yang memiliki peringkat literasi dan numerasi di level satu atau sangat rendah.

Hasil tersebut konsisten dengan data dari Programme for International Student Assessment (PISA) selama 20 tahun terakhir yang menunjukkan skor literasi anak-anak Indonesia masih rendah dan belum meningkat secara signifikan.

Meski demikian, program pengiriman buku bukan kebijakan baru karena pada tahun lalu Kemendikbudristek telah menyediakan lebih dari 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu disertai pelatihan dan pendampingan untuk lebih dari 20 ribu PAUD dan SD.

Hanya saja pada kesempatan kali ini, Kemendikbudristek menghadirkan terobosan untuk mengoptimalisasi upaya sebelumnya yakni mulai dari peningkatan jumlah eksemplar, judul buku, jenis buku, sampai pemilihan sekolah penerima buku.

Pemilahan dan pemilihan buku yang tepat turut menjadi kunci dalam meningkatkan literasi sehingga buku bacaan yang dikirim ke sekolah merupakan buku-buku yang berperan sebagai jendela, pintu geser, dan cermin bagi pembaca anak.

Pada peran sebagai jendela, buku membantu siswa melihat pengalaman baru yang berbeda dari kehidupannya melalui kejadian yang dialami tokoh cerita. Adapun perannya sebagai pintu geser, buku membawa siswa berimajinasi mengeksplorasi dunia baru melalui ilustrasi dan cerita fantasi.

Sementara buku berperan sebagai cermin, yaitu buku memberikan kesempatan untuk merefleksikan pengalaman hidup para siswa melalui cerita dalam buku sehingga mendukung peningkatan daya pikir kritis anak dengan melakukan refleksi atas hal-hal yang ada di sekitarnya.

Peningkatan kompetensi literasi pun dinilai tidak dapat dilakukan hanya dengan mengirim buku tanpa pendampingan sehingga pemerintah sekaligus memberikan pelatihan agar tidak ada buku yang menumpuk di perpustakaan karena tidak dimanfaatkan.

Literasi yang meningkat akan membawa anak-anak Indonesia semakin ingin mengetahui dan mengeksplorasi banyak hal termasuk memperluas wawasan dan pengetahuan sekaligus membentuk pemikiran kritis untuk membantu mereka dalam mengambil keputusan.


Bersekolah yang menyenangkan

Selain membentuk pribadi yang kritis melalui kebiasaan membaca, mewujudkan SDM unggul juga harus dimulai sejak dini yaitu membentuk pribadi yang gemar mencari ilmu di mana saja terutama di sekolah.

Menciptakan generasi gemar mencari ilmu sejak dini dimulai dengan membuat suasana lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Upaya itu dilakukan melalui peluncuran Merdeka Belajar Episode Ke-24: Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan.

Kebijakan tersebut digulirkan guna mengakhiri miskonsepsi tentang baca, tulis, hitung (calistung) pada PAUD dan SD/MI/sederajat kelas awal yaitu kelas satu dan dua yang masih sangat kuat di masyarakat.

Kemampuan yang dibangun pada anak di PAUD masih sangat berfokus pada calistung bahkan dianggap sebagai satu-satunya bukti keberhasilan belajar. Tes calistung pun diterapkan sebagai syarat penerimaan peserta didik baru (PPDB) SD/MI/sederajat.

Untuk mengakhiri miskonsepsi tersebut, terdapat empat fokus yang perlu dilakukan dalam pembelajaran yaitu transisi PAUD ke SD berjalan mulus dengan proses belajar mengajar di PAUD dan SD/MI/sederajat kelas awal harus selaras dan berkesinambungan.

Kedua, setiap anak memiliki hak untuk dibina agar kemampuan yang diperoleh tidak hanya kemampuan kognitif tetapi juga kemampuan fondasi yang holistik seperti kematangan emosi, kemandirian, kemampuan berinteraksi, dan lainnya.

Fokus ketiga adalah terkait kemampuan dasar literasi dan numerasi harus dibangun mulai dari PAUD secara bertahap dan dengan cara yang menyenangkan. Terakhir, kesiapan individu untuk sekolah merupakan proses yang perlu dihargai oleh satuan pendidikan dan orang tua yang bijak.

Kesiapan untuk bersekolah ini perlu menjadi pertimbangan orang tua karena setiap anak memiliki kemampuan, karakter, dan kesiapan masing-masing saat memasuki jenjang SD sehingga tidak dapat disamaratakan dengan standar atau label-label tertentu.

Oleh sebab itu pada episode kali ini, Merdeka Belajar memiliki tiga target capaian yang harus dilakukan satuan pendidikan yakni pertama adalah menghilangkan tes calistung dari proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) pada SD/MI/sederajat.

Terlebih, masih banyak anak di Indonesia yang belum pernah mendapatkan kesempatan belajar di satuan PAUD sehingga sangat tidak tepat apabila tes calistung menjadi syarat seorang anak untuk mendapat layanan pendidikan dasar.

Selanjutnya, satuan pendidikan perlu menerapkan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama 2 minggu pertama dengan lingkungan belajarnya sehingga mereka merasa nyaman dalam kegiatan belajar.

Pada target capaian ketiga, satuan pendidikan di PAUD dan SD/ MI/ sederajat perlu menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak dan harus dibangun secara kontinu dari PAUD hingga kelas dua jenjang pendidikan dasar.

Enam kemampuan itu meliputi mengenal nilai agama dan budi pekerti, keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi, serta mengenal kematangan emosi untuk kegiatan di lingkungan belajar.

Selanjutnya, membangun kematangan kognitif untuk kegiatan belajar seperti kepemilikan dasar literasi dan numerasi, pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri, dan pemaknaan terhadap belajar yang positif.

Membangun kenyamanan bersekolah sejak dini akan membangkitkan semangat belajar termasuk terkait keterampilan dan kepribadian mereka. Siswa akan mampu menjadi SDM yang tidak pernah lelah mencari tahu dan mencoba hal baru sehingga pintu kesuksesan semakin terbuka lebar bagi mereka.


Payung hukum untuk tindak kekerasan

Upaya menciptakan keamanan dan kenyamanan dalam dunia pendidikan turut dilakukan Pemerintah dengan mengesahkan payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan melalui Merdeka Belajar Episode Ke-25.

Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 bertujuan mengatasi serta mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi sekaligus membantu satuan pendidikan menangani kasus kekerasan.

Permendikbudristek yang memberikan prioritas pada perspektif korban ini juga menghilangkan keraguan dengan memberikan definisi yang jelas untuk membedakan bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, psikologis, seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi.

Aturan tersebut dibentuk atas dasar hasil Asesmen Nasional 2022, yaitu 34,51 persen atau satu dari tiga siswa berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9 persen atau satu dari empat siswa berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen atau satu dari tiga siswa berpotensi dirundung.

Survei Nasional tentang Pengalaman Anak dan Remaja yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (SNPHAR KPPPA) pada 2021 pun mengafirmasi hasil tersebut.

Fakta menunjukkan bahwa 20 persen anak laki-laki dan 25,4 persen anak perempuan berusia 13 hingga 17 tahun mengakui pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan dalam 12 bulan terakhir.

Oleh sebab itu, Permendikbudristek Nomor 46 mewajibkan satuan pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), sedangkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota membentuk satuan tugas (satgas).

Upaya penanganan kekerasan dilaksanakan dengan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, partisipasi anak, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, kehati-hatian, serta keberlanjutan pendidikan.

Payung hukum ini akan semakin mampu membuat lingkungan belajar menjadi lebih inklusif, berkebinekaan, dan aman bagi semua warga sekolah sehingga menjadi tempat favorit bagi generasi muda untuk mengembangkan potensi mereka.


Transformasi pendidikan tinggi

Selain membentuk fondasi yang kuat pada usia dini, Pemerintah turut melanjutkan upayanya bagi pendidikan tinggi karena memiliki peran yang tak kalah penting sebagai pendorong pertumbuhan berkelanjutan serta sebagai tulang punggung inovasi.

Langkah itu ditempuh melalui perilisan Merdeka Belajar Episode Ke-26 bertajuk Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi yang sejalan dengan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Ada dua hal fundamental dari kebijakan ini yaitu pertama adalah Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang lebih memerdekakan dan kedua yaitu sistem akreditasi pendidikan tinggi yang meringankan beban administrasi dan finansial perguruan tinggi.

Untuk Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi, beberapa perubahan terdapat dalam status akreditasi yang disederhanakan, biaya akreditasi ditanggung pemerintah, dan proses akreditasi dapat dilakukan pada tingkat unit pengelola program studi.

Sementara untuk Standar Nasional, kini hanya berfungsi sebagai pengaturan framework dan tidak lagi bersifat preskriptif dan detail termasuk terkait pengaturan tugas akhir mahasiswa.

Sebelumnya, Standar Nasional Pendidikan Tinggi bersifat kaku dan rinci sehingga perguruan tinggi kurang leluasa merancang proses dan membentuk pembelajaran sesuai kebutuhan keilmuan dan perkembangan teknologi.

Misalnya saja, syarat kelulusan yang tidak relevan dengan zaman dan alokasi waktu yang diatur sampai per menit per minggu dalam satu satuan kredit semester (SKS).

Contoh transformasi terkait Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang lebih memerdekakan ini salah satunya terkait standar penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dari delapan standar menjadi tiga standar.

Selain itu, terdapat juga penyederhanaan pada standar kompetensi lulusan serta penyederhanaan pada standar proses pembelajaran dan penilaian.

Melalui aturan terbaru, mahasiswa hingga satuan pendidikan tinggi bebas memilih bentuk tugas akhir sebagai persyaratan lulus yang tidak hanya melalui skripsi melainkan terdapat pilihan lain yaitu prototipe, proyek, dan sebagainya.

Kebebasan itu disesuaikan dengan jurusan masing-masing mahasiswa sehingga mereka bisa mengeksplorasi kreativitas dan inovasi keilmuan agar berdampak secara lebih nyata baik bagi masa depan maupun masyarakat.

Hal itu sesuai dengan perguruan tinggi yang merupakan hilir dari pembentukan SDM unggul sehingga berperan strategis dalam menciptakan generasi yang penuh inovasi dan berdaya saing tinggi terhadap kebutuhan industri di masa kini.

Bahkan inovasi menjadi kunci utama agar Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah sehingga perguruan tinggi harus mampu menghasilkan SDM yang penuh inovasi guna memacu pertumbuhan ekonomi.














 

Copyright © ANTARA 2023