Jakarta (ANTARA) - Sejak hari pertama Israel melancarkan serangan balasan terhadap Hamas, sudah ada kekhawatiran perang di Jalur Gaza bakal meluas menjadi perang kawasan.

Ini karena perang Gaza tak saja tentang nasib Hamas, tapi juga menyangkut pihak-pihak yang bersekutu dengan kelompok perlawanan Palestina itu yang sebagian besar merupakan proksi atau afiliasi Iran.

Hamas memang Sunni, tapi sejak lama mendapatkan dukungan signifikan dari Iran melalui milisi Syiah Hizbullah di Lebanon yang menjadi proksi Iran.

Iran melihat Hamas sebagai deterens atau aspek penggentar dalam menghadapi Israel, sehingga negara itu mustahil membiarkan Hamas dihancurkan oleh Israel.

Sebaliknya, Israel sejak hari pertama menyerang Gaza pada 7 Oktober, menganggap Iran menjadi dalang semua masalah.

Ketika dunia tak berdaya menghentikan serangan membabi buta Israel yang meluluhlantakkan Gaza dan menyengsarakan dua juta warga Gaza, proksi-proksi Iran adalah pihak yang paling tak bisa menahan diri untuk menceburkan diri dalam perang.

Semakin keras Israel menghancurkan Hamas, semakin intensif proksi-proksi Iran membuka "front" perang baru dengan Israel.

Sejauh ini Iran membantah berada di belakang manuver proksi-proksinya di Lebanon, Yaman, Suriah dan Irak, serta membantah berada di balik serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober.

Tapi proksi-proksi Iran terus bermanuver, terutama Hizbullah di Lebanon,dan Houthi di Yaman.

Milisi Syiah yang secara de facto menguasai Yaman itu menyerang kapal-kapal yang berlayar melalui Laut Merah. Mereka membidik kapal-kapal yang dimiliki Israel atau memiliki kaitan dengan Israel.

Serangan itu membuat semua kapal yang sebelum ini melayari Laut Merah menghentikan sementara pelayaran melalui laut ini, dengan beralih ke jalur aman, tapi jauh, menuju Tanjung Harapan, untuk mengelilingi Benua Afrika.

Akibatnya, biaya pelayaran melonjak karena rute menjadi jauh lebih panjang, sehingga menghabiskan bahan bakar lebih banyak dan waktu jauh lebih lama.

Eksportir dan importir pun menjerit. Namun, pihak yang paling keras menjerit adalah Israel, mengingat miliaran dolar AS nilai perdagangan maritimnya melalui Laut Merah.


Pembunuhan Jenderal Mousavi

Menurut komentator politik Amerika Serikat, Jackson Hinckle, pengelola Pelabuhan Eilat di Israel selatan yang berada di ujung utara Teluk Akaba yang bertemu Laut Merah, mengaku bahwa 85 persen impor kendaraan Israel berasal dari pelabuhan ini.

Namun akibat serangan Houthi, kapal-kapal yang mengangkut ratusan ribu kendaraan itu tak bisa masuk Eilat sejak 15 November, sehingga dalam waktu sebulan saja Israel kehilangan pemasukan 10 miliar dolar AS.

Situasi ini jelas menampar ekonomi Israel, yang menurut lembaga think tank Israel "Taub Center for Social Policy Studies", bakal mengalami kontraksi 2 persen pada triwulan keempat 2023.

Perekonomian Israel sendiri sudah terpukul oleh jumlah angkatan kerja yang terpangkas sampai 20 persen gara-gara perang di Gaza.

Israel masygul oleh keadaan ini. Mereka kian kesal karena tak bisa membuktikan Iran berada di belakang manuver Houthi.

Sementara itu di bagian utaranya yang berbatasan dengan Lebanon, Israel menghadapi serangan yang kian gencar dari Hizbullah seiring dengan semakin kerasnya Israel menyerang Hamas.

Hizbullah sendiri bukan lawan sembarangan. Selain memiliki pejuang-pejuang terlatih di berbagai medan perang, termasuk perang saudara Suriah, Hizbullah juga memiliki 150.000 roket, baik roket biasa maupun peluru kendali, yang tak dipunyai Hamas.

Hizbullah juga memiliki stok "drone" yang lumayan banyak, dan peluru kendali anti-tank, anti-pesawat dan anti-kapal perang.

Israel tahu Iran berada di balik serangan Hizbullah, tapi mereka tak memiliki bukti untuk menindak Iran, sampai kemudian mereka diduga membunuh petinggi militer Iran, Seyed Razi Mousavi, di pinggiran Kota Damaskus di Suriah pada 25 Desember.

Mousavi terkenal dekat dengan mendiang Jenderal Qassem Soleimani yang dibunuh Amerika Serikat pada 2020. Iran sendiri menganggap Mousavi sebagai pahlawan yang memastikan keamanan Iran dan kawasan.

Israel meyakini Mousavi berusaha memasok peluru kendali dan peralatan militer canggih kepada Hizbullah melalui Suriah.

Sejauh ini Israel bungkam menghadapi tudingan membunuh Mousavi, tapi Presiden Iran Ebrahim Raisi terang-terangan menuding Israel membunuh salah satu otak terpenting Iran dalam mencengkeramkan pengaruh negara itu di kawasan Timur Tengah. Raisi bersumpah akan menuntut balas kepada Israel.

Sejumlah analisis, di antaranya Trita Parsi dari Quincy Institute for Responsible Statecraft, menduga Israel berada di balik pembunuhan Mousavi untuk memancing Iran terbuka masuk pusaran perang, sehingga Israel memiliki alasan untuk menyerang Iran.


Membahayakan seisi dunia

Faktanya, Israel tak menepis skenario perang yang lebih luas. Bahkan sejak hari pertama agresi di Gaza, Israel tak saja mengerahkan personel dan aset militer mereka ke Gaza, tapi juga ke sepanjang perbatasan Israel-Lebanon dan Dataran Tinggi Golan di Suriah.

Lantas, pada 26 Desember, di depan parlemen Israel, Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengingatkan negaranya di ambang menghadapi perang di berbagai "front" karena menurutnya Israel tak hanya diserang dari Gaza, tapi juga dari Lebanon, Suriah, Tepi Barat, Irak, Yaman, dan Iran.

Namun demikian, skenario perang kawasan merumitkan siapa pun, termasuk Iran dan Israel sendiri, bahkan Amerika Serikat yang menjadi patron abadi Israel.

Iran tak ingin membuka konflik lebih luas, di antaranya karena tak mau mengorbankan hubungan dengan negara-negara Arab. Lagi pula Iran mungkin berpikiran, jika bisa memanfaatkan proksi-proksinya, mengapa harus terlibat langsung dalam perang.

Negara-negara Arab sendiri tak tertarik menceburkan diri dalam perang kawasan, apalagi mereka pernah gagal menyingkirkan rezim Bashar Al-Assad di Suriah yang didukung Iran dan gagal menginstal kembali pemerintahan Sunni di Yaman. Perang-perang yang tak dimenangkan Arab ini malah mengisap energi mereka.

Demikian juga dengan Amerika Serikat. Keterlibatan lebih jauh di Timur Tengah akan membahayakan posisi politik Presiden Joe Biden dalam kaitannya dengan Pemilu 2024.

Setiap nyawa serdadu Amerika yang tercabut dalam perang di Timur Tengah bisa menghilangkan dukungan kaum progresif Amerika Serikat yang selama ini meminta negaranya menciptakan perdamaian di Gaza dan Timur Tengah.

Tapi, seandainya Perang Gaza meluas, apalagi jika sampai menciptakan kondisi yang mengharuskan negara-negara Timur Tengah memilih antara ikut memerangi Israel atau tidak, maka perang jenis ini akan membahayakan dunia secara keseluruhan, termasuk karena dampaknya terhadap harga minyak global.

Bagaimana jika dalam perang itu Iran memblokade Selat Hormuz, seperti Rusia memblokade Laut Hitam dalam perang melawan Ukraina, yang memicu krisis pangan global?

Menurut Carnegie Endowment for International Peace, Timur Tengah menghimpun 31,3 persen dari total produksi minyak dunia. Hampir seluruh produksi minyak kawasan ini dikirimkan melalui laut yang harus melewati dahulu Selat Hormuz.

Saat Rusia yang menguasai 13 persen produksi minyak dunia, dijatuhi sanksi oleh Barat, pasokan minyak dunia saja sudah terpangkas hebat sampai kemudian melambungkan harga minyak yang lalu menciptakan krisis energi dan inflasi global.

Bayangkan jika itu terjadi pada kawasan yang memproduksi minyak tiga kali lipat lebih banyak dari yang dihasilkan Rusia? Ini pasti kabar buruk untuk seisi dunia.

Dengan semua gambaran itu, maka skenario perang lebih luas harus dibuang jauh-jauh, dengan cara mengakhiri Perang Gaza, walau Hamas dan Israel pasti sulit memberikan konsesi-konsesi agar perang dihentikan.​​​

 

Copyright © ANTARA 2023