Jakarta (ANTARA) - Pada era 1970an, Pemerintah Korea Selatan menggagas Gerakan Saemaul Undong yang menjadi fondasi bagi pertumbuhan masyarakat di negara itu dari negara miskin menuju salah satu perekonomian terbesar dunia.

Nyatanya upaya pembangunan yang digerakkan oleh masyarakat dengan menekankan pada semangat ketekunan, swadaya, dan kerja sama itu diakui sebagai salah satu program pembangunan nasional yang paling berhasil membawa Korea melepaskan diri dari kemiskinan.

Seiring dengan itu, Indonesia mengembangkan kegiatan kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa (Kelompencapir) yang bukan sekadar adu cerdas bagi petani dan nelayan, namun lebih jauh dari itu merupakan ajang silaturahmi antara pejabat pemerintah dan masyarakat di perdesaan.

Kelompencapir sejatinya menjadi wadah yang sangat efektif sebagai media komunikasi langsung antara pemimpin dan rakyatnya yang terkait dengan masalah kemasyarakatan sehari-hari terutama terkait pertanian.

Wujudnya Kelompencapir menjadi ruang bertemu bagi petani dan nelayan di Indonesia yang dicetuskan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan mengikutkan petani-petani berprestasi dari berbagai daerah.

Mereka diadu kepintaran dan pengetahuannya seputar pertanian, antara lain soal cara bertanam yang baik dan pengetahuan tentang pupuk dengan model mirip cerdas cermat.

Program itu terbukti turut andil di kala Indonesia mencapai swasembada pangan dan mendapatkan penghargaan dari FAO pada tahun 1984.

Kini program Kelompencapir tak ada lagi. Padahal kegiatan dialog interaktif itu terbukti efektif sebagai media komunikasi antara pemimpin dan masyarakatnya.

Menjadi cerminan betapa komunikasi dan akses yang terbuka bagi masyarakat untuk bertemu pembuat kebijakan sebenarnya menjadi solusi bagi banyak persoalan.

Sementara di Korsel inisiatif Saemaul Undong atau dapat diartikan Gerakan Desa Baru tetap laju, tapi di Indonesia dengan bergantinya rezim   membuat program kelompencapir tak populer sehingga tak diteruskan.

Sebuah pemikiran yang penuh nostalgia ketika membahas studi pertanian di Seoul. Negeri Ginseng itu memegang teguh sebuah konsistensi yang didukung dengan kebijakan pemerintah yang solid untuk melanggengkan sebuah gerakan pembangunan dari desa.

Kunci sukses dan tantangan mereka tentu saja berbeda dengan Indonesia. Mereka bagaimanapun cenderung homogen dibandingkan Indonesia yang begitu beragam.

Mereka demikian mudah untuk berhasil menerapkan program seperti Saemaul Undong dengan mengobarkan semangat dan jiwa nasionalisme untuk bisa bangkit dari keterpurukan.


Bangun Desa

Implementasi konsep Saemaul Undong di sektor pertanian di wilayah Kota Seoul mereflesikan betapa sektor pertanian merupakan bagian terpenting dari peradaban Korea Selatan dan menjadi bagian dari semua lapisan masyarakat, baik tua, muda, dan lintas kasta dan status sosial.

Dalam hal ini, petani Korea memiliki keahlian unik dalam menanam dan panen dengan dedikasi tinggi yang patut diadopsi di Indonesia, terutama terkait produksi beras dan pengawetan makanan seperti Kimchi.

Stok beras yang terkait dengan gudang beras dan penggiling kayu, jeriken tembikar, dan keranjang anyaman untuk penyimpanan di rumah telah menjadi fokus di Korea.

Konsep demikian sebenarnya sangat sesuai untuk diimplementasikan secara luas dalam semangat membangun Indonesia dari pedesaan.

Hingga akhir tahun 1960-an, sebagian besar masyarakat Korea Selatan masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan kesenjangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan yang terus bertambah. Kondisi ini membuat Pemerintah Korea berinisiatif membuat gerakan yang diberi nama Saemaul Undong.

Keberhasilan gerakan ini dapat dilihat dengan peningkatan rata-rata pendapatan rumah tangga secara drastis dari 825 dolar menjadi 4.602 dolar dalam kurun waktu 10 tahun saja.

Keberhasilan ini menjadikan Korea Selatan sebagai salah satu perintis gerakan pembangunan melalui pemberdayaan desa, suatu gerakan yang kemudian banyak direplikasi oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

Persamaan latar belakang sejarah antara Indonesia dan Korea Selatan memberikan harapan bahwa program serupa yang berhasil dijalankan di Korea Selatan dapat pula diimplementasikan di Indonesia dengan baik.

Persamaan antara Korea Selatan dan Indonesia terletak dari sisi kedua negara yang mewarisi sektor pedesaan berorientasi ekspor yang berlebihan pada masa pemerintahan kolonial. Namun, di Indonesia pembangunan pedesaan belum tergarap optimal seperti halnya yang dilakukan di Korea Selatan.

Pada 2016, Pusat Studi Tri Sakti dan Saemaul Undong (PSTS) Fakultas Filsafat UGM, melakukan inisiatif untuk mengkaji di DI Yogyakarta, sebuah implementasi awal gerakan tersebut.

Inisiatif dilaksanakan di tiga desa di Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Bantul melalui kerja sama antara Provinsi DIY dengan Provinsi Gyeongsangbuk-do, Korea Selatan, tepatnya pada tahun 2008.

Program tersebut telah membawa keberhasilan dalam perbaikan infrastruktur desa, peningkatan pendapatan penduduk, penyediaan air bersih, dan peningkatan etos kerja warga desa.

Ke depan diharapkan inisiatif serupa dapat dikembangkan dan direplikasikan di pedesaan di berbagai wilayah, khususnya terkait implementasi strategi pembangunan yang terinspirasi dari gerakan Saemaul Undong.

Sehingga melalui gerakan serupa Saemaul Undong dapat diterapkan pembangunan Indonesia yang dimulai dari desa-desa.

Indonesia juga sudah saatnya untuk mendorong pemanfaatan dan pengembangan konsep pembangunan yang mengedepankan desa sebagai bagian dari pelestarian dan pengembangan pertanian seperti yang dilakukan di Korea Selatan.

Dan memang hingga kini Pemerintah RI terus berupaya mengatasi tantangan terbesar dalam mencapai swasembada pangan dan ketahanan pangan.

Di sisi lain juga alasan kuat untuk melakukan penelitian mendalam mengenai dampak keseluruhan dari peningkatan informasi tentang upah, kemiskinan, dan insentif investasi bagi petani di Korea dan Indonesia.


*) Penulis adalah Asisten Utusan Khusus Presiden (UKP) RI Bidang Kerja sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.

Copyright © ANTARA 2023