Kemandirian harus didukung dengan teknologi dan inovasi anak bangsa untuk menjawab tantangan, salah satunya pada resiliensi berkelanjutan
Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk menyusun peta jalan (roadmap) teknologi, inovasi, dan industrialisasi kebencanaan untuk resiliensi berkelanjutan, menyimpulkan kemandirian sangat penting dalam mengembangkan industri kebencanaan.

Direktur Sistem BNPB Dr Agus Wibowo dalam keterangannya disiarkan di Jakarta, Jumat, mengatakan banyak data digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan dalam penanggulangan bencana, dan aplikasi itu dapat menjawab proses tersebut.

Baca juga: Palangka Raya luncurkan pemetaan dini kebencanaan berbasis digital

Pada konteks teknologi dan inovasi, BNPB juga memiliki produk aplikasi kebencanaan yang sedang dikembangkan, yaitu Disaster Knowledge Management System (DKMS).

Menurutnya, kemandirian harus didukung dengan teknologi dan inovasi anak bangsa untuk menjawab tantangan, salah satunya pada resiliensi berkelanjutan.

Selama diskusi, teknologi dan inovasi kebencanaan yang dikembangkan di Tanah Air terkuak dari penjelasan beberapa ahli. Hal tersebut seperti disampaikan ahli dari BRIN Dr. Wahyudi Hasbi, mengenai teknologi satelit.

Ia mengatakan, satelit Lapan A3 dan A1 pada polar orbit dan Lapan A2 pada ekuatoral orbit.

“Kita bisa melakukan pemantauan area bencana dengan frekuensi waktu yang cepat, yang biasanya harus menunggu 21 hari,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo. Ia menjelaskan, Indonesia mengembangkan teknologi sensor synthetic aperture radar (SAR) yang telah diaplikasikan pada berbagai platform seperti drone, microsatelit, dan pesawat.

Baca juga: Guru Besar UB usulkan Kurikulum Kebencanaan sebagai muatan lokal

Manfaatnya sangat luas, terutama dalam sektor kebencanaan, seperti pemantauan bencana alam, pencarian dan penyelamatan, pemantauan kebakaran, dan monitoring gempa bumi.

"Dari segmen angkasa, semuanya sudah siap" tutur Josaphat.

Masih terkait dengan sistem sensor, kali ini Dr. Michael A. Purwadi menyampaikan sistem sensor tsunami yang ditempatkan di dasar laut telah terbukti efektif dalam mendeteksi gelombang tsunami sejak sekitar 50 tahun yang lalu pada technology readiness (TRL) level 1. Indonesia telah membuat dan menguji sistem sensor tsunami pada TRL 5 dan TRL 6.

“Beberapa keberhasilan telah dicapai, terutama dalam mendeteksi tsunami karena gempa, membutuhkan sekitar 15 menit sebelum gelombang tsunami mencapai garis pantai, mengalami peningkatan dari 5 menit pada mulanya,” tambah Michael.

Selanjutnya, Dr. M. Sadly menjelaskan dari sisi upaya Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menghadapi tantangan seismik dengan dedikasi tinggi, pengembangan teknologi termasuk high-performance computing, dan peran aktif dalam menyediakan informasi operasional 24/7 terkait cuaca dan gempa.

“BMKG melakukan pengadaan lebih dari 500 seismograf, pengembangan Seismograph Rakyat Indonesia (SRI V1), dan fokus pada kemandirian teknologi seismograf menjadi aspek kunci dalam upaya BMKG untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan penguasaan teknologi di bidang tersebut,” tuturnya.

Sementara itu, Profesor Hamam Riza menjelaskan tentang artificial intelligence atau AI akan membantu manusia dalam meningkatkan produktivitas dari Litbangjirap (penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan), termasuk dalam isu kebencanaan. Menurutnya AI dapat membantu dalam memahami lebih baik dan lebih cepat terkait dengan bencana.

Baca juga: Heru minta peralatan kebencanaan disiapkan hadapi puncak musim hujan

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Sambas
Copyright © ANTARA 2023