Jakarta (ANTARA) - Di tengah terpaan tuduhan memiliki anak di luar nikah, Lai Qing-te dari Partai Progresif Demokratik (DPP) berhasil meraih suara mayoritas dalam Pemilihan Umum Taiwan yang berlangsung pada Sabtu (13/1).

Politikus partai berkuasa kelahiran Taipei pada 65 tahun silam itu mengalahkan dua rivalnya, Hou Yu-ih dari Partai Kuomintang dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP).

Keberhasilan pria yang juga dikenal dengan nama William Lai itu tentu saja memperpanjang usia rezim DPP di Taiwan.

Seniornya di DPP, Tsai Ing-wen telah memimpin Taiwan dalam dua periode berturut-turut, yakni 2016-2020 dan 2020-2024.

Selama empat tahun terakhir sebagai orang nomor 2 di Taiwan mendampingi Tsai, Lai telah memiliki modal tersendiri untuk meraih simpati masyarakat kepulauan.

Dalam empat tahun mendatang, Lai yang pada Pemilu 2024 berpasangan dengan Hsiao Bi-khim, diplomat perempuan yang tercatat sebagai Duta Besar Taiwan untuk Amerika Serikat, bakal menghadapi tantangan global yang makin rumit.

Meskipun dia telah berjanji akan memelihara Status Quo dengan China, meningkatnya tensi politik lintas-Selat Taiwan tidak akan mudah diturunkan.

Kehadiran militer Amerika Serikat di Laut China Selatan ditambah ambisi Beijing untuk melakukan reunifikasi terhadap Taiwan makin menjauhkan harapan akan terciptanya stabilitas dan perdamaian lintas-Selat.

Selat Taiwan tidak hanya berfungsi sebagai jalur lalu lintas perdagangan dan transportasi publik, melainkan dalam satu dekade terakhir telah berubah menjadi ajang provokasi antar-dua kekuatan militer dunia, Amerika Serikat dan China, yang sama-sama berkedudukan sebagai anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Beijing menganggap Status Quo yang disuarakan DPP berbeda dengan Kuomintang yang telah lama berkuasa di Taiwan sebelum 2016. Dalam konstitusi partainya ternyata DPP masih mencantumkan tujuan "kemerdekaan" yang berarti penegasan atas pemisahan diri wilayah kepulauan itu dari daratan China. Inilah bedanya "status quo" versi DPP dan Kuomintang.

Pendekatan Beijing lebih melunak terhadap Kuomintang ketimbang terhadap DPP, meskipun sebelumnya mempunyai sejarah konflik yang panjang sampai meletus perang saudara hingga 1949. Chiang Kai-shek dan beberapa pengikut setianya di Kuomintang memilih mendirikan pemerintahan tersendiri di Taiwan setelah takluk dari Partai Komunis China (Gongchandang) dalam perang saudara itu. Sejak saat itu pula, kepulauan mempertahankan status quo dengan daratan.

Pekerja Migran

Memanasnya situasi Selat memberikan dampak tersendiri bagi kondusivitas di kawasan meskipun tidak secara langsung. Provokasi dua kekuatan militer di Selat semakin sering terjadi seiring dengan munculnya krisis di Ukraina, Afghanistan, dan baru-baru ini di Gaza.

Pemerintahan Lai-Hsiao yang dekat dengan Amerika Serikat sudah barang tentu akan terus memicu meningkatkan sentimen dari Beijing. Mereka dipastikan akan melanjutkan program-program kerja dan pola kepemimpinan Tsai dalam delapan tahun terakhir.

Pengadaan senjata Taiwan dari Amerika Serikat diperkirakan juga akan menghambat terciptanya stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan yang telah lama diikhtiarkan oleh ASEAN.

Sebagai negara besar di kawasan, Indonesia sangat berkepentingan dengan situasi yang kondusif di Selat Taiwan dan Laut China Selatan. Meskipun bukan negara yang terlibat sengketa wilayah di Laut China Selatan, Indonesia telah lama memperjuangkan terciptanya stabilitas dan perdamaian itu.

Hubungan Indonesia-Taiwan tergolong unik karena kedua belah pihak tidak diikat oleh perjanjian diplomatik sebagaimana prinsip Kebijakan Satu China yang telah lama dijunjung oleh pemerintah Indonesia.

Nilai perdagangan Indonesia dengan Taiwan tidak sesignifikan dengan China. Dengan Taiwan, nilai perdagangan Indonesia tercatat sebesar 14 miliar dolar AS pada 2022. Tertinggal jauh dibandingkan dengan nilai perdagangan Indonesia-China yang pada bulan Oktober 2022 mencapai 122,47 miliar dolar AS.

Demikian pula dengan investasi di Indonesia, selama periode tersebut Taiwan hanya menyumbangkan 900 juta dolar AS. Sementara China telah mencapai 8,22 miliar dolar AS sepanjang tahun 2022.

Namun dalam bidang ketenagakerjaan, Taiwan sangat menonjol. Data Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei bahwa per September 2023 tercatat 267.194 pekerja migran Indonesia (PMI) bekerja secara resmi di sektor formal dan informal di Taiwan.

Taiwan menjadi penyumbang remitansi terbesar ketiga dari kantong para PMI. Pada semester I/2022, PMI Taiwan telah mengirimkan uang hasil upah kerja mereka kepada keluarganya di kampung halamannya di berbagai daerah di Indonesia mencapai 712,82 juta dolar AS.

Posisi Taiwan sebagai penyumbang remitansi dari PMI selama periode tersebut berada di bawah Arab Saudi dan Malaysia, masing-masing sebesar 1,41 miliar dolar AS dan 1,27 miliar dolar AS.

Dari segi jumlah, pekerja asing asal Indonesia di kepulauan berpenduduk 23,5 juta jiwa itu mendominasi. Pekerja migran asal Indonesia sangat difavoritkan oleh warga kepulauan karena karakteristik yang telaten, penyabar, dan tidak banyak tuntutan dibandingkan dengan para pekerja dari Thailand dan Filipina.

Oleh sebab itu, gertakan pemerintahan Tsai Ing-wen dua atau tiga tahun lalu yang akan memoratorium pekerja migran asal Indonesia tidak mempan sama sekali karena rakyatnya sebagai pengguna atau majikan sangat membutuhkan pekerja dari Jawa, Sumatera, dan Nusa Tenggara yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.

Pemerintahan Taiwan yang baru, Lai dan Hsiao, yang bakal meneruskan rezim DPP pada empat tahun mendatang diperkirakan tidak akan mengambil tindakan konyol seperti yang dilakukan oleh pendahulunya, Tsai.

Bahkan apa pun yang terjadi dengan hasil Pemilu Presiden 2024 nanti, rezim DPP Taiwan dipastikan tidak akan mengubah kebijakan luar negerinya terhadap Indonesia, apalagi Tsai di awal pemerintahannya dulu pada 2016 telah mencanangkan kebijakan yang mengarah ke selatan atau "Southbound Policy".

Meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik atau Government to Government, ada beberapa faktor penting bagi Taiwan untuk meningkatkan kemitraan dengan Indonesia. Pertama, hubungan antar-masyarakat atau People to People Exchange antar-kedua belah pihak dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Indonesia menjadi negara yang memberikan kontribusi terbesar kedua pelajar asing di Taiwan dengan jumlah 16.639 orang pada 2022. Jumlah itu meningkat sebanyak 11.840 orang dibandingkan dengan periode 2018. Bertambahnya jumlah pelajar Indonesia di Taiwan itu dipastikan mampu mempererat hubungan kedua belah pihak.

Kedua, hubungan komersial atau Business to Business Contact. Lini ini tidak hanya berkutat pada hubungan dagang dan investasi belaka yang memang dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Namun yang tidak boleh dikesampingkan adalah sektor ketenagakerjaan yang turut memperkuat hubungan "B to B".

Lai tentu harus mengambil pelajaran berharga dari Tsai terkait dengan moratorium pengiriman tenaga kerja dari Indonesia. Kebijakan Tsai pada waktu itu telah memberikan pengaruh negatif terhadap perekonomian Taiwan. Belakangan Tsai tersadar bahwa PMI telah turut memberikan kontribusi secara tidak langsung bagi pertumbuhan perekonomian nasional Taiwan.

Tanpa ada pekerja dari Indonesia, masyarakat Taiwan tidak akan bisa produktif. Peran serta PMI yang bekerja di sektor informal sangat dirasakan oleh warga Taiwan dalam mengatasi urusan domestik. Demikian pula keterlibatan para pahlawan devisa dari Indonesia yang bekerja di sektor formal sangat membantu berputarnya roda industri di Taiwan, baik yang berskala besar maupun kecil.


*) M Irfan Ilmie adalah alumni MTC National Taiwan Normal University (NTNU) Taipei dan Kepala LKBN ANTARA Biro Beijing 2017-2023.

Copyright © ANTARA 2024