Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Mao Ning mengatakan Pemerintah China optimis reunifikasi dengan Taiwan akan terwujud karena mendapat tambahan pengakuan atas prinsip "Satu China" dari berbagai negara.

"Sejak 13 Januari 2024, negara-negara dan organisasi internasional secara terbuka menegaskan kembali komitmen mereka terhadap prinsip 'Satu China'," kata Mao Ning saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Selasa.

 Hal itu menunjukkan dukungan kuat terhadap upaya China dalam menegakkan kedaulatan nasional dan integritas wilayah, menolak segala bentuk 'kemerdekaan Taiwan' dan dukungan atas reunifikasi China," katanya.

Pada Senin (15/1), Mao Ning menyebut negara-negara dan organisasi internasional telah menyampaikan secara terbuka tetap berprinsip pada "Satu China" pasca pemilu Taiwan.

Negara-negara itu adalah Rusia, Indonesia, Vietnam, Kamboja, Laos, Bangladesh, Filipina, Sri Lanka, Nepal, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Zimbabwe, Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Belarus, Serbia, Hongaria, Papua Nugini, Kuba, Venezuela, SCO (Shanghai Cooperation Organisation) dan Liga Arab.

Selanjutnya, Mao Ning menyebut Pakistan, Maladewa, Myanmar, Iran, Suriah, Tunisia, Palestina, Turkmenistan, Kirgizstan, Armenia, Azerbaijan, Afrika Tengah, Niger, Guinea Ekuator, Komoro, Lesotho, Somalia, Djibouti, Mali, Burundi, Gambia, Vanuatu, Tonga, Kiribati, Dominika, Nikaragua, Bolivia dan Uni Afrika juga menyatakan dukungan terhadap prinsip "Satu China".

"Dan menolak terhadap 'kemerdekaan Taiwan'. Kami menghargai posisi yang diambil oleh negara-negara dan sejumlah organisasi ini. Kami yakin bahwa komunitas internasional akan terus mendukung perjuangan rakyat China untuk menentang aktivitas separatis 'kemerdekaan Taiwan' dan berupaya mencapai reunifikasi nasional," tambah Mao Ning.

Mao Ning lebih lanjut  mengatakan  mempertahankan prinsip "Satu China" adalah hal yang benar untuk dilakukan dan merupakan hal yang menjadi opini global dan arah sejarah.

"Kami yakin akan semakin banyak negara yang memilih untuk berpihak pada sejarah yang benar serta mengambil keputusan yang tepat demi kepentingan jangka panjang negara dan masyarakatnya," ungkap Mao Ning.

Pemerintah China, kata Mao Ning, tidak pernah menukar prinsip "Satu China" dengan apapun juga.

"Otoritas DPP di Taiwan mengabaikan tren sejarah yang terjadi, menolak prinsip 'Satu China', melakukan segala upaya untuk memperluas apa yang disebut 'ruang internasional', dan melakukan aktivitas separatis yang mengupayakan 'kemerdekaan Taiwan'. Hal itu pasti akan gagal dan tidak akan menghasilkan apa-apa," jelas Mao Ning.

Setelah pemilu Taiwan pada Sabtu (13/1) yang dimenangkan William Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokratik (DPP), Pemerintah China terus mengulang prinsip "Satu China" sebagai pedoman relasi China dan Taiwan.

William Lai sendiri digambarkan sebagai pembela demokrasi Taiwan, namun Beijing menyebut dia "berbahaya" dan menjadi salah satu "kelompok separatis" sehingga dapat memicu konflik lintas Selat.

William Lai Ching-te memperoleh lebih dari 5,58 juta suara dari sekitar 14 juta surat suara, Hou Yu-ih, mengantongi 4,66 juta suara dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP) memperoleh 3,68 juta suara.

Saat ini Lai masih menjadi wakil pemimpin Tsai Ing-wen dan ini akan menjadi masa jabatan DPP ketiga secara berturut-turut.

Di bawah kepemimpinan pemimpin Taiwan Tsai Ing-wen dari Partai Progresif Demokratik (DPP) sejak 2016, Taiwan mengambil sikap keras menentang Beijing serta prinsip "Satu China" yang mengatakan bahwa Taiwan merupakan wilayah di bawah kekuasaan Beijing.

Baca juga: China kecewa Singapura berikan selamat kepada pemenang pemilu Taiwan
Baca juga: Beijing berterima kasih kepada negara yang tegaskan "Satu China"

 

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2024