Jakarta (ANTARA) - Rekomendasi terpenting Konferensi Perubahan Iklim Ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 30 November-12 Desember 2023, adalah usaha menghentikan kecanduan pada bahan bakar fosil dan upaya merangkul lebih kuat energi ramah lingkungan.

Mungkin untuk beberapa tahun ke depan rekomendasi itu masih sulit diwujudkan, tapi mulai saat ini upaya menjauhi bahan bakar fosil bukan lagi hal tabu.

Sebaliknya, energi hijau yang minim emisi sehingga tak merusak lingkungan, akan kian luas dirangkul, termasuk oleh para pengambil keputusan di seluruh dunia.

Beberapa negara sebenarnya sudah lama membaca kecenderungan ini, termasuk Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.

Negara-negara itu kini bersiap menghadapi era tak tergantung energi fosil dengan mendiversifikasi sumber ekonominya yang salah satunya dengan mengadopsi energi hijau.

Langkah itu ditempuh tidak hanya melihat cadangan energi terus menipis, tapi juga oleh kian besarnya kecenderungan dunia dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Bagi negara yang dulu eksportir tapi kini importir minyak seperti Indonesia, COP28 adalah momentum untuk semakin erat merangkul energi hijau terbarukan yang pasti menjadi nafas zaman nanti.

Salah satu energi hijau itu adalah listrik yang sumbernya dari banyak hal, mulai panas matahari, sampai air, sampai nuklir.

Listrik kini tak saja penting untuk kebutuhan rumah tangga dan proses ekonomi, tapi juga untuk sistem transportasi masa kini.

Kecenderungan penggunaan alat transportasi berbahan bakar listrik terus meningkat dari waktu ke waktu, termasuk di Indonesia.

Beberapa waktu lagi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyampaikan data bahwa dari Januari-November 2023 penjualan mobil listrik di Indonesia melonjak 290 persen dibandingkan periode sama tahun lalu, dari 15.437 unit menjadi 60.287 unit.

Angka itu tak cuma melukiskan tren, tapi juga menjadi petunjuk untuk adanya kesadaran besar di kalangan pabrikan otomotif untuk beralih ke sistem kendaraan ramah lingkungan.

Kesadaran itu didorong oleh semakin ketatnya aturan batas emisi yang boleh dikeluarkan kendaraan, dan fakta semakin tingginya permintaan kendaraan listrik.

Badan Energi Internasional (IEA) sendiri mengungkapkan pangsa mobil listrik dalam total penjualan mobil global, naik tiga kali lipat dari cuma 4 persen pada 2020, menjadi 14 persen pada 2022.


Pembiayaan kreatif

Rekomendasi COP28 agar menjauhi energi fosil dan merangkul energi hijau, niscaya memperbesar tekanan kepada kalangan bisnis dan sistem kebijakan politik untuk mendukung prakarsa beralih ke mobil listrik.

Bukan hanya mobil listrik, sistem angkutan massal, termasuk kereta rel listrik, pun begitu.

Saat ini, untuk jarak dekat, kereta rel listrik sudah menjadi solusi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tapi untuk jarak jauh, belum luas diaplikasikan.

Namun, pertimbangan waktu yang menjadi tuntutan masyarakat era ini dan desakan menciptakan lingkungan rendah emisi seperti diamanatkan COP28, membuat kereta listrik jarah jauh menjadi kebutuhan mendesak, terutama untuk daerah-daerah padat penduduk seperti Pulau Jawa.

Kereta cepat menjadi pilihan cerdas, paling tidak sebagai fondasi untuk era mendatang ketika tuntutan dan kebutuhan moda transportasi jenis ini semakin besar.

Bagi Indonesia sendiri, opsi itu mungkin tak begitu serius dipertimbangkan di masa lalu, tapi kehadiran kereta cepat Jakarta-Bandung, Whoosh, memberi kepercayaan diri besar untuk menghadirkan kereta cepat dengan jarak yang lebih jauh.

Pemerintah sendiri menilai sukses Whoos menjadi landasan penting untuk membangun jaringan kereta sejenis yang lebih panjang, dari Jakarta ke Surabaya.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi baru-baru ini mengatakan pengalaman membangun Whoosh membuat Indonesia mengetahui susah dan mudahnya membangun kereta cepat, mulai dari desain, pembebasan tanah, pengoperasian, sampai sosialisasi kepada masyarakat.

Dengan pengalaman seperti ini, Budi Karya optimis kereta cepat dengan jarak lebih jauh dari pada Whoosh bisa dibangun di Indonesia.

Budi juga yakin kereta cepat jarak jauh lebih ekonomis dibandingkan Whoosh. "Bayangkan, jarak Jakarta-Surabaya yang 900 km bisa dicapai kira-kira 2 jam," kata Budi.

Namun, ada bagian yang paling sensitif ketika kereta cepat dibangun, yakni skema pembiayaan. Saking sensitifnya, aspek ini bisa meluber ke dimensi politik.

Dalam kaitan ini, beberapa negara seperti Thailand maju mundur membangun kereta cepat karena dihadapkan pada persoalan membangun kereta cepat dengan utang atau tanpa utang yang terlalu besar.


Solusi dan kebutuhan

Bagi Indonesia sendiri, pengalaman membangun Whoosh membuat Indonesia tahu cara-cara menghindari utang menggunung. Salah satunya lewat pembiayaan kreatif dengan menggaet investor sehingga tak membebani APBN, seperti diusulkan Budi Karya.

Namun yang pasti, tekad Indonesia membangun kereta cepat Jakarta-Surabaya sepertinya sudah sangat kuat.

Apalagi, belajar dari kereta cepat Bandung-Jakarta, potensi ekonomi dan non-ekonomi yang didapatkan kereta cepat tak bisa disebut kecil, terutama karena kelebihan-kelebihan yang ada pada kereta cepat.

Salah satu kelebihan itu adalah ketepatan waktu keberangkatan kereta yang disebut PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencapai 99,9 persen.

Menurut GM Corporate Secretary KCIC Eva Chairunisa, aspek ketepatan waktu membuat masyarakat dapat merencanakan perjalanan dengan lebih baik sehingga mengurangi ketidakpastian yang membuat masyarakat bisa lebih produktif dan efisien.

Penilaian Budi Karya dan Eva Chairunisa sejalan dengan berbagai temuan berbagai penelitian ilmiah, salah satunya studi yang dibuat Siqi Zheng dari Universitas Tsinghua di China dan Matthew Kahn dari University of California, Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat, pada Februari 2012.

Berdasarkan penelitian ini, kereta cepat memberikan manfaat lingkungan, ekonomi dan sosial yang besar, selain mendorong bisnis real estat, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi polusi udara dan kemacetan lalu lintas, dan menyediakan “katup pengaman” untuk kota-kota padat penduduk sehingga urbanisasi bisa dihindarkan.

Kedua peneliti itu menyebutkan kereta cepat adalah moda transportasi paling aman di dunia, dan meninggalkan jejak karbon yang 16 kali lebih rendah dibandingkan jejak karbon yang ditinggalkan kendaraan pribadi atau pesawat. Artinya, moda transportasi ini jauh lebih ramah lingkungan.

Tetapi kereta cepat memiliki kekurangan dalam hal harga, yang pastinya sangat mahal bagi kebanyakan masyarakat.

Ini pekerjaan rumah yang mungkin paling pelik yang mesti diakali oleh pemerintah Indonesia sebagai pembangun kereta cepat.

Tapi itu tak menghilangkan fakta bahwa membangun kereta cepat Jakarta-Surabaya bukan saja ide yang baik, tapi juga bagus dari perspektif lingkungan, demografis, ekonomi, sosial, dan konektivitas.

Lagi pula, ketika COP28 mengamanatkan dunia agar lebih merangkul energi hijau dan menjauhi bahan bakar fosil yang mendorong sistem kebijakan di seluruh dunia kian ditantang untuk memenuhi target emisi, transportasi hijau termasuk kereta cepat, adalah solusi dan kebutuhan.

Copyright © ANTARA 2023